11 Juni 2008

Diperlukan Pemberitaan Damai

Oleh Sirikit Syah
Pendiri LKM Media Watch dan pelatih Jurnalisme Damai

Melapornya Munarman kepada pihak kepolisian dan diterbitkannya SKB tiga menteri membawa perubahan baru yang signifikan pada perkembangan kasus Ahmadiyah. Yang tampak di permukaan, setidaknya Munarman bisa berkata, "Saya bukan pengecut", dan tak ada yang bisa membantahnya.

Munarman datang sendiri setelah polisi gagal menemukannya, tanpa pengawalan. Dia juga melapor sesuai janjinya "Bila pemerintah tegas dan mengeluarkan SKB, saya menyerahkan diri."

Setidaknya, dia sedikit lebih jujur daripada para konglomerat penilap uang negara atau pejabat korup yang bila dipanggil untuk diperiksa malah beralasan sakit dan "menghilang" ke luar negeri.

Yang lebih mendalam dari itu ialah adanya potensi win-win solution, antara pihak yang menuntut pembubaran Ahmadiyah dan kaum Ahmadiyah yang bersikeras mempertahankan keyakinannya sebagai Islam meski MUI mengatakan aliran itu menyimpang, bahkan menodai akidah Islam.

SKB tiga menteri itu tentu lebih baik bagi Ahmadiyah dibanding pembubaran langsung dan pelarangan ajaran yang dianggap sesat ini. SKB tidak melarang dan tidak menganjurkan pembubaran. Inti bunyi SKB adalah silakan Ahmadiyah meneruskan ajarannya sejauh tidak menyebut Islam, atau silakan kembali ke Islam dengan akidah yang benar (menurut MUI). Ekses SKB ini telah diantisipasi melalui butir-butir berikutnya yang antara lain melarang dilakukannya tindak kekerasan terhadap umat Ahmadiyah.

SKB tiga menteri itu juga lebih baik bagi para umat Islam yang tersinggung dan marah karena agamanya 'diacak-acak'. Akhirnya SKB diturunkan juga. Di situ dituntut kejujuran kaum Ahmadiyah dalam mengidentifikasi jati dirinya sendiri di hadapan umat Islam lain dan publik umumnya.

Jurnalisme Damai

Pada 1998-2002, Indonesia yang baru mengalami pers bebas memang cenderung menyuarakan jurnalisme perang dalam liputannya: foto berdarah-darah di halaman depan, judul yang menyulut kebencian dan membakar kemarahan. Setelah 2002, antara lain, setelah pelatihan jurnalisme damai kepada ratusan wartawan Indonesia yang disponsori the British Council dan BBC, pemberitaan di Indonesia cenderung lebih smart.

Misalnya, pers tak lagi sekadar memotret fakta, tetapi lebih mengemukakan akar persoalan dan upaya solusi. Itulah inti ajaran jurnalisme damai: gali akar persoalan, upayakan saling pengertian pada kelompok yang bertikai, cari win-win solution.

Pekan lalu media kita kembali diwarnai nuansa kekerasan. Judulnya menggunakan kosa kata keras, fotonya menampilkan aksi brutal. Lebih dari itu, khususnya dalam insiden Monas yang dipicu kasus Ahmadiyah, kedua belah pihak menggunakan labeling yang dalam jurnalisme damai dianggap tabu.

Pihak A mengecap (memberi 'label') pihak B sebagai antek Yahudi atau antek Amerika. Maka pihak B kemudian balik mengecap pihak A sebagai antek Wahabi atau antek Arab Saudi. Pihak A kembali mengecap pihak B sebagai sekuler, bahkan kafir; maka pihak B menuding A sebagai laskar setan atau preman berjubah. Yang memprihatinkan, kedua pihak sama-sama mengaku Islam.

Stereotipe atau labeling sangat "diharamkan" dalam jurnalisme damai karena media tak semestinya menggeneralisasi sebuah komunitas. Nazi membantai sekian juta orang Yahudi hanya karena mereka dianggap less-human (kurang kadar kemanusiaannya dibanding bangsa Arya, bangsa Jerman), dan dikhawatirkan menodai ras unggul tersebut.

Seorang menteri Israel ditembak mati setelah dalam pidatonya mengecap bangsa Arab (Palestina) sebagai two-legged beasts (binatang buas berkaki dua) dan lice (rayap). George Bush dikecam orang di seluruh dunia ketika menyebut Iran dan Korea Utara sebagai axis of evil (poros setan).

Gambar FPI atau LKI memukuli para peserta demo AKKBB di Monas yang ditayangkan berulang-ulang, hanya akan menimbulkan efek kebencian dan keinginan membalas dendam.

Benar saja, sehari setelah peristiwa itu diliput media, di daerah-daerah banyak rakyat menuntut FPI ditutup. Padahal, bila dipikir dengan akal sehat, apa hubungannya kelakuan sementara anggota FPI di Monas dengan kegiatan FPI di daerah-daerah?

Kejadian Monas

Bagaimana media memberitakan insiden Monas? Pada hari pertama pascainsiden Monas, judul-judul berita utama (halaman satu) koran Indonesia antara lain seperti ini: "Kebhinekaan Dikhianati" (Kompas), "Tindak Kekerasan - Aksi FPI Dinilai Coreng Islam" (Media Indonesia), "Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban" (Republika), "Massa Ngamuk di Silang Monas" (Warta Kota), "Bubarkan FPI" (Koran Tempo), "Hard Liners ambush Monas rally" (The Jakarta Post), "Mobil Dirusak, 29 Korban Luka-Luka - Massa FPI Serang Demo AKKBB" (Pos Kota), "Tindak FPI, Menteri Maju Mundur" (Jawa Pos).

Selain pemakaian judul-judul bernuansa 'perang', media memasang foto-foto atau video adegan kekerasan yang berdarah-darah. Sebuah foto yang di-release Wachied Institute dalam jumpa pers kemudian dimuat beberapa media, bahkan dengan keliru fakta. Dalam hal ini foto Munarman mencekik seseorang (yang anak buahnya sendiri dengan tujuan mencegahnya bertindak anarkis), oleh sebuah harian diberi keterangan foto bahwa Munarman melakukan tindak kekerasan kepada peserta demo AKKBB.

Hal itu sebuah kekeliruan faktual mendasar, yang dapat terjadi karena wartawan tidak melakukan verifikasi, atau terselubungi oleh agenda setting tertentu. Untunglah, menyadari wartawan bisa saja melakukan kekeliruan, media bersangkutan telah meralat dan minta maaf pada edisi berikutnya.

Peran media adalah memotret fakta secara apa adanya, objektif, dan berimbang. Namun, ada sebuah peran yang disadari atau tidak, diakui atau tidak, menjadi krusial bagi media, yaitu media tak hanya observer, melainkan juga participant. Media berperan serta terhadap penyelesaian persoalan di masyarakat yang dipotretnya.

Seruan "Bubarkan FPI" itu menunjukkan media mendorong pembubaran FPI, bukan sekadar meliput fakta. Apakah pekan ini media massa akan mengupayakan solusi win-win bagi kedua pihak, dengan liputan yang mendamaikan, menyatukan, menyejukkan; atau malah memanas-manasi melalui pertanyaan para host dan moderator talk show serta judul berita yang provokatif? Kita, konsumen media, akan menilainya.(*)

jawa pos, opini, 11 juni 2008

Tidak ada komentar: