Dalam lima tahun terakhir, stasiun televisi berlomba-lomba menggelar acara kontes menyanyi dan idola-idolaan yang pemenangnya ditentukan dengan jumlah SMS. Mengapa itu dilakukan? Jawabnya: kontes seperti itu adalah bisnis besar yang melibatkan banyak pemilik modal.
"Kalau tidak menguntungkan, tidak mungkin RCTI memproduksi Indonesian Idol sampai lima kali," ujar Daniel Hartono, Project Director Indonesian Idol, Jumat (4/4) di Jakarta. Dia tidak bersedia merinci berapa keuntungan yang diraih dari acara itu.
Namun, kita bisa menghitung secara kasar berapa uang yang bisa diputar oleh acara seperti Indonesian Idol. Menurut Daniel, dalam satu musim kontes, jumlah total SMS yang masuk berkisar 6 juta-7 juta. SMS ini berjenis premium dengan tarif Rp 2.000. Dengan demikian, uang yang berputar dari SMS saja mencapai Rp 12 miliar-Rp 14 miliar per musim kontes.
Uang tersebut memang tidak seluruhnya masuk ke kantong stasiun televisi. Menurut Daniel, uang yang terkumpul dari SMS harus dibagi ke pemegang format acara dan merek Idol, yakni Freemantle, content provider (CP), dan operator seluler. Bagaimana pembagiannya? Daniel tidak bersedia menjelaskan.
Adita Irawati, Division Head Public Relation Indosat, memberi gambaran, biasanya operator seluler bekerja sama dengan CP untuk bisnis SMS bertarif premium. Operator menyediakan jaringan, sedangkan CP mengisi jaringan tersebut dengan program acara, kuis, atau permainan. Nah, biasanya CP bekerja sama lagi dengan penyelenggara acara termasuk televisi.
Dalam kerja sama antara operator dan CP, pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kelas perjanjian. Untuk Kelas A, CP memperoleh 65 persen, sedangkan operator 35 persen. Untuk Kelas B, CP 60 persen, operator 40 persen. Untuk Kelas C, keuntungan dibagi sama besar. Adita tidak tahu pasti bagaimana perjanjian pembagian keuntungan untuk acara-acara kontes menyanyi di televisi.
Keuntungan yang dibagi, lanjut Adita, adalah keuntungan tarif premium setelah dikurangi tarif dasar SMS sebesar Rp 350. Dengan demikian, jika tarif SMS premium adalah Rp 2.000, uang yang dibagi antara CP dan operator adalah Rp 1.650 per SMS. Untuk acara idola-idolaan, porsi keuntungan yang diperoleh CP masih harus dibagi lagi kepada stasiun televisi dan pihak lain.
Daniel mengatakan, sebenarnya SMS hanya menyumbang 5 persen-10 persen dari seluruh keuntungan yang diperoleh Indonesian Idol. Keuntungan terbesar tetap diperoleh dari iklan. Nah, untuk acara Indonesian Idol, okupansi iklan rata-rata mencapai 100 persen atau 18 menit dari setiap durasi acara satu jam.
"Bisnis mimpi"
Karena acara-acara semacam ini bisa menggerakkan modal dalam jumlah besar, tidak heran jika stasiun televisi berlomba-lomba memproduksi kontes-kontes serupa. Setelah sukses dengan Indonesian Idol, misalnya, RCTI menggelar Idola Cilik dan Saatnya Jadi Idola. TPI menggelar KDI, Dangdut Mania, dan Dangdut Mania Dadakan. Indosiar, dulu, menggelar AFI dan AFI Junior. Bahkan, ada televisi yang mengonteskan pemilihan pembantu rumah tangga untuk dipekerjakan di rumah seorang artis sinetron.
Seiring dengan makin banyaknya acara semacam ini, semakin gencar dan luas pula stasiun televisi dalam menyebarkan hasrat untuk terkenal dan kaya raya secara instan. Hafni Sari Damayanti, Media Relation RCTI, mengatakan, audisi Indonesian Idol 2008 dilakukan di 15 kota, sebelumnya hanya di sembilan kota. Tahun ini, pencarian peserta audisi bahkan dilakukan ke sekolah-sekolah, markas tentara, hingga warung internet.
Hasrat untuk terkenal juga disebarkan dengan cara menampilkan pemenang kontes di atas panggung musik yang gemerlap juga sinetron. Penyelenggara memotret kehidupan pemenang kontes yang berubah dari miskin menjadi kaya raya. Selanjutnya, kisah dan drama kehidupan para peserta itu ditayangkan sebagai bagian dari keseluruhan acara kontes idola-idolaan.
Hasilnya sungguh luar biasa. Puluhan hingga ratusan ribu orang histeris untuk mengikuti audisi. Puluhan juta pemirsa televisi hanyut menyaksikan drama kontes. Mimpi pun berubah menjadi sebuah kebutuhan. Ketika itulah, penyelenggara kontes tinggal menarik keuntungan.
Ini memang bisnis dengan mimpi sebagai komoditasnya. (Kompas, Minggu, 6 April 2008, Budi Suwarna & Susi Ivvaty)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar