08 Juni 2008

Matikan Televisi Anda! - Televisi menjadi sekolah kedua bagi anak. Sekolah yang berbahaya.

Laksana tamu tak diundang. Siaran televisi datang dan membikin si buyung atau si upik lekas matang. Ibarat buah mangga yang dikarbit, para bocah ini dipaksa dewasa sebelum waktunya lewat ajaran-ajaran pop khas layar kaca: Kawin cerai, selingkuh para selebritis, atau pacaran di usia dini. Selamat datang di surga anak-anak pedoyan televisi!

Survei termutakhir UNICEF pada 2007 silam bak dering jam weker yang pantas membuat orangtua awas. Kata badan PBB itu, para bocah di Indonesia terpekur rata-rata lima jam sehari di depan layar kaca atau total jenderal 1.560 hingga 1.820 jam setahun. Angka ini, menurut UNICEF, jauh lebih gemuk ketimbang jumlah belajar mereka yang 1.000 jam setahun di sekolah.

Maka jadilah kotak televisi sekolah tandingan bagi anak-anak ini. Naasnya, jika diamsalkan sekolah, maka televisi adalah sekolah yang berbahaya. Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) mengantongi data, hanya 30 persen acara televisi yang aman dikonsumsi anak pada 2006. ''Angkanya tak berubah banyak pada 2007,'' ujar Boby Guntarto, penggagas Hari Tanpa Televisi dari YPMA, yang siap merilis angka termutakhir bulan depan.

Disebut sekolah berbahaya lantaran, ya itu tadi, kotak televisi sesungguhnya dijubeli materi-materi khusus untuk orang dewasa. Tayangan infotainment menggeruduk di pagi hari tatkala anak tengah sarapan. Tayangan sinetron tumpah ruah di layar kaca bak air bah dari sore hingga menjelang tidur. Walhasil, kata B Guntarto,''Bocah-bocah zaman sekarang sudah terbiasa dengan istilah kawin, cerai, atau selingkuh,'' tutur dia. ''Kata-kata atau perilaku ini semestinya konsumsi orang dewasa.''

Maka, alangkah malangnya anak-anak (zaman sekarang) ini, kata psikolog pendidikan dari Lembaga Pendidikan Optima Solo, Niken Iriani. Keceriaan dan kepolosannya mereka—disadari atau tidak—berpeluang terbang akibat masuknya persoalan orang-orang dewasa ke dalam otak mereka. Lewat televisi.

Dan, bukannya musykil 'peluru' layar kaca ini kelak membetikkan gangguan psikologis dalam diri sang bocah. Gejala emosional itu muncul dan membentang di antara dua titik bandul: Dari peniruan tindak kekerasan hingga—yang kurang ekstrem—pertanyaan-pertanyaan di luar dugaan.

''Pak, bercumbu itu apa?'' tutur Syifa Kamila, bocah usia 5 tahun, kepada sang ayah, Muhamad Julianto (32) warga Puri Cipageran, kota Cimahi, Jawa Barat. Yang ditanya kontan terperanjat tetapi kemudian tersenyum kecut dan bergumam dalam batin: Pasti gara-gara televisi!

Usai mengumpat, Julianto sekaligus bertanya: Apa gerangan yang membikin acara televisi bagaikan tumpukan sampah penebar racun bagi anak-anak? ''Kayak limbah B3 aja,'' seloroh karyawan bank swasta itu.

Dewa itu bernama rating. Ia yang memberi kata putus: Program televisi apa yang mesti diproduksi, diabaikan, bahkan dilenyapkan sama sekali dari layar kaca. Dirilis oleh AGB-Nielsen Media Research, rating menunjukkan seberapa besar penonton sebuah tayangan televisi. Kian tinggi rating, kian besar peluang program tersebut kebagian kue iklan yang nilainya ratusan juta hingga miliaran rupiah itu.

Rating pun mulai menebar sihirnya. Program stasiun televisi yang ditabalkan AGB-Nielsen memiliki rating tinggi, mulai ditiru stasiun televisi lainnya. Terjadi duplikasi di sana sini. Inilah mengapa pelbagai tayangan yang tampak serupa tumplek di banyak stasiun televisi nasional—yang jumlahnya ada 11 saat ini.

Padahal, dan celakanya,''Program dengan rating tinggi belum tentu berkualitas,'' ujar Agus Sudibyo, deputi direktur Yayasan Seni Estetika dan Teknologi (SET). Hal itu dikukuhkan oleh hasil riset yang dihelat yayasan SET bekerjasama dengan 16 lembaga sepanjang Maret hingga April 2008 lalu. Hasil riset diungkap Rabu pekan lalu (28/5) di Jakarta.

Riset, ujar Agus, dilakukan dengan metode Peer Review Assessment, di mana sekelompok orang (220 orang) dengan kapasitas pengetahuan memadai memberi penilaian kualitatif terhadap 15 acara berating tinggi versi AGB-Nielsen. Hasilnya? Sebagian besar acara be-rating tinggi justru berkualitas 'jongkok'.

Acara-acara ini dinilai tidak memberi model perilaku yang baik, bertabur kekerasan dan pornografi, tidak meningkatkan empati sosial, dan tidak ramah anak. (lihat boks). Padahal acara-acara 'sampah' ini bertaburan dan kian mensesaki layar kaca—atas nama rating dan demi misi memburu iklan. Inilah jawaban atas pertanyaan Julianto: Mengapa acara televisi kayak limbah B3?

Tak keliru bahwa televisi telah memberi pemeringkatan usia. Misalnya 'D' untuk tayangan konsumsi dewasa, 'SU' untuk semua umur, dan 'BO' untuk bimbingan orang tua. Tapi bagi Santi Indra Astuti, aktivis Media Literarcy Bandung, pembatas ini bagaikan pagar ilalang yang mudah diterobos anak-anak. Santi tak percaya itu. Sementara televisi adalah teror subtil yang perlu ditangani serius.

Kotak elektronik ini jelas menyumbang saham besar bagi pendangkalan norma-norma di masyarakat. Tren pemakaian rok mini di kalangan remaja, misalnya, muncul setelah diabsahkan lewat media elektronik. Televisi juga berperan dalam mengikis kepekaan masyarakat terhadap banyak hal. "Dahulu anak-anak takut melihat darah. Lantaran sering melihat di televisi lantas menjadi biasa, bahkan menjadi hiburan tersendiri," tutur ibu dua anak ini.

Di layar kaca, lanjut dia, kehidupan seringkali digambarkan penuh konflik. Sekolah adalah tempat menakutkan. Guru digambarkan aneh. Siswa kutu buku dianggap orang aneh. Penggambaran semacam ini berpengaruh kepada pandangan anak-anak terhadap sekolah. ''Anak menjadi sulit membedakan realitas simbolik dan real," ungkapnya.

Salah satu jalan keluar adalah membuat anak menjadi lebih kritis terhadap tayangan yang dikonsumsi. Caranya, ujar Santi, adalah dengan membuka ruang diskusi dengan anak saat menonton. Atau: Matikan televisi Anda!

Agen Perubahan yang Mesti Berubah

Agent of change atau agen perubahan adalah predikat yang kerap ditabalkan kepada media massa, termasuk kotak televisi. Sebelum berharap terlampau jauh, bertanyalah: Bagaimana sih kualitas tayangan televisi di negeri ini, secara umum?

Para responden ini tak memberi acungan jempol. Sebagian besar memberi nilai 'biasa saja' untuk program-program acara yang berseliweran di kotak televisi—sang agen perubahan itu Apa televisi menambah pengetahuan? Biasa saja. Apa meningkatkan empati sosial? Biasa saja. Apa meningkatkan daya kritis? Biasa saja. Apa memberi informasi untuk pengawasan? Biasa saja. Apa memberi model perilaku yang baik? Biasa saja.

Penilaian Kualitas Program Acara Televisi Secara Umum

0,5 persen : sangat baik
27,2 persen : baik
41,9 persen : biasa saja
24,6 persen : buruk
4,2 persen : sangat buruk
1,6 persen : tidak tahu

Hiburan Berbahaya

Acara hiburan adalah tayangan yang paling digandrungi anak-anak dan dinilai paling aman dinikmati si buyung dan si upik. Tetapi riset yang digelar oleh yayasan SET mengungkap paradoks. (lihat angka)

80,1 persen
responden menyatakan bahwa tayangan hiburan di televisi justru tidak ramah anak alias berbahaya jika ditonton oleh anak-anak.
68,6 persen
responden menyatakan tayangan hiburan di televisi buruk dan sangat buruk dalam memberi model perilaku yang baik kepada pemirsanya.
50,8 persen
responden menyatakan bahwa program hiburan di televisi amat buruk/buruk dalam meningkatkan empati sosial, yakni memberi kesadaran untuk peduli terhadap orang lain.
70,7 persen
responden menyebut program hiburan di televisi menunjukkan kualitas buruk dalam mengangkat tema yang relevan dalam kehidupan masyarakat.

Tidak ada komentar: