08 Juni 2008

Rano Karno: Jadi Pejabat Siap Tidak Populer

Rano Karno, pemeran utama Si Doel Anak Sekolahan, bisa menjadi inspirasi artis untuk terjun ke kancah politik. Namun, Rano menolak disebut pionir. Ia lebih senang menyatakan hadir pada waktu dan tempat yang tepat, pada saat masyarakat memang membutuhkan perubahan kepemimpinan.

SP berbincang dengan Rano Karno di rumahnya yang asri di kawasan Cinere Lebak Bulus Jakarta Selatan, Rabu, 28 Mei, setelah dua bulan tiga hari menjabat sebagai Wakil Bupati Tangerang. Berikut petikan wawancaranya.

Setelah jadi pejabat, enaknya disapa Bang Doel atau Pak Rano?

Ya, saya juga kadang geli. Biasa dipanggil Bang Rano atau Bang Doel, eh sekarang dipanggil "pak". Adik-adik saya juga ikut-ikutan panggil "pak". Saya tidak mempermasalahkan. Sama saja. Yang penting panggilan itu tak membatasi kedekatan saya dengan masyarakat.

Anda jadi inspirasi artis lain untuk jadi pejabat, gembirakah karena banyak yang mengikuti jejak Anda?

Sebenarnya yang menjadi pionir artis terjun ke eksekutif itu adalah Marissa Haque.

Meski sebelumnya sudah banyak warga masyarakat yang menyebut-nyebut nama Iwan Fals, Oma Irama, dan Dedy Mizwar untuk jadi pejabat. Tapi, mereka semua menolak tawaran itu. Sayangnya waktu Pilkada Banten, perolehan suara Marissa di bawah pesaingnya, meski perolehan angkanya sangat kompetitif bahkan di beberapa daerah Marissa unggul. Karena itu, ketika saya bersama Pak Ismet (Ismet Iskandar, Bupati Tangerang, Red) menang, saya yang disebut sebagai inspirasi artis ke politik.

Apa yang membuat Anda beruntung dibanding Marissa?

Mungkin saya berada di waktu dan tempat yang tepat. Saya melihat masyarakat ingin berubah. Mereka menginginkan sesuatu yang baru. Sementara sistem demokrasi yang ada sekarang mendukung para artis untuk bisa ikut dalam pertarungan ini. Saya sendiri tidak tahu bagaimana perubahan itu bisa terbentuk, tapi saya bisa merasakan hal tersebut.

Kehadiran artis bisa mengalahkan politikus dalam sejumlah pilkada. Apa ini fenomena baru yang Anda sebut itu?

Ingin saya katakan terlebih dahulu, jadi pejabat bukan tempat untuk mencari popularitas. Bahkan harus siap untuk tidak jadi populer. Tapi harus diakui, artis memang kerap lebih populer di tengah masyarakat dibanding kader parpol atau politikus. Kalau dulu artis mungkin hanya vote getter, penghibur, pengumpul suara, atau apalah, tetapi sekarang justru jadi pilihan. Partai politik sekarang ini justru membutuhkan sosok artis untuk memenangkan pertarungan. Tak hanya di Indonesia, di negara maju fenomena seperti itu juga terjadi. Lihat Amerika. Orang seperti Barack Obama bisa disandingkan dengan kepopuleran Hillary Clinton, sesuatu yang beberapa tahun lalu sepertinya tidak mungkin terjadi jika melihat garis keturunan Obama. Tapi inilah perubahan itu.

Apa masyarakat tidak percaya parpol?

Saya tidak mengatakan hal itu. Tapi ini memang era perubahan. Sistem kita masih membutuhkan parpol untuk jadi pemimpin, meski sekarang sudah ada jalur independen. Apalagi masyarakat pandai menilai seorang calon, sehingga wajar kalau kemudian muncul pemimpin bukan dari kalangan kader partai. Dulu, bagi orang di luar parpol, terjun ke politik hanya coba-coba. Tapi, sekarang semua memungkinkan.

Apakah termasuk calon pemimpin populer karena iklan?

Itu sah-sah saja sejauh orang tersebut bisa meyakinkan masyarakat, karena memang eranya begini.

Apa ada hal luar biasa yang Anda rasakan dari kemenangan Anda?

Saya tidak merasa luar biasa. Kebetulan ketika ikut masuk ke politik, sistem berubah, masyarakat berubah, ada kesempatan, dan masyarakat memberi kesempatan itu, sehingga saya berada pada momentum yang pas.

Apakah Anda memang mempersiapkan diri terjun ke politik?

Awalnya tidak. Saya hanya berusaha menjadi se- orang seniman yang dipercaya. Seorang pemimpin per-usahaan film yang mempunyai komitmen dan sebagai seorang kepala keluarga yang bisa membentuk keluarga yang baik dalam berbagai sisi. Tapi orang kemudian melihat apa yang saya jalani ini memang bisa dicontoh dan mereka menginginkan hal itu sehingga saya pun diminta naik panggung politik.

Saya sudah mempersiapkan diri masuk ke arena politik saat Pilkada DKI Jakarta.

Dari berbagai survei lembaga kajian, nama saya selalu masuk. Bahkan sebuah lembaga menyebut nama saya berada pada rating tertinggi disusul Pak Agum Gumelar dan Fauzi Bowo. Namun, eskalasi politik akhirnya menyebabkan saya tidak maju ke Pilkada DKI.

Sebelum menyatakan siap terjun ke politik, saya sudah membekali diri. Setiap akhir pekan saya ajak pakar-pakar di bidangnya ke rumah untuk memberikan wawasan berbagai bidang pemerintahan, terutama menyangkut pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan lingkungan. Sehingga saya mempunyai pegangan untuk bisa terjun ke politik atau pemerintahan. Dapat dikatakan saya tidak ujug-ujug jadi pemimpin yang tanpa persiapan. Saya juga siap untuk tidak populer dengan jabatan itu.

Bukankah dengan jadi pejabat masih mungkin untuk populer?

Dengan sistem sekarang ini seorang pejabat memikul pekerjaan yang sangat besar, membutuhkan waktu banyak. Sangat sempit untuk melakukan hal-hal yang populer. Apalagi banyak rambu-rambu yang harus diperhatikan.

Apa contohnya?

Untuk membuat keputusan saya harus sangat hati- hati. Harus berdasarkan prosedur yang jelas. Saya harus melihat dulu aturan-aturan. Dan harus siap dengan risikonya. Beda kan kalau jadi artis, teken kontrak langsung bayar, tidak menjelimet. Tidak perlu banyak pertimbangan. Apalagi uang yang digunakan pejabat adalah uang negara yang harus dipertanggungjawabkan. Dulu, sewaktu masih jadi artis, kalau diundang ke suatu acara biasanya kita diberi honor. Sekarang yang mengundang segan, takut dikira menyuap pejabat. Bahkan kadang-kadang kita yang harus menyumbang. Ini adalah risiko.

Apa Anda menyesal jadi pejabat?

Tidak. Bahkan saya bersyukur karena bisa melakukan banyak hal. Perlu juga diingat, sebelum mengambil keputusan ini, saya berkomitmen untuk hanya menjadi pejabat yang bertanggung jawab terhadap jabatannya. Artinya, saya melepaskan semua jabatan bisnis maupun keartisan agar konsentrasi benar-benar bisa tercurah pada jabatan yang saya pikul. Saya tidak mau ada benturan kepentingan pribadi atau keluarga dengan jabatan sekarang ini. Sekarang urusan bisnis saya serahkan ke adik-adik.

Apa yang Anda persiapkan agar jabatan dapat dipertanggungjawabkan?

Salah satu laptop saya penuh dengan perda, kepmen, PP, keppres, serta aturan undang-undang. Jadi, sebelum mengambil keputusan saya panggil dulu pejabat yang berwenang, lantas kami bahas berdasarkan aturan yang ada. Saya tidak ingin terjadi tumpang tindih aturan.

Meski baru dua bulan, saya sudah mencoba mendiskusikan banyak hal dengan bawahan sebelum keputusan atau kebijakan yang akan diambil dikeluarkan. Di sini kembali saya katakan, banyak hal yang harus dilakukan dan itu tidak semuanya mendapatkan imbalan. Jadi kalau mau jadi pejabat benaran, siap-siap untuk tidak kaya dan tidak populer.

Apa yang menjadi konsentrasi pekerjaan sekarang ini?

Saya dan Pak Ismet sudah berbagi tugas. Saya lebih banyak ke urusan pendidikan, kesehatan, lingkungan, budaya, dan pemuda serta olahraga.

Apa Anda mengalami kesulitan?

Saya akui, sebagai orang yang benar-benar baru bersentuhan dengan birokrasi, tidak mudah melakukan hal itu. Saya harus banyak bertanya kepada ahlinya. Saya juga harus banyak membaca aturan-aturan dan harus banyak melihat fakta di lapangan. Sesuatu yang tidak mungkin saya lakukan dalam waktu cepat. Butuh waktu untuk berbagai hal yang menyangkut keputusan besar.

Tetapi untuk masalah seperti kesehatan yang mendesak akan tetap saya prioritaskan. Tidak akan pernah ada bawahan saya mengusulkan suatu draf yang harus saya tanda tangani hanya karena sudah ditunggu pimpinan proyek misalnya. Jadi apa yang sudah saya putuskan benar-benar karena sudah saya pahami, bukan asal tanda tangan.

Apa bawahan Anda kesal?

Sejauh ini tidak juga, meski saya juga dikenal bawel. Bahkan mereka senang karena saya juga membuat agar Bawasda lebih proaktif sehingga mereka tidak ragu bekerja. Tidak lagi seperti beberapa waktu lalu, banyak yang tidak mau jadi pemimpin proyek karena takut dipenjara akibat kesalahan prosedur.

Termasuk juga soal penyaluran raskin. Setelah ada pengungkapan kasus penyelewengan raskin, sejumlah pejabat mengatakan tidak mau menyalurkan raskin karena khawatir berujung pada penjara. Untuk itu juga selain Bawasda, saya juga kerap mendiskusikan segala sesuatunya dengan BPKD, KPK, dan BPK, supaya nantinya tidak ada pejabat yang langsung ditangkap tanpa mengetahui terlebih dahulu persoalan yang terjadi di tingkat bawah.

Dengan demikian, setiap keputusan sudah dipertimbangkan dengan matang sesuai aturan. Misalnya, sekarang berbagai proyek pembangunan pekerjaannya terpaksa molor akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Padahal proyek-proyek itu sudah melalui proses anggaran dan tender. Pelaksanaan hampir semua pembangunan fasilitas umum di Kabupaten Tangerang tahun ini harus direvisi karena harga material naik. Kalau dilanjutkan rugi dan tidak ada biayanya. Kalau tidak dibangun terkena aturan dan berarti juga tidak ada pembangunan. Sementara sejauh ini sudah banyak warga Tangerang yang menagih pembangunan fasilitas umum seperti jalan, jembatan, dan gedung sekolah. Jadi, kami harus membahas lagi dengan berbagai pihak sehingga tidak disalahkan.

Saya juga berusaha menjelaskan kepada masyarakat kondisi yang terjadi sehingga mereka bisa memahami dan tidak mengecap kami ingkar janji. Bagaimanapun proyek besar butuh waktu, tidak bisa instan.
Demikian pula dengan program BLT. Kalau di lain daerah mungkin keberatan menyalurkannya, tapi kami melakukannya dengan penuh tanggung jawab karena bagi saya ini juga tantangan. Pejabat yang berwenang juga harus patuh karena juga menyangkut loyalitas mereka.

Dari awal Anda mengatakan peduli di lingkungan. Apa yang sudah Anda lakukan untuk Kabupaten Tangerang?

Yang penting sekarang ini adalah mengubah stigma masyarakat yang belum sepenuhnya memahami arti penting menjaga dan menyelamatkan lingkungan. Ada suatu daerah yang masyarakatnya boleh dikatakan tidak mampu kalau dilihat dari lingkungannya. Tetapi, ketika saya berkunjung dan dikerubuti masyarakat yang kemudian minta difoto bareng, saya tahu banyak warga yang punya handphone mahal. Berarti mereka mampu.

Justru untuk menjaga lingkungan saja tidak mau. Masih banyak yang dolbon (buang air besar di kebun, Red) karena rumahnya tidak punya jamban, tapi punya HP mahal. Karena itu, saya mulai dari yang kecil-kecil. Setiap Senin saya mengikuti upacara di sekolah-sekolah. Di sana saya memberikan pemahaman soal lingkungan dan kesehatan serta pendidikan. Misalnya bagaimana mengelola sampah, membuat pupuk sendiri. Biasanya para pelajar lebih mudah diberikan pengertian. Biarlah mereka yang membawa ke rumah, menularkan ke keluarga. Dengan demikian ketika kami melakukan berbagai program, setidaknya banyak keluarga yang sudah paham dari cerita anak-anak mereka.

Apa target Anda selama jadi wakil bupati?
Tidak muluk-muluk. Saya hanya ingin masyarakat bisa mandiri seperti di bidang pertanian maupun usaha kecil dan menengah. Saya melihat selama ini masyarakat masih belum bisa melihat peluang dengan jeli. Untuk di bidang pertanian saya membuat proyek percontohan tanaman padi organik skala kecil di sejumlah kecamatan. Nantinya petani diharapkan bisa melakukan hal yang sama, sehingga bisa memperkecil ongkos produksi, namun tetap mendapatkan hasil besar.

Tentu saja saya berusaha mengajak investor dan lem-baga bantuan ke Tangerang. Contohnya, di Kabupaten Tangerang terdapat banyak industri skala besar. Kenyataannya infrastruktur tidak tersedia dengan layak. Nah, saya berusaha mengajak investor besar yang kebetulan saya kenal ketika jadi artis, untuk ikut mengembangkan Tangerang. Misalnya membangun jalan baru yang layak dilalui truk container untuk mengangkut hasil produksi. Usaha itu sudah mulai menunjukkan hasil. Tidak lama lagi diharapkan kita sudah MoU, nota kesepahaman, dengan sebuah perusahaan besar untuk membangun jalan tol di wilayah Tangerang.

Secara kultur, saya tidak mengalami kesulitan karena tidak jauh berbeda dengan yang saya pahami selama ini. Terus terang, dengan wilayah yang cukup luas, mencakup 36 kecamatan, mengurus Kabupaten Tangerang bukan perkara mudah. Saya melihat pembangunan yang nyata di daerah ini memang baru terjadi pada periode lima tahun terakhir, semasa jabatan Pak Ismet sebelum bersama saya.

Tak heran masih banyak persoalan yang membutuhkan penyelesaian. Tapi itu bukan masalah. Yang penting ada kemauan. Saya mencoba memulainya dari diri sendiri dulu. Misalnya di ibu kota Tangerang Tigaraksa, masih sangat sulit mengakses internet ntuk mengembangkan daerah ini. Saya harus pergi ke kawasan lain. Tapi itu kerap saya lakukan karena memang butuh untuk memperluas jaringan dengan pihak lain yang berkepentingan dengan Kabupaten Tangerang.

Punya keinginan meraih jabatan lebih tinggi, jadi bupati atau gubernur misalnya?

Tidak ada program besar seperti itu. Sekali lagi saya hanya ingin menjadi pejabat yang berkomitmen, yang sadar dengan konsekuensi yang dipikul.

Apa keinginan lain yang ingin Anda capai?

Saya ingin kuliah untuk menunjang tugas saya. Belum tahu pasti jurusan apa. Masih mikir-mikir dulu. Mungkin akan ambil administrasi negara. Kali ini si Doel Anak Sekolahan beneran.

Bagaimana membagi waktu dengan keluarga?

Sejauh ini keluarga, anak, dan istri mendukung apa yang jadi tugas saya. Karena pada dasarnya sebelum mengikuti pilkada mereka memang sudah menyatakan siap. Apalagi mereka sudah terbiasa dengan kesibukan saya sewaktu jadi artis. Saya juga termasuk orang yang senang di rumah. Jadi kalau tidak sibuk saya pilih kumpul keluarga. Anak-anak saya juga tidak menuntut macam-macam. Paling-paling makan bersama di restoran. Jadi saya bisa melaksanakan tugas dengan baik.

Apa Anda enjoy jadi pejabat?

Ya, saya menikmatinya.

PEWAWANCARA: DEWI GUSTIANA

Nama : Rano Karno
Lahir : Jakarta, 10 Oktober 1963
Alamat : Kompleks Bumi Karang Indah, Jl Karangsari XII, No 1A,
Cinere, Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Istri : Dewi Indriani
Anak : Raka Widiarma (15), Deyanti Raka Sisi (12)
Jabatan : Wakil Bupati Tangerang

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/06/08/index.html

Tidak ada komentar: