08 April 2008

Infotainment Versus Kesantunan Publik

Oleh: Teguh Imawan, Kajian Media & Literasi Televisi (KameliaTV)

Salah satu tambang emas tayangan layar televisi adalah acara infotainment. Meski tayangan seputar dunia artis dan selebritis ini telah mendapat kritik, kecaman, bahkan diharamkan oleh organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, toh infotainment melenggang dengan sempurna menjumpai penontonnya baik di pagi, siang, dan petang hari.

Memang semula, reaksi pro dan kontra menyikapi pandangan komunitas keagamaan terbesar Indonesia ini berujung senyuman, manakala kalangan pebisnis infotainment menyambut baik semangat memerangi isi infotainment yang mengarah ke fitnah. Bahkan, gagasan dasar menjauhi fitnah diamini dan diyakini kebagusannya oleh siapa pun yang bergerak di bidang jurnalisme infotainment.

Bila efektivitas fatwa ditakar dari slogan, maka boleh dikatakan dalam dua bulan ini cukup berhasil. Buktinya, infotainment Cek & Ricek produksi Bintang Grup yang disiarkan RCTI sempat mengubah slogan (tagline), dari “pelopor jurnalisme infotainment” menjadi “the new spirit of infotainment”. Slogan “semangat baru infotainment” memang cepat dan sempat diusung, namun menyangkut isi tayangannya menjauhi aib terasa masih gamang.

Aib dan Baik

Tak gampang mengakhiri kultur bergunjing yang mekar sejak delapan tahun silam. Karena ia telah berkait-kelindan, saling merajut relasi antara kesadaran penonton, sensasionalisme televisi, dan sikap hidup permisif. Secara umum, begitu ada tekanan publik bermatrakan nilai religiusitas, orientasi tayangan tampak ada semangat memberi sisi baik ketimbang sisi aib kehidupan artis-selebritis. Maka tayanglah liputan mengenai artis umroh, artis mengembangkan potensi positif melalui hobi serta sisi filantropisnya.

Namun, betotan gunjingan beserta “bumbu-bumbu” penyedap kemasan acara tak kuasa dielak saat mencuat artis bermasalah. Misalnya: kasus cerai rujuk Saiful Jamil-Dewi Persik, perebutan anak Tamara Blezynski-Tengku Rafli, cerai artis Ulfa Dwiyanti, Titi DJ, Ira Maya Sopha. Pun begitu jua saat meliput artis tersangkut kriminalitas Lidya Pratiwi, serta kematian penyanyi Alda Risma.

Pertarungan menayangkan berita “aib” dan “baik” merupakan potret sejati jati diri infotainment yang tak bisa lepas dari tumpuan popularitas (rating acara). Kreasi sensasi tayangan infotainment merupakan daya jual memikat-menawan penonton. Tayangan artis-selebritis tumbuh subur berkat pupuk kultural kehidupan masyarakat yang kental mental membolehkan apa saja, alias permisif.

Dalam bingkai filsafat kebudayaan yang mengedepankan dramatisasi-kemenawanan-kehebohan, maka infotainment sukses mencopot jubah selimut personal, pribadi, privat, sehingga terbuka, telanjang, dan menjadi milik publik luas.

Ketika infotainment menggerayangi dunia privat artis-selebritis, mencuatlah dilema infotainment. Ada semacam pertarungan hebat antara kebebasan melawan moralitas. Terpentaskan tabrakan spirit produk layar kaca versus moral, tradisi.

Fatwa haram infotainment, hakekatnya merupakan kodifikasi dari kegerahan sebagian komunitas penonton televisi. Ada semacam konter pandang terhadap produk unggulan tayangan televisi. Kodifikasi aspirasi komunitas itu sebagai bagian strategi menghadang atau melindungi dari potensi negatif tayangan sehingga bisa mendegradasi serta mendevaluasi nilai suci (sacred values). Padahal, nilai suci itu menjadi tali ikat identitas kultural komunitas/publik.

Kesantunan

Meski begitu, memartabatkan infotainment butuh kerjasama para pihak. Ini karena infotainment telanjur menjadi bagian keseharian penonton televisi. Bahkan, menonton infotainment tak ubahnya sebagai “ritus” daily life. Tontonan utama di pagi, siang, sore, petang, malam, hingga dini hari lagi. Hingga kini, penonton televisi masih disuguhi tema kawin, cerai, percintaan, dan kasus artis-selebritis.

Melihat kuatnya akar infotainment, perlawanan kultural sporadis dan parsial tidak lagi memadai. Dibutuhkan kerja simultan dan serentak di berbagai level. Pertama, secara filosofi media, fatwa haram infotainment merupakan sebuah upaya komunitas masyarakat menyemangati para anggotanya untuk kembali menghidupkan spririt keadaban publik. Menjauhi pergunjingan, mengorek-korek aib, maupun menebar berita berbau fitnah, merupakan langkah awal merajut keadaban publik yang perlu dikembangkan dalam cagar budaya yang menghargai dan menghormati adab, toleransi sosial, dan kesantunan publik.

Langkah tersebut diharapkan mampu menggerakkan dan mengarahkan publik menjadi lebih produktif, kreatif, dan bertanggungjawab. Keluarga dan komunitas dijadikan mata tombak melawan kultur membolehkan apa saja dihidangkan ke publik, meski itu merupakan persoalan yang masih dianggap belum/tak pantas. Desakan sebagian masyarakat ini diharapkan berperan dan menciptakan sebuah kultur tanding.

Kedua, lebih berharga lagi kalau elite kultural mampu menawarkan usulan kreatif yang berdaya mendorong masyarakat penonton televisi menuju budaya menjauhi sensasional ala infotainment seperti sekarang ini. Karena dari kacamata sosilogi media, dorongan itu dapat diujudkan melalui kemasan acara yang menekankan arti penting semangat kebersamaan.

Ketiga, daya ubah menjadi cepat terasa apabila didukung perubahan politik infotainment maupun kebajikan pengelola televisi. Khususnya kesediaan pengelola merespon aspirasi penonton dengan mengurangi jam tayang infotainment. Sangat baik sekali, bila ada kanal televisi yang tegas menolak acara membuka aib dan mengorek sisi pribadi. Sehingga saluran ini dapat menjadi ruang adu kritik, saran, rekomendasi, dan debat publik. Ada semacam katup penyelamat publik menumpahkan emosi secara beradab, tanpa kekerasan fisik. Jadi, tersedia mekanisme berbeda pendapat pada persoalan publik yang kontroversial.

Kesemuanya itu menyemangati berkembangnya ruang apresiasi terhadap hati, cinta, semangat hidup yang kerap diudal-udal oleh bahasa, tanda, semiotika infotainment. Kelonggaran itu membuka ruang alam pikiran menyempitkan jiwa konsumerisme. Komodifikasi/memperdagangkan artis-selebritis via infotainment perlahan-lahan dipinggirkan, sampai tak diperhatikan pemirsa.

Memang tak resep manjur secara singkat. Sinergi langkah memartabatkan infotainment membutuhkan kesabaran dan kecermatan. Terlebih selama ini tayangan televisi telah melanggar “pagar api” kesantunan publik. Jadi, mencengnya tayangan televisi bukan hanya urusan ulama, tapi urusan semua pihak. Yakni: pemilik dan pengelola televisi, pemasok acara, pengiklan, dan penonton televisi. —

Tidak ada komentar: