07 April 2008

Cerita Pangeran Temanggung (Acara Kontes TV - 1)

Setiap kali mendengar lagu "Nestapa" yang diciptakan almarhum anaknya, Angga Dewangga, Moh Khozin (51) merasa hatinya terkoyak. Ia menangisi nasib hidup Angga yang benar-benar nestapa. Angga meninggal 25 Maret 2008 lalu dalam usia 30 tahun karena sakit tifus.

Angga Dewangga, warga Kampung Tegaron, Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, adalah pemenang pertama lomba cipta lagu dangdut TPI pada tahun 2006. Ia meraup jumlah perolehan SMS terbanyak, 19,9 persen dari total 20.057 SMS. Lagu yang merintih-rintih itu kemudian dinyanyikan Gita KDI.

Khozin terharu. "Wong ndeso kok iso menang sak Indonesia nomer siji (orang desa kok bisa juara satu se-Indonesia)," katanya. Waktu itu, SMS untuk Angga disumbang oleh kepala desa, pejabat pemda, hingga bupati.

Sejak itu, impian Angga melambung. Ia ingin menjadi penulis lagu terkenal. Semangatnya satu, meringankan beban ayahnya yang tukang batu dan kayu, serta membantu menafkahi empat adiknya.

Apa daya, setelah hadiah sepeda motor Yamaha Vega R diterimanya, Angga yang lulusan SMA ini justru susah mewujudkan mimpinya. Di Jakarta, ia menumpang tinggal di beberapa orang asal Temanggung, salah satunya Hardhany. Hardhany dan teman lain, Andy Yoes, membantu menghubungkan Angga dengan studio dan perusahaan rekaman. Namun, semua gagal.

"Sudahlah, rezeki itu dari Allah, begitu saya nasihati dia," cerita Khozin.

Angga lantas pergi ke Semarang, bekerja di toko ponsel, sambil mengarang lagu. Ia mengamen di daerah Sunan Kuning, Semarang, dan dipuja-puja banyak cewek. "Pangeran Angga", begitu cewek-cewek Sunan Kuning menyebutnya. Ia pun mencipta lagu berjudul Pangeran Temanggung.

Suatu hari, Angga pulang ke Temanggung, mengeluh sakit perut. Namun ketika dicek ke rumah sakit, ia dinyatakan sehat. Beberapa pekan kemudian, sakitnya memuncak, rupanya ia sakit tifus dan sudah akut. Setelah enam hari dirawat, Angga meninggal. "Yamaha sudah saya jual, nanti ketok-ketoken (terbayang- bayang)," kata Khozin.

Kisah Angga dan mimpinya ini seperti mengatakan, di saat seseorang terimpit krisis, televisi hadir bak mesias, juru selamat. Televisi dengan program-program reality show itu merayu seseorang bermimpi, menjadi terkenal dan kaya raya.

Tayangan audisi Indonesian Idol, pada Jumat (4/4) malam, mempertontonkan seorang peserta cowok asal Ambon, korban kerusuhan tahun lalu. Katanya, keluarganya kini miskin. Suaranya lumayan oke, membuat juri Anang Hermansyah, Titi DJ, dan Indra Lesmana meloloskannya ke babak eliminasi. Ia menangis dan berkata, "Ini akan mengubah hidup saya." Walah.... Jalan masih panjang untuk menjadi Indonesian Idol, tetapi peserta itu sudah bicara tentang mimpi mengubah hidup.

Peserta lain, suaranya bagus, juga menangis. Kakaknya ditembak karena mencopet. Katanya, jika menjadi Indonesian Idol, ia bisa membuktikan kalau di keluarganya juga ada yang baik. Peserta itu lantas dipeluk-peluk oleh Titi DJ.

Begitulah, seperti dikatakan Margaret Crawford, televisi menjadi satu contoh panggung hiperealitas, sesuatu yang melampaui realitas. Sebuah kepalsuan yang dianggap lebih baik dari realitas. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya, Posrealitas (2004), menulis, televisi menjadi semacam ruang fantasmagoria, yakni ruang tempat citraan muncul dan menghilang dengan kecepatan tinggi. Televisi merayu manusia untuk memasuki jaringan ekstasi kecepatan dan kegilaan serta histeria gaya hidup yang diciptakannya.

Hidup yang berubah

Harapan mengikuti kontes reality show di televisi beragam. Ingin kaya, terkenal, mencari pengalaman, menguji kompetensi, membantu orangtua, atau sekadar iseng. Ada yang berhasil mewujudkan impiannya, ada yang gagal lalu frustrasi dan mau bunuh diri, ada pula yang gagal namun ya... biasa saja, menyadari keadaan.

Rizky Amelia (24) atau Kiki, finalis Kontes Dangdut TPI 2, termasuk yang merasa hidupnya berubah 180 derajat. Cewek asal Sungai Liat, Bangka Belitung, ini tadinya sempat kuliah di Palembang, tetapi berhenti karena kasihan kepada ibunya yang membayari kuliah, kos, dan makan. Ibunya guru SD dan ayahnya tidak bekerja lantaran sakit asma.

Kini Kiki sudah bisa membelikan mobil Hyundai. Ia sendiri, meski masih mengontrak rumah, sudah bisa membeli mobil Honda Jazz. Kiki masih ingin mewujudkan mimpinya menjadi penyanyi dangdut sukses. Ia masih dikontrak oleh MNC hingga tahun 2009 sehingga bisa mengumpulkan uang untuk modal membuka usaha jika nanti tidak peye atau sepi order pentas.

"Umur makin tua, tentu tidak bisa terus menyanyi. Namun, Kiki masih punya mimpi itu," ucapnya.

Berbeda dengan Veri Affandi, pemenang pertama Akademi Fantasi Indosiar 2004. Ia menyadari satu hal. Mimpi tidak harus diwujudkan. Veri yang berasal dari keluarga menengah bawah di Medan ini pernah mendadak terkenal dan elu-elukan. Banyak tawaran pentas menyanyi dan sedikit-sedikit main sinetron. Ia lantas bisa membeli rumah di Cibubur dan kuliah di Desain Komunikasi Visual Universitas Indonusa Esa Unggul.

Kontrak selesai dan Veri harus mencari pekerjaan. "Ternyata susah sekali, persaingan begitu ketat. Makanya saya punya manajemen yang mencarikan job," katanya. Jadilah Veri tiap akhir pekan selalu manggung, misalnya di perkumpulan ini-itu, acara pilkada, dan sesekali di televisi. Buat Veri, ia menyanyi untuk membiayai kuliah. "Hanya pendidikan yang akan menjamin saya dan keluarga saya kelak," ujarnya.

Juara kontes-kontesan yang saat ini dipandang berhasil sebenarnya banyak. Sebutlah Delon atau Mike, lulusan Indonesian Idol, atau Siti dan Gita KDI. Tia AFI bulan April ini juga akan meluncurkan album solo pertamanya, Tulus, produksi Sony BMG.

Tapi harap diingat, yang gagal dan depresi juga tak kalah banyak, ya gara-gara tertarik iming-iming mimpi itu. Cerita Angga sang Pangeran Temanggung adalah contohnya. (Kompas, Minggu, 6 April 2008, Susi Ivvaty & Budi Suwarna)

Tidak ada komentar: