06 Juni 2008

Media, Hati-hati Beritakan AIDS!


KORAN-KORAN di Lampung belum lama ini memberitakan perihal Rt (28), warga Kabupaten Lampung Timur yang meninggal karena HIV-AIDS. Identitas penderita itu diungkapkan dengan lengkap, termasuk alamat tempat tinggalnya. "Kami sekeluarga dijauhi tetangga setelah mereka tahu dia terkena HIV-AIDS," kata Yahya, anggota keluarga dari Rt.

Para tetangga menjauhi mereka begitu media massa memberitakan perihal penyakit yang derita Rt, mereka juga tidak lagi bersikap seperti biasanya ketika Rt dibawa ke luar masuk rumah sakit. "Tetangga mulai menjauh dan enggan datang," katanya. Pengalaman pahit juga dirasakan keluarga itu ketika petugas kesehatan yang merawat dia berkomentar bahwa kalau di tempat lain rumah warga yang diketahui terjangkit HIV-AIDS itu dibakar ramai-ramai.

Diskriminasi dan cap buruk dialami keluarga Yahya karena hal itu, sehingga pada akhirnya mereka tidak berani membawa pulang Rt ke rumah. "Kami khawatir ada hal buruk kalau dibawa ke rumah kami," kata dia. Begitu pula saat dirawat di salah satu rumah sakit pemerintah di Bandar Lampung. Seorang petugas di rumah sakit itu mengatakan bahwa kasur bekas orang dengan HIV-AIDS (Odha) yang dirawat di sana akan dibakar, karena virus yang menempel di sana tidak bisa dibersihkan lagi.

Saat tahlilan setelah Rt meninggal dunia, dari sekitar 30-an tetangga yang diundang, hanya empat yang datang. "Mereka yang datang pun semuanya sama sekali tidak mau makan dan minum penganan yang kami sediakan. Padahal makanan itu semua dari membeli, bukan memasak sendiri," kata Yahya. Penderitaan keluarga itu, khususnya Rt, bertambah berat ketika suami dari Odha itu, beserta keluarga, enggan mengurusnya selama Rt dirawat di rumah sakit.

Edwin, warga Bandar Lampung, juga mengaku menjadi korban diskriminasi dan cap buruk yang dikaitkan dengan HIV-AIDS akibat pemberitaan media massa yang kurang tepat tentang dirinya. "Saya sampai menjadi serba salah dan tidak bisa berbuat apa-apa, karena seolah sudah divonis macam-macam lewat pemberitaan koran itu," kata Edwin.

Almizi Usman, pegiat dari kelompok pendamping Odha Saburai Support Group Lampung, menyatakan, cap buruk dan diskriminasi bagi Odha yang dilakukan masyarakat sekitar kerapkali dipicu pemberitaan kurang tepat dari wartawan. Dia mencontohkan kasus temuan HIV-AIDS di daerahnya yang secara jelas diberitakan identitas dan tempat tinggalnya di media cetak atau disorot kamera secara utuh di televisi. Itu berdampak langsung sangat buruk bagi Odha maupun keluarganya.

"Sayangnya, kenyataan seperti itu masih terus terjadi dan sangat menyedihkan bagi kami semua," kata Almizi. Kelompok itu juga pernah mengadvokasi perihal dampak pemberitaan Odha yang disiarkan sebuah media, sehingga media dan wartawan yang bersangkutan meminta maaf. Tapi pada kesempatan lain, menurut Aji, ternyata pemberitaannya masih belum berubah ke arah lebih baik.

Almizi mengatakan, ada dugaan banyak wartawan tidak mengerti tentang seluk beluk HIV-AIDS, sehingga ketika memberitakan masalah itu, acuannya adalah untuk meningkatkan jumlah tiras. "Tapi coba teman-teman wartawan dan media massa merasakan apa yang dirasakan Odha maupun keluarganya yang terdiskriminasi seperti itu," kata Almizi.

Media massa diingatkan, untuk ikut merasakan atau berempati dengan para penderita itu, sehingga dalam memberitakan atau menulis dapat lebih tepat dan benar. Menurut dia, ada penderita yang hingga saat ini belum mau menjalani perawatan di rumah sakit karena trauma pernah dikejar-kejar para wartawan yang ingin memberitakannya. "Sampai sekarang dia hanya mau sembunyi-sembunyi berobat, tidak mau ke rumah sakit. Katanya takut dengan wartawan," ujarnya.

Menurut Syaiful W Harahap, aktivis LSM InfoKespro, kesalahan pada pemberitaan terhadap para penderita itu antara lain karena wartawan bersangkutan minim pengetahuannya tentang HIV-AIDS. Dia mengingatkan para wartawan dan penulis HIV-AIDS untuk tidak mencampuradukkan antara fakta dan opini, serta bisa membedakan antara fakta privat maupun fakta publik serta opini maupun fakta empiris dan fakta medis, agar beritanya objektif, tepat, dan benar.

Hingga Desember 2007, ditemukan sebanyak 208 kasus HIV-Aids dengan 167 kasus Aids dan 121 kasus terinfeksi virus HIV. "Penyebab utama HIV-AIDS di Lampung itu adalah penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik, yaitu sebanyak 81 persen atau mencapai 233 orang," kata Kepala Sekretariat Badan Narkotika dan Penanggulangan HIV-AIDS Provinsi Lampung Ahmad Alwi Siregar.

Hingga Desember 2007 terdapat 54 kasus HIV-AIDS yang meninggal dunia, dari sebanyak 167 kasus HIV-AIDS di Lampung yang masih hidup itu. Kumulatif kasus HIV-AIDS paling banyak di Kota Bandarlampung sebanyak 134 kasus, dengan 45 kasus yang meninggal dunia, disusul di Kabupaten Lampung Utara (tujuh kasus), Lampung Tengah (enam kasus), dan Lampung Selatan serta Metro masing-masing lima kasus. ABD Sumber : Antara

Tidak ada komentar: