08 April 2008

Running Text "Wartawan Televisi Tak Menerima Amplop" dan Dimensi Pelayanan Publik


oleh: Teguh Imawan, KameliaTV

Sebuah pertanyaan mencuat manakala sepanjang hari menyaksikan layar stasiun televisi berita menayangkan running text/newsticker berisi pemberitahuan: “Wartawan … tidak menerima imbalan dalam setiap peliputan berita”. Bukankah wartawan dilarang menerima imbalan (suap, sogok, dan sejenisnya) pada saat menjalankan tugas jurnalistiknya? Apakah itu berarti masih banyak wartawan yang menerima imbalan saat menjalankan tugasnya?

Memang, kalau merujuk rumusan Kode Etik Jurnalistik, jelas sekali bahwa wartawan Indonesia tidak boleh menyalahgunakan profesi dan tidak boleh menerima suap. Maksud penyalahgunaan profesi itu dalam konteks tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Sedangkan suap lebih dipandang segala pemberian dalam aneka bentuk, bisa uang, benda, atau fasilitas, yang mempengaruhi independensi.

Sikap independen mengarahkan wartawan untuk mampu memberitakan peristiwa, fakta, kejadian sesuai dengan nurani tanpa intervensi, kendali, atau pengaruh dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers. Melepaskan diri dari kepentingan pemilik perusahaan pers memang bukan tindakan gampang dan tanpa risiko. Terlebih kalau pemilik perusahaan pers memiliki kiprah di bidang non pers, misalnya sebagai pengusaha, politisi, budayawan, agamawan, profesional, maupun komunitas tertentu. Salah-salah, tindakan independensi bisa berbuah petaka ketika sikap tersebut berbenturan dengan kemauan pemilik perusahaan pers.

Komitmen

Dalam konteks relasi wartawan dengan perusahaan pers, penayangan teks berjalan (running text) berisi pelarangan wartawan menerima imbalan dalam setiap peliputan berita lebih merupakan peneguhan komitmen secara terbuka kedua belah pihak untuk menegakkan dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.

Secara praktis, penayangan sepanjang hari dan berbulan-bulan juga memperlihatkan spirit perusahaan (pemilik) pers mengajak siapa pun yang bertalian dengan kerja wartawan senantiasa memberikan kontrol/memantau kinerja profesionalitas wartawan dalam melakukan peliputan berita. Publik (narasumber dan pembaca/pendengar/pemirsa) dapat menjadikan isi rumusan teks berjalan sebagai pegangan sikap menghadapi perilaku wartawan gadungan dengan cara mengecek kebenaran/ketidakbenaran tempat bekerja seorang wartawan.

Sikap kritis publik akan cenderung meningkat seiring perkembangan budaya bermedia yang kian tumbuh baik di masyarakat. Pemberitaan seputar penipuan kepada narasumber dengan mengatasnamakan wartawan dan keterbukaan perusahaan media pers mengklarifikasi kasus-kasus pemanfaatan institusi untuk kepentingan pribadi wartawan telah memiliki andil besar mengembangkan daya kritis publik terhadap jagat wartawan di tengah masyarakat.

Partisipasi publik mengawasi keberadaan wartawan (juga media pers) di tengah masyarakat pada saat menjalankan tugas profesionalnya merupakan bagian vital menjaga agar kebebasan pers yang menjadi dasar kerja penerbitan dan penyiaran media pers dapat berjalan secara tepat dalam masyarakat.

Dengan demikian, posisi teks berjalan di bagian bawah layar kaca televisi dapat dimaknai prosedur teknis menjaga standar profesi jurnalisme. Bukankah pengawasan lebih efektif dan efisien kalau melibatkan banyak pihak?

Pelayanan Publik

Tentu saja, profesionalitas wartawan merupakan perangkat utama warga masyarakat memperoleh informasi yang benar mengenai masalah publik. Adapun masalah publik (public issue) merupakan fakta dalam kehidupan masyarakat yang berkonteks dengan penyelenggaraan negara. Pikiran dan pendapat yang terbentuk sebagai respon terhadap masalah publik menjadi dasar dalam kehidupan publik.

Dengan demikian, tidaklah semua fakta dalam masyarakat relevan sebagai dasar pembentukan pendapat publik (public opinion), yakni respon pro dan kontra warga masyarakat terhadap masalah publik yang bersifat aktual. Dinamika dari pro dan kontra itulah yang menjadi dasar bagi kebijakan publik (public policy), baik berupa keputusan maupun tindakan pejabat publik dalam melayani warga masyarakat.

Melihat mata rantai tersebut, jelas bahwa kebebasan pers bukan hanya menyangkut keberadaan media pers, tapi juga menyangkut suatu rangkaian dalam proses berdemokrasi. Yakni proses dari kehidupan warga masyarakat yang dikenal sebagai fakta publik yang memiliki signifikansi sebagai masalah publik, untuk kemudian disiarkan oleh media pers sebagai informasi jurnalisme. Informasi ini akan menjadi sumber dalam proses pembentukan pendapat publik. Dan lebih jauh, informasi tersebut sebagai dasar dari kebijakan dalam memberikan pelayanan publik (public service). Ujung dari seluruh proses sedemikian panjang itu adalah pelayanan publik dan akuntabilitas (accoutability) sebagai ciri dari birokrasi publik (pemerintahan) dalam norma demokrasi yang didalamnya terselip tata kelola pemerintahan yang baik.

Dengan begitu, pelayanan informasi publik yang baik misalnya, tidak dapat berjalan sendiri. Keberadaan teks berjalan yang diisi informasi untuk kepentingan menjaga harmoni kehidupan publik berupa penekanan pada kualifikasi wartawan profesional memiliki kebermaknaan terhadap demokrasi yang di dalamnya mensyarakatkan adanya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas terhadap publik.

Untuk itu perlu dibedakan antara media massa sebagai media yang menyampaikan informasi berfungsi hiburan, dengan media pers yang berfungsi informasional, menyampaikan informasi faktual dalam kehidupan publik. Teks berjalan berisi informasi yang menekankan penghormatan dan pengembangan keadaban publik menjadi bernilai positif bagi kehidupan publik.

Sebaliknya, teks berjalan yang isinya menekankan kepada kepentingan profit semata (misalnya, menampilkan nomor penampung SMS/short message service premium untuk menyedot uang penonton televisi) sudah sepantasnya dieliminasi dari layar kaca.

Selain karena kemanfaatan bersama bagi publik lebih sedikit dibanding keuntungan yang diraup pemilik media, layanan layar kaca semacam itu tidak positif bagi produktivitas publik. Maraknya konten SMS yang tak edukatif selayaknya segara “ditata” demi memberikan ruang pemberdayaan masyarakat. –


Tidak ada komentar: