07 April 2008

Mempersiapkan Mental Anak Terkenal (Acara Kontes TV - 4)

Layar televisi telah membuat anak-anak seperti Sion, Angelica, dan Rio menjadi terkenal. Dari remaja biasa yang sering bermain di halaman sekolah bersama teman-temannya, mereka mendadak punya penggemar.

Anak-anak yang masuk ke panggung hiburan, menurut psikolog perkembangan anak dari Universitas Indonesia, Surastuti Nurdadi atau Nuki, mengalami loncatan dalam tahap kehidupannya, yaitu dari kehidupan bermain menjadi bekerja. Mereka seperti dipaksa menjadi dewasa karena mereka diubah menjadi "orang dewasa mini".

"Mereka didandani gaya dandanan orang dewasa, lagu-lagunya lagu orang dewasa dan lain-lain," kata Nuki.

Risiko lain yang dihadapi anak-anak adalah kehilangan ruang pribadi, kehilangan waktu bermain, dan mungkin bisa tertekan bila popularitasnya hanya bertahan sesaat.

Di depan studio RCTI, Sion yang sedang duduk bersama ayahnya, Oscar, didatangi sekumpulan remaja. Mereka meminta tanda tangan Sion yang lalu membubuhkannya di balik foto yang selalu dibawa Sion.

Sejak mengikuti ajang Idola Cilik, menurut Oscar, Sion memang menjadi dikenal banyak orang. Banyak yang menyapa, bahkan meminta foto bersama. Angelica mengalami hal serupa.

Menurut Nuki, anak yang mendadak menjadi terkenal bisa mengalami tekanan berat. "Mereka terbiasa hidup bebas, begitu terkenal mereka menjadi merasa privasinya terbatas," kata Nuki.

Demikian sebaliknya. Ketika anak yang terkenal tiba-tiba menjadi tidak terkenal, ia juga bisa tertekan. Setelah tidak terkenal, orang tidak akan lagi menyapa. "Anak lalu stres karena merasa diabaikan," tutur Nuki.

Yang perlu dilakukan orangtua, menurut Nuki, menyiapkan mental anak sebelum menjadi terkenal atau sebaliknya. Anak perlu diberi tahu risiko yang bakal muncul, seperti hilangnya privasi, selalu menjadi sorotan, dan kehilangan waktu bermain.

Anak-anak seperti Angelica, Sion, dan Rio juga perlu diarahkan bagaimana mengelola uang dengan baik. Nuki menegaskan, orangtua harus ikut mengelola uang anaknya dan jangan menyerahkan semua uang itu kepada anak-anaknya.

"Anak diarahkan menggunakan uang itu menjadi bermanfaat, misalnya ditabung untuk membiayai sekolah," kata Nuki. Ia menambahkan, budaya instan yang segalanya ingin serba cepat semacam ini memang sulit dihindari. Orangtualah yang harus membantu anak-anak memahami segala risikonya. (IND) (Kompas, Minggu, 6 April 2008)

Tidak ada komentar: