13 Februari 2010

Berpikir Ala Wartawan

Didik Supriyanto - detikNews


Jakarta - Sudah seharusnya organisasi wartawan menegakkan standar profesi. Jadi itu bukan berita jika PWI melakukannya. Nah, kalau PWI melakukan yang tak lazim, itu baru berita.

Senin (8/2) malam lalu saya sedang terlibat satu forum diskusi. Konsentrasi saya buyar, setelah membaca SMS dari kawan lama, yang menekuni dunia akademik. "Apa kalian tidak ada kerjaan, sampai memberi penghargaan kepada caleg peraih suara terbanyak segala," katanya.

Saya tidak ngeh. "Sorry, tak paham. Apa maksudnya?" tanya saya. SMS berikutnya menjelasakan tentang penghargaan kepada Ibas, Puan dan Karoline sebagai tiga calon anggota DPR yang meraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif lalu. Penghargaan  diberikan oleh PWI dalam satu rangkaian acara peringatan Hari Pers Nasional.

"Duh, saya tidak mengerti. Meski sama-sama wartawan, saya tidak tahu apa dan bagaimananya. Coba nanti saya tanyakan kepada kawan PWI," jawab saya. "Aneh saja! Apa PWI sedang mencari muka?"

Saya baru sadar, kalau saya sedang ber-SMS dengan kawan yang sedang mengusik diri saya selaku wartawan. Kami memang terbiasa saling mengkritisi profesi kami. Sebelumnya, lewat SMS juga, saya mendiskusikan kasus plagiarisme yang menerpa dosen muda di universitas terkemuka di Bandung. 

"Kamu tidak perlu sinis, seperti itu. Memang penghargaan itu lebih pas bila diberikan oleh lembaga yang konsern pada isu-isu pemilu. Tapi saya kira PWI punya dalih dan tujuan rasional, yang saya tidak mengetahuinya."

Tanpa menunggu jawabannya, saya lanjutkan SMS saya. "Justru, kali ini PWI membuat langkah penting yang perlu diapresiasi: mengajak dunia pers untuk meletakkan standar profesi dan standar bisnis media. Ini akan berdampak positif bagi dunia pers kita."

"Saya sedang berpikir ala wartawan," jawabnya singkat. Kemudian datang penjelasannya. "Sudah seharusnya PWI melakukan apa yang kamu sebutkan tadi. Jadi, tak perlu diapresiasi. Biasa saja. Itu bukan berita. Memberi penghargaan kepada Ibas, Puan dan Karoline, itulah berita. Karena tak lazim dan mengundang tanda tanya."

Saya terpojok dan benar-benar tersindir. Saya pun tidak melakukan pembelaan diri lebih jauh. "Tak lazimnya di mana?" jawab saya merendah. "Ada tiga ketidaklaziman," katanya singkat. Lalu datang penjelasan berikutnya.

"Pertama, PWI bukan organisasi yang mengurusi isu-isu pemilu. Kedua, Ibas, Puan dan Karoline, tidak pantas mendapatkan penghargaan itu. Mereka tidak berprestasi. Suara terbanyak yang diraihnya lebih karena pengaruh orang tuanya."

Menyusul SMS berikutnya. "Semua orang tahu, pemenangan Ibas dan Puan adalah kebijakan partai. Semua struktur partai digerakkan karena mereka tidak ingin mempermalukan bosnya. Sedang kemenangan Karoline, ya karena bapaknya gubernur."

"Ketiga, ini yang harus kalian sadari, karena PWI adalah organisasi wartawan, maka kalian sesungguhnya telah berbalik membenarkan kultur buruk yang selama ini kalian kritik dengan keras: nepotisme politik dan oligarki partai."

"Wah, mantap benar argumennya. Saya berjanji, kritik ini akan saya sampaikan ke kawan-kawan PWI," jawab saya. "Terima kasih. Titip satu pertanyaan lagi buat kawan-kawan kamu di PWI," katanya. "Apa itu?" tanya saya penasaran.

"Kalau Ibas bukan anak Presiden SBY, apa PWI akan memberi penghargaan?" Perasaan saya jadi tidak enak, tapi tidak bisa berbuat banyak. "Baiklah. Terima kasih," kata saya mengakhiri SMS-an. Saya pun berpikir menulis dialog kami di kolom ini. Tentu dengan mengubah gaya bahasa SMS ke dalam bahasa Indonesia yang baik. *) Didik Supriyanto, wartawan detikcom yang juga Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). - http://www.detiknews.com/read/2010/02/12/153508/1298431/103/berpikir-ala-wartawan

Tidak ada komentar: