UNTUK BISA TAMPIL SABAN HARI DI LAYAR TELEVISI MELALUI IKLAN DEMI KEPENTINGAN POLITIK MEMBUTUHKAN DANA BESAR. BAGAIMANA KIAT KANDIDAT BERKOMPETISI DALAM ARENA KEKUASAAN DENGAN MEMANFAATKAN LAYAR KACA DAPAT DISIMAK MELALUI RESENSI BUKU BERIKUT:
Judul: Iklan dan Politik Menjaring Suara dalam Pemilihan Umum
Penulis: Budi Setiyono
Penerbit: Galang Press, Januari 2008
Tebal: 390 halaman
Penulis: Budi Setiyono
Penerbit: Galang Press, Januari 2008
Tebal: 390 halaman
Pemasaran politik memiliki kesamaan dengan aktivitas pemasaran secara umum. Fungsinya adalah bagaimana menjual produk pada khalayak sasaran dengan cara yang tepat. Tujuannya untuk merebut simpatisan sebanyak mungkin melalui perencanaan strategi komunikasi yang tepat. Penyajian pesan yang unik sudah barang tentu bisa menjadi faktor kuat yang bisa mendongkrak keberhasilan perolehan suara para kandidat.
Kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) di DKI Jakarta tempo hari, antara Fauzi Bowo dan Adang Darodjatun bisa jadi merupakan salah satu contoh bagaimana kampanye yang terencana dengan matang bisa menghasilkan output sesuai harapan. Berkaca pada pemilu 1999 dan 2004, penulis memaparkan secara detil mengenai hal ini. Disertai contoh-contoh iklan cetak dan televisi dari masing-masing kandidat, kita bisa menarik sebuah pelajaran yang bisa jadi akan sangat berguna pada pelaksanaan kampanye pemilu 2009 nanti.
Penjabaran mengenai kampanye pemilu di era perubahan, dalam buku ini, memberi kita gambaran yang lebih konkret bagaimana pengemasan pesan (dimulai sejak pemilu 1999) yang dilakukan dengan lebih cerdas. Kegiatan kampanye yang dahulu didominasi oleh penggalangan massa arak-arakan keliling kota mulai berubah. Masyarakat mulai dicoba (meski belum menyeluruh) untuk mendapat pembelajaran intelektual mengenai masing-masing kandidat.
Tim sukses masing-masing kandidat kepala daerah yang sebelumnya hanya berisi para politisi praktis kini mulai melibatkan orang- orang yang bisa dianggap profesional di bidangnya. Mulai dari praktisi kehumasan, pakar periklanan, produser program televisi hingga perancang busana turut serta dalam proses pencitraan para kandidat.
Sayangnya, makin maraknya variasi iklan yang muncul tidak didukung pengelolaan pesan yang variatif. Seperti yang diutarakan penulis, sebagian besar materi iklan kampanye pada 1999 ini tak jauh dari ajakan untuk mencoblos nomor urut partai serta sosialisasi logo.
Menarik untuk dicermati adalah fenomena baru pada pemilu 2004. Penggunaan media mulai diramaikan dengan peran serta lembaga swadaya masyarakat dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bersosialisasi. Aktivitas "penyadaran" masyarakat ini bahkan sudah dimulai lebih awal yaitu di akhir 2003. Selama periode Maret 2004 saja total anggaran yang dikeluarkan untuk sosialisasi adalah sebesar Rp 46,6 miliar.
Kampanye Terselubung
Melihat potensi eksploitasi media yang terbuka akan hukum rimba, siapa kuat dia menang, KPU mengeluarkan aturan-aturan main. Aturan ini ditujukan untuk menjaga asas keadilan (fairness) dalam kegiatan kampanye. Namun, aturan tetap aturan. Tetap saja banyak parpol yang mencoba mengakali aturan tersebut. Buku ini mengupas "kenakalan-kenakalan" partai politik dalam melakukan kampanye terselubung. Walhasil, parpol dengan kekuatan anggaran besar tetap muncul sebagai bintang utama dari pentas iklan media.
Melihat potensi eksploitasi media yang terbuka akan hukum rimba, siapa kuat dia menang, KPU mengeluarkan aturan-aturan main. Aturan ini ditujukan untuk menjaga asas keadilan (fairness) dalam kegiatan kampanye. Namun, aturan tetap aturan. Tetap saja banyak parpol yang mencoba mengakali aturan tersebut. Buku ini mengupas "kenakalan-kenakalan" partai politik dalam melakukan kampanye terselubung. Walhasil, parpol dengan kekuatan anggaran besar tetap muncul sebagai bintang utama dari pentas iklan media.
Jika mengacu pada pakem periklanan, bisa diasumsikan bahwa mereka dengan anggaran belanja iklan terbesar tentu lebih berpeluang dalam peraihan suara. Ini terbukti pada pemilu 2004. Dari statistik yang dipaparkan, terlihat bahwa besarnya anggaran komunikasi pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi sebesar Rp 37,52 miliar hanya berhasil menjaring 26,61persen perolehan suara. Sementara pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang menghabiskan dana sebesar Rp 39,67 miliar berhasil meraih 33,57 persen suara.
Total biaya kampanye, pasangan Mega-Hasyim mengeluarkan Rp 202 miliar sedangkan Yudhoyono-JK menghabiskan Rp 143,36 miliar. Lantas di mana letak kelemahan strategi Mega-Hasyim sehingga bisa dikalahkan oleh Yudhoyono-JK? Meski disampaikan secara eksplisit, buku ini makin mempertegas pendapat umum bahwa masyarakat cenderung mendukung sisi yang lemah. Dalam pemilu 2004 Yudhoyono-JK tampil sebagai figur baru yang diharapkan bisa membawa perbaikan atas "kegagalan-kegagalan" kabinet Megawati selama periode kepemimpinannya. Bendera Golkar di belakang JK yang di awal era perubahan berkonotatif "status quo" seolah tidak berpengaruh lagi.
Upaya penulis menjabarkan kampanye politik dalam buku dengan begitu detail dan lengkap bisa menjadi landasan berguna bagi para praktisi periklanan yang akan (dan berniat) untuk terjun dalam penanganan komunikasi pemasaran di pemilu nanti. Sebuah perencanaan komunikasi yang terintegrasi terbukti bisa membawa keberhasilan dalam proses peraihan suara.
Sebuah kesimpulan yang bisa ditarik oleh praktisi periklanan adalah bagaimana buku ini memperkuat pentingnya sebuah strategi disiapkan sebelum turun ke tahapan eksekusi kreatif. Semestinya dengan kehadiran buku ini, pemilu 2009 nanti bisa menghasilkan kampanye-kampanye yang lebih menarik dengan ekplorasi media yang lebih variatif. [Budi Santoso, Creative Director Semut Api Colony]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar