27 Mei 2008

Kontroversi Komedi Seks: Judul Provokatif Memancing Penonton * Selalu Berhasil Menarik Penonton TV

Komedi seks bukan genre baru dalam sejarah perfilman Indonesia. Sejak trio warkop, genre ini memang ceruk yang subur. Komedi berbumbu seks bisa dikenali dengan mudah lewat judul. Berkonotasi, provokatif, jika perlu menyulut kontroversi.

Fenomena ini mengingatkan orang pada film -film seks era-90-an yang menjual jual paha, dada, dan ranjang. Ulah produser film itu semula diklaim sebagai upaya mengatasi keterpurukan bioskop Indonesia. Tak heran muncul judul-judul seperti, Bebas Bercinta, Gairah Terlarang, Gejolak Nafsu, Ranjang Cinta, atau Permainan Erotik. Namun akhirnya, judul-judul itu tidak mampu menyelamatkan kondisi perfilman dari keterpurukan panjang.

Lantas benarkah judul menjadi kiat andalan merebut penonton, hingga harus provokatif? Malahan belum reda polemik ML, Anda Puas Saya Loyo yang memasang artis Andi Soraya, Komeng, Ruben Onsu malah siap meluncur. Jadi patut diduga, sejumlah rumah produksi boleh jadi menganggap judul provokatif sebagai jurus ampuh. Namun malang buat Indika Entertainment. Alih-alih menanggung untung, mereka malah buntung. Film ML yang diproduseri Shankar RS itu bukan hanya batal tayang, tapi juga menuai protes dan polemik.

"Demo ini bukan hanya untuk film ML saja. Bukan film ML aja yang kami protes, kami kecam. Tapi film-film sebelumnya seperti BCG (Buruan Cium Gue, Red), Virgin, Arisan dan Quickie Express. Film-film itu bukanlah film yang mendidik," ujar Koordinator demo mahasiswa tersebut, Ivan Ahda yang mengaku dari Universitas Indonesia, saat ditemui di Gedung LSF, Jakarta, pertengahan Mei lalu.

Di Padang, film ML pun menuai protes meskipun belum pernah tayang. Protes itu pun akhirnya berimbas pula pada kredibilitas Lembaga Sensor Film (LSF). Tetapi urusan film porno bukan hanya beban LSF. Peredaran film porno yang marak terjual bebas adalah juga tanggung jawab bersama di samping aparat kepolisian.

Ketua LSF Titi Said mengaku telah melakukan penyensoran terhadap film ML. Bahkan, film tersebut sudah mengalami tujuh kali revisi sejak bulan April 2008. Selama proses itu, LSF telah memotong beberapa adegan, dengan durasi sepanjang 15 menit. Penghapusan sejumlah adegan itu didasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 7/1994 tentang LSF pasal 19.

"Adegan yang tidak sesuai dengan peraturannya dipotong. Adegan ciuman yang sampai melintir-melintir dipotong, yang ciuman biasa tidak. Adegan di atas ranjang yang kurang senonoh sudah dihapus," ujar Titi.

Setelah kisah kocak gigolo dalam Quickie Express memetik sukses, genre komedi seks kian marak. Judul -judul pun kian bervariasi dan makin berani. Sebut saja film XL (Extra Large); Antara Aku, Kau dan Mak Erot atau film Namaku Dick. Kisah film XL sudah dapat ditebak dari judulnya, yakni tidak jauh dari urusan membesarkan alat vital.

Ada juga film Namaku Dick yang dibintangi Tora Sudiro -juga membintangi Quickie Express-, berkisah tentang seorang laki-laki yang bisa bercakap-cakap dengan alat kelaminnya. Dalam bahasa Inggris slang, "dick" adalah sebutan untuk alat kelamin pria. Lalu menyusulkan ML yang tak bisa dipungkiri berkonotasi "Making Love", meskipun di poster-posternya diperjelas sebagai singkatan "Mau Lagi".

"Film ini sebenarnya adalah kampanye bahaya seks bebas yang saat ini menjadi gaya hidup masyarakat kita. Dari film ini, bisa dilihat bahwa kita tidak bisa hidup bebas dan liar karena itu berbahaya," ujar Produser Indika Film, Shankar RS.

Kontroversi film ML, kata Shankar, mulai berkembang sejak adanya kebocoran cuplikan film tersebut di internet. Kebocoran itu memicu munculnya isu negatif terkait film tersebut. ML justru sarat dengan nilai edukasi yang mengampanyekan bahaya seks bebas di kalangan remaja.

Pernyataan Shankar boleh jadi benar. Tetapi Indika Film tak secerdik Multivision Plus Pictures (MVP) dengan film DO (Drop Out) dengan tagline "Asik Terus Sampai Mampus". Sekalipun memasang aktris molek Titi Kamal, DO juga menetralisir dengan sosok Dr Boyke, yang dikenal kalangan medis sebagai pakar seksologi. MVP pun memasang label "sex education" , baik setiap di poster promo.

Boleh jadi, genre komedi seks dilirik produser sebagai lahan menggiurkan setelah horor dan roman. Di Amerika, genre ini pun berkembang dengan film-film seperti American Pie, National Lampoon, dan Dorm Daze. Film komedi seks itu konon cukup laris di Hollywood, tapi tentu tidak bisa tayang di Indonesia.

Sebelum kasus ML muncul, tahun 2004 lalu, film Buruan Cium Gue juga bermasalah karena bersinggungan dengan unsur seks. Sebagian besar ulama, seperti KH Abdullah Gymnastiar, menyebutkan judul film ini seakan-akan persuasi untuk mengajak remaja untuk berzina.

Sebuah judul memang jadi kemasan utama sebuah film, selain cerita, aktor dan sutradara. Judul adalah yang pertama kali dilihat calon penonton. Alhasil satu judul film tidak ditentukan oleh penulis skenario atau sutradara, produser cenderung lebih banyak memiliki porsi yang besar.

Judul dan materi film memang jadi sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Tetapi di Indonesia, pakem itu tidak selamanya berlaku. Kadang film dengan judul "mengundang" visualnya justru tidak ada apa-apa, sedangkan judul yang biasa saja tetapi isinya sarat dengan visual vulgar. Jadi sulit menerka kualitas film Indonesia hanya dengan membaca judulnya saja.

Sutradara Garin Nugroho menyebutkan menampilkan gambar-gambar yang vulgar bukan sebuah solusi untuk menggiatkan kondisi perfilman tanah air.

"Sejak dulu, (cerita) seks yang dangkal dan agama yang simbolik memang ampuh untuk mengembalikan kondisi perfilman tanah air. Tapi itu bukan solusi. Itu adalah jalan pintas," sebutnya.

Dibanding dengan film-film komedi seks zaman Nya Abbas Akup, Garin menilai film-film saat ini sangat jauh tertinggal kualitasnya. Dahulu, Nya Abbas Akup memiliki sesuatu yang ingin disampaikan, tapi kalau sekarang hanya sekedar jualan seks saja, sebutnya.

"Hal ini menjadi sebuah ironi. Di tengah majunya film Indonesia dan era keterbukaan yang luas, tetapi film-film kita tidak memiliki gaya yang baru," tambah Garin.

Namun trik menarik perhatian dengan menyisipkan unsur seks di dalam sebuah film (judul dan materi) adalah hal yang klasik. Trik ini bisa masuk di semua genre film, baik drama, aksi, petualangan, atau horor. Kecuali saja film anak-anak tentunya.

Dalam genre komedi, unsur seks kadang kala menjadi menu utama. Guyonan yang nyerempet-nyerempet urusan seks menjadi sebuah senjata yang terbukti ampuh. Hal ini pernah dibuktikan dengan keunggulan trio Warkop DKI, Dono Kasino, dan Indro dalam kemasan cerita film-film mereka.

Contoh lain adalah film Inem Pelayan Sexy (1976) yang disutradarai oleh Nya Abbas Akup. Film ini memperoleh Piala Antemas dalam ajang FFI 1978 karena berhasil menjadi film terlaris pada 1977 dengan 371.369 penonton. Bahkan film ini dibuat sekuelnya lebih dari dua kali.

Saat itu, trik untuk menarik perhatian penonton ini pun diakui oleh sutradara Wim Umboh seperti dikutip oleh Majalah Tempo edisi 22 Juni 1989 lalu. "Masuknya seks hanyalah untuk menarik penonton agar suka datang melihat film-film kita," katanya.

Sutradara Nyak Abbas Akub pun menyebutkan film seks dan sadisme digandrungi oleh penonton saat itu. Menurutnya sudah terjadi pergeseran nilai-nilai di masyarakat. "Akan berkembang terus karena setiap kurun waktu akan ada nilai-nilainya sendiri," katanya.

Terlebih, menurut Akup, saat itu Indonesia tengah mendapat serangan film impor yang semakin banyak, sehingga film-film nasional harus mencari jalan agar tetap survive.

Sekilas kondisi yang disebutkan Akup hampir mirip dengan kondisi belakangan ini. Film Indonesia baru saja bangkit dari tidurnya selama lebih satu dekade. Serangan film impor pun tidak kalah sengitnya dengan masa Nya Abbas Akup, apakah solusi yang diambil akan sama dengan zaman itu.

Deddy Mizwar, pemain dan sutradara Nagabonar Jadi 2, pernah menyebutkan bahwa film itu adalah bukti jika film yang sukses di pasaran dan menang di festival bisa dibuat tanpa harus ada adegan cium-ciuman atau buka-bukaan. [SP/ Kurniadi & Unggul Wirawan]


Dari Warung Kopi sampai Anda Puas Saya Loyo

Film-film dengan susupan materi seks memang bukan cerita baru. Sejak lama materi seks jadi senjata unggulan untuk mendongkrak raihan penonton. Dahulu, ada film Antara Bumi dan Langit (1950) karya sutradara Dr Hyung dan penulis skenario Armijn Pane. JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia menyebutkan film ini adalah film Indonesia pertama yang menyisipkan adegan ciuman. Saat itu film ini sempat menuai protes hingga akhirnya judulnya diubah judulnya jadi Frieda.

Pada era '70-an muncul judul-judul seperti Ratu Ular (1972), Tiada Jalan Lain (1972), Bumi Makin Panas (1973), Pengakuan Seorang Perempuan (1974), Rahasia Perawan (1975), Ciuman Beracun (1976), Gadis Panggilan (1976), Ganasnya Nafsu (1976), Tragedi Tante Sex (1976) dan Tinggal Bersama (1977).

Judul-judul itu pun sempat diprotes hingga dilarang diputar di suatu daerah. Seperti film Bumi Makin Panas yang dilarang diputar di bioskop-bioskop di Cianjur, Jawa Barat. Film itu juga ditolak lembaga sensor Malaysia. Ada juga produser-produser mencari jalan tengah dengan mengubah judul dan merevisi beberapa adegan. Seperti film Sex Maniac (1976) berubah judulnya menjadi Ciuman Beracun, film Tante Sex yang berganti Tante Sex dan Semen Leven yang berubah jadi Tinggal Bersama.

Namun catatan JB Kristanto menyebutkan di era '70 an, film Bernafas dalam Lumpur (1970) yang dibintangi oleh Suzanna adalah film Indonesia pertama yang menonjolkan seks dan dialog-dialog kasar "berbau" seks. Film ini cukup heboh hingga dilarang di Bandung, tetapi cukup laris di pasaran hingga dibuat trilogi.

Di era '80 an semarak pameran paha atau dada tidak surut. Era ini pun memunculkan bintang-bintang panas seperti Enny Beatrick, dan Eva Arnaz. Di akhir 1980-an, beredar film yang kontroversial, yakni Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989) yang dibintangi Yurike Prastica.

Dekade '90-an adegan seks di layar lebar semakin menggeliat. Hal ini terlihat dari judul-judul film yang digunakan. Pada era itu judul film yang menggunakan kata "gairah" tercatat ada 13 judul, seperti Gairah dan Dosa, Gairah 100%, Gairah Binal, Gairah malam, Gairah Malam Yang kedua, Gairah Malam Yang Ketiga, Gairah Membara, Gairah Perawan dan sebagainya.

Di era ini pun muncul bintang-bintang seperti Inneke Koesherawati, Malvin Shayna, Sally Marcellina, Windy Chindyana, Febby Lawrence, Gitty Srinita, Leila Anggraini, Taffana Dewi. Sementara aktor yang melejit adalah Rhenaldi dan Ibra Azhari. Materi seks di era ini tercatat lebih "berani" dari era-era sebelumnya. Inneke Koesherawati dan Malfin Shayna harus melakukan adegan lesbian di kolam renang dalam film Pergaulan Metropolis (1984).

Film-film itu mungkin memiliki muatan seks yang terlalu vulgar. Ada juga contoh film yang menyisipi seks dengan halus dan berbungkus komedi seperti yang dilakukan trio Warung Kopi (Warkop DKI) dalam film-filmnya. bahkan beberapa judul yang digunakan Warkop juga sering kali berkonotasi "nyerempet", seperti Maju Kena, Mundur Kena, atau Atas Boleh, Bawah Boleh. Menariknya film-film Warkop justru selalu berhasil menarik pemirsa TV pada saat Idul Fitri.

Melihat fenomena seks di layar lebar, memang wajar sekali jika orangtua saat ini sudah patut khawatir menjaga anak-anak mereka dari tontonan yang negatif. [SP/Kurniadi]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/25/index.html

Tidak ada komentar: