Suara Pembaruan - 28/3/2008,JAKARTA: Monopoli kepemilikan televisi (TV) swasta dinilai melanggar prinsip-prinsip Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Pasalnya, saat ini ada kecenderungan pemilik televisi swasta menguasai beberapa stasiun televisi swasta di satu daerah. Padahal, berdasarkan prinsip UU Penyiaran kepemilikan harus beragam. Demikian juga dengan isi siaran.
Hal tersebut diutarakan Wakil Ketua Dewan Pers Drs Sabam Leo Batubara dalam Diskusi bertema "Konsentrasi Kepemilikan Televisi dan Dampaknya Terhadap Pemberitaan", Kamis (27/3) di Jakarta. Diskusi antara lain dihadiri Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK, Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS)/Ketua Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) Amir Effendi Siregar, anggota Dewan Pers Sastria Naradha dan Sasa Djuarsa Sendjaja dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Menurut dia, berdasarkan UU Penyiaran, akuisisi perusahaan diizinkan oleh pemerintah asalkan perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi di tempat yang berbeda. Sedangkan, kenyataan saat ini, perusahaan televisi swasta dan akuisisinya semuanya beroperasi dari Jakarta. Hal ini dinilai merupakan penyimpangan.
Dalam diskusi itu, Amir menyebut perusahaan Media Nusantara Citra (MNC) memiliki 99 persen saham RCTI, 99 persen Global TV, dan 75 persen TPI. Menurut Amir, kepemilikan di sejumlah stasiun televisi melanggar pasal 5 UU Penyiaran, dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 pasal 32 (1) yang mengatur kepemilikan stasiun televisi.
Dikatakan, televisi tidak bisa dijadikan propaganda. Contohnya dalam kasus korupsi yang melibatkan pemilik RCTI, stasiun televisi itu pada Februari 2006 menayangkan siaran tentang kasus itu selama satu jam untuk membela kepentingan pemilik stasiun televisi tersebut. Selain itu, menurutnya, monopoli kepemilikan televisi melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pasal 25, 26 dan 28.
Menurut Leo, berdasarkan UU Penyiaran, KPI bersama pemerintah merupakan badan yang mengatur penyiaran di Indonesia. Tetapi, kewenangan KPI semakin dipinggirkan dan diamputasi. Praktis, sekarang Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) menjadi satu-satunya badan yang mengatur penyiaran.
Lebih jauh dikatakan, MPPI telah mengadu ke Menteri Komunikasi dan Informatika M Nuh, KPI, DPR dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dengan monopoli MNC yang dianggap telah melanggar UU Penyiaran.
Namun, setelah empat bulan mengadu, tidak ada yang terpanggil untuk memberi jawaban. Dewan Pers sebagai penjaga kemerdekaan pers, menurut Leo, memfasilitasi diskusi tersebut. "Acara ini bertujuan untuk mengingatkan kita harus kembali kepada amanat dari UU penyiaran," tandas Leo.
Dia mengharapkan tindak lanjut dari diskusi tersebut. Jika ada pelanggaran, Menteri Komunikasi dan Informatika mestinya turun tangan. KPI sebagai pelopor pengawas pelanggaran penyiaran, tegasnya, seharusnya melapor juga. Terpenting lagi, KPPU harus menjelaskan kepada publik jika monopoli memang merajalela.
Badan Regulasi
Secara terpisah, pengamat media dan penyiaran dari Universitas Indonesia Ade Armando, Jumat (28/3) kepada SP mengatakan, keberadaan MNC yang memiliki saham di tiga TV swasta dari 10 TV swasta di Indonesia saat ini belum sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Alasannya, dari tiga TV swasta yang dimiliki MNC hanya satu yang kuat, yakni RCTI. Sementara, TPI dan Global TV masih rendah posisinya dibanding TV swasta lain.
Ade juga mengatakan, MNC belum mendominasi TV swasta. Di samping itu, meskipun UU Penyiaran sudah diundangkan pada tahun 2002, namun sampai saat ini belum ada badan yang mengatur keberadaan TV swasta.
"Jika kepemilikan TV swasta dipisah, menjadi kompetisi yang tidak sehat karena mengakibatkan biaya produksi yang tinggi," katanya.
Sebelumnya dalam rapat kerja (raker) Depkominfo dengan Komisi I DPR pekan lalu, M Nuh mendukung langkah Komisi I DPR yang berencana membentuk Panitia Kerja (Panja) Penyiaran untuk mengetahui dan mengungkap dugaan adanya praktik monopoli di MNC. Usulan membentuk Panja disampaikan dua anggota Komisi I DPR, Djoko Susilo dan Abdillah Toha, keduanya dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN).
Dalam raker yang dipimpin Ketua Komisi I Theo L Sambuaga (Fraksi Partai Golkar) tersebut, beberapa anggota Komisi I juga menyatakan mendukung usulan pembentukan Panja tersebut agar persoalan yang ada, termasuk dugaan kuat monopoli bisa dituntaskan. "Saya kira saran membentuk Panja kami sambut sangat baik supaya semuanya clear," kata M Nuh.
Di akhir raker, usulan pembentukan Panja Penyiaran disepakati dan segera dibahas secara internal di Komisi I. Menurut Djoko Susilo, Panja Penyiaran bisa mulai bekerja pekan depan. Dalam Raker Djoko Susilo mengemukakan, MNC menguasai saham stasiun televisi RCTI (99 persen), Global TV (99 persen), dan TPI (75 persen).
Hal ini, katanya, telah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, khususnya ketentuan di Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 20. "Juga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 50 (Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta-Red) Pasal 32 Ayat 1," katanya.
Pelanggaran seperti itu, katanya lebih jauh, sebenarnya merupakan hal serius yang sanksinya adalah pidana dan denda. "Yang lebih berbahaya lagi, penguasaan kepemilikan televisi berbahaya buat demokrasi, terutama dalam hal penguasaan informasi yang dapat membentuk opini publik," kata Djoko. [RPS/N-4/Y3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar