02 April 2008

Diusulkan LPKF Pengganti LSF

Perdebatan masih perlu atau tidak Lembaga Sensor Film (LSF) memunculkan pendapat lembaga tersebut sebaiknya diganti menjadi Lembaga Penilaian dan Klasifikasi Film(LPKF). Pasalnya, LSF mengadopsi komunikasi perfilman yang otoriter.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertema Alternatif Sensor yang Melindungi Hak Anak dan Identitas Budaya Indonesia baru-baru ini di Jakarta. Diskusi dihadiri oleh produser Mira Lesmana, wartawan senior Amir Effendi Siregar, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Romo Benny dari Konferensi Waligeraja Indonesia, Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) Deddy Mizwar, dan Ketua LSF Titie Said.

Menurut Amir, LSF yang keberadaannya diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 8/1992 tentang Perfilman sebaiknya dibubarkan. Hal senada juga diutarakan Mira, bahwa sensor seolah-olah dianggap melindungi moral bangsa. Padahal, LSF belum pernah melakukan riset tentang hubungan antara sensor dengan moralitas masyarakat. Oleh karena itu, ujar Mira, moralitas masyarakat belum tentu meningkat meskipun dilakukan sensor terhadap film-film yang ditayangkan.

Sementara itu, Titie Said bersikeras LSF hanya memotong adegan untuk disesuaikan peraturan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. LSF, katanya, tidak melakukan sensor sewenang-wenang.

Tanggung Jawab

Menurut Deddy, dalam hal sensor, Titie melaksanakan tugas sesuai dengan apa yang tercantum dalam UU Nomor hanya menerapkan tanggung jawabnya sebagai pimpinan LSF sesuai dengan UU yang ditaruh dipundaknya. Deddy justru menyalahkan UU Nomor 8/1992. Deddy yang baru-baru ini meraih penghargaan untuk kategori aktor terbaik dalam ajang Piala Citra dan Indonesia Movie Awards ini justru menilai UU Nomor 8/1992 sudah tidak sesuai diterapkan untuk masa kini.

Di tengah diskusi itu, Romo Benny menegaskan, ada batas kebebasan bereskpersi. Dia menilai, negara gagal mendewasakan rakyat, sehingga rakyat tidak bisa memilih film bernilai dan bermutu.

"Kita harus memiliki revolusi berpikir. Kita harus mampu hidup tanpa ketegangan dan kecemasan yang berlebihan. Badan sensor perlu ditata dan ditinjau ulang," tegasnya.

Pro-kontra keberadaan LSF, menurut Sultan, perlu dicari alternatif sensor untuk mendapatkan jalan keluar yang terbaik.

Mira yang memproduseri film Ada Apa dengan Cinta itu berpendapat LSF tidak bisa menamakan dirinya sebagai penjaga moral. Menurutnya, penjaga moral utama adalah orangtua. Oleh karena itu, orangtua harus aktif melindungi anak-anaknya.

Sekarang ini, pasal 33 dan 34 UU Nomor 8/1992 dalam proses judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Demikian juga Peraturan Pemerintah Nomor 7/1994 yang mengatur tentang sensor film. [RPS/N-4] -- Suara Pembaruan 3/4/2008

Tidak ada komentar: