28 Maret 2008

EKONOMI POLITIK & POLITIK EKONOMI TELEVISI

SCTV Kurangi Jam Tayang Program Anak

Kamis, 27 Maret 2008 19:13 WIB - warta ekonomi.com
Survei AGB Nielsen Media Research menyebutkan durasi program anak hanya 19 jam di SCTV selama seminggu pada periode awal Januari-pertengahan Maret 2008. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu turun sebesar 69% dari 61 jam.

“Ini strategi SCTV guna menambah lebih banyak program sinetron remaja, “ kata Helen Khaterina, associate director Marketing & Client Service AGB Nielsen Media Research menjawab pertanyaan WartaEkonomi pada ‘Press Club’ pada Kamis (27/3) pagi.

Langkah berlawanan justru dilakukan antv dengan meningkatkan durasi program anak sebesar 268% menjadi 291 jam selama seminggu pada awal Januari-pertengahan Maret 2008. Sebelumnya, stasiun tv ini hanya menayangkan program anak sebesar 19 jam selama seminggu pada waktu yang sama tahun lalu.

Menyoal stasiun TV sebagai durasi terbesar program anak, ujar Andini Wijendaru, communication executive AGB Nielsen Media Research, tetap SpaceToon sebanyak 1.109 selama satu minggu pada awal Januari-pertengahan Maret 2008. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu naik dari 891 jam. “SpaceToon menayangkan 37% dari 40 jam tayangan program anak selama satu hari, “ paparnya.

Durasi tayangan terbesar program anak juga terdapat di tvOne sebesar 22 jam selama seminggu pada awal Januari 2008-pertengahan Maret 2008. Sebelumnya, Lativi hanya menayangkan program anak sebesar 4 jam. “Angka ini turun dari 150 jam durasi program anak, “ paparnya.

Namun semua stasiun TV menaikkan durasi program anak rata-rata sebesar 6% menjadi 40 jam seminggu pada periode awal Januari-pertengahan Maret 2008 ketimbang periode yang sama tahun lalu. Pada waktu itu mereka hanya menayangkan program anak rata-rsata 36 jam seminggu.

Sementara itu jam tayang program anak lokal di TV nasional mencapai tiga jam selama semimggu pada awal Januari-pertengahan 2008. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu naik sebesar 160% dari satu jam selama seminggu. “Mungkin hal ini terjadi akibat masukan dari beberapa pihak program anak harus sesuai budaya kita, “ jelas Helen.

Dengan begitu TV nasional mengurangi jam tayang program impor anak sebesar 16% menjadi 17 jam selama seminggu pada awal Januari-pertengahan 2008 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada saat itu mereka menayangkan program impor anak sebesar 20 jam selama seminggu.

Namun jam tayang program impor masih mendominasi sebesar 81%. Global TV adalah stasiun TV penayang terbesar program impor anak sebesar 43%. Penayang terbesar program lokal anak adalah Trans7 sebesar 39%. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/detail.asp?aid=10420&cid=2



Bisnis Mereka Kini Makin Kokoh
Rabu, 5 Maret 2008 16:10 WIB - wartaekonomi.com

Peringkat Konglomerat 2008

Pascakrisis, jumlah konglomerasi mengempis dari 200-an menjadi tinggal 50-an. Para konglomerat yang mampu bertahan, kini menjadi makin kuat. Mereka kini kian ekspansif. Nilai transaksinya mencapai triliunan rupiah. Kemampuannya memobilisasi dana-dana publik menjadi modal ekspansinya.

Grup Bakrie lagi-lagi membuat “gaduh” bursa saham. Di tengah euforia melonjaknya harga saham pada penghujung 2007, konglomerasi milik Keluarga Bakrie itu meluncurkan rencana mengejutkan. Lewat salah satu gergasi bisnisnya, PT Bakrie & Brothers (B&B) Tbk., mereka bermaksud mengail dana publik lewat penerbitan saham atau rights issue senilai Rp40 triliun lebih! Dana sebesar itu akan digunakan untuk mengakuisisi tiga perusahaan: PT Bumi Resources Tbk., PT Bakrie Development Tbk., dan PT Energi Mega Persada Tbk.

Publik terperangah. Pasalnya, selain nilainya kelewat besar, bukankah tiga aset itu masih milik Keluarga Bakrie juga? Artinya, ini adalah akuisisi internal yang sarat benturan kepentingan. Beragam isu pun menyeruak. Sebagian pihak menduga Keluarga Bakrie tengah berupaya mengakumulasi keuntungan. Kabar lain menyebutkan sebagian dana hasil penjualan saham akan dipakai untuk meningkatkan kendali di B&B.

Bobby Gafur S. Umar, presdir B&B, menepis rumor tersebut. Ia menjelaskan akuisisi ini sesuai road map bisnis B&B di masa depan. Pembelian tiga aset itu akan meningkatkan nilai perusahaannya sampai lima kali lipat. “B&B akan berubah menjadi strategic investment holding,” ujarnya. Seiring perubahan status ini, bisnis inti B&B berubah menjadi aktivitas investasi pada aset-aset strategis, baik melalui penyertaan modal, merger, maupun akuisisi.

Rencana B&B tadi seakan menegaskan pulihnya kejayaan kerajaan bisnis Keluarga Bakrie. Apalagi sebelumnya majalah Forbes Asia menobatkan Aburizal “Ical” Bakrie sebagai orang terkaya se-Indonesia. Kekayaan Menko Kesejahteraan Rakyat itu ditaksir mencapai Rp50 triliun! “Ah, itu cuma di atas kertas,” kelit Ical pada sebuah media nasional. Dengan kekayaan yang bertambah bagai deret ukur itu, Keluarga Bakrie mampu menyalip sederet taipan kondang, seperti Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, atau Sukanto Tanoto yang bos Grup Raja Garuda Mas (RGM), sebagai orang terkaya se-Indonesia.

Menggelembungnya kekayaan Ical itu ditiup oleh kenaikan harga saham perusahaan-perusahaannya. Contohnya, harga saham BUMI dalam dua tahun meroket dari Rp20 menjadi Rp7.300 per lembar. Sepanjang 2007, omzet BUMI melesat 77,5% menjadi Rp15,4 triliun. Peningkatan ini didorong oleh makin mahalnya harga batu bara di pasaran dunia. Bertambahnya kekayaan juga membuat aset Keluarga Bakrie melambung. Penelusuran Warta Ekonomi menunjukkan gurita bisnis yang didirikan Achmad Bakrie sejak 1942 ini memiliki aset Rp42,63 triliun, naik signifikan dibanding tahun lalu yang Rp30,5 triliun.

Era Baru

Geliat Grup Bakrie hanyalah fenomena gunung es di kalangan konglomerasi nasional. Beberapa tahun terakhir, para konglomerat yang selamat dari krisis memang mulai unjuk diri. Mereka agresif berekspansi ke proyek-proyek baru, dan masuk ke sejumlah industri strategis.

Meski begitu, Warta Ekonomi mencatat jumlah konglomerasi sudah jauh lebih mengempis. Kalau sebelum krisis ada 200-an konglomerasi, kini tinggal 50-an. “Seleksi sudah terjadi. Akhirnya yang bertahan adalah yang besar dan sehat,” kata Jaya Suprana, pemilik perusahaan Jamu Jago.

Kembalinya era konglomerasi tak luput dari pengamatan Jaya. Kendati menorehkan catatan kelam dalam sejarah bisnis di Indonesia, di mata penggemar piano itu, konsep konglomerasi tidak salah. Hanya, di banyak negara, model konglomerasi—terutama yang terintegrasi dari hulu sampai hilir tetap diharamkan.

Salah satu yang dikritik Jaya adalah imperium bisnis Grup Salim. Mereka memiliki pabrik tepung, mi, punya distributor, sampai bisnis ritelnya di hilir. “Ketika ketemu Om Liem, saya pernah tanya, mengapa tidak sekalian dibeli sendiri saja produk-produknya, sehingga komplit... hahaha,” seloroh Jaya.

Lima tahun silam, seorang analis pasar modal pernah meramalkan fenomena tersebut. Menurut dia, krisis ekonomi memang menyebabkan banyak konglomerasi tumbang. Konglomerasi yang bertahan mencoba melakukan konsolidasi dan mengerem laju ekspansi untuk menghindari sorotan publik. “Namun, perhatikan lima sampai sepuluh tahun setelah krisis, mereka akan kembali bangkit.”

Ramalan analis tadi kini menjadi kenyataan. Dalam setahun terakhir, ekonomi konglomerasi kembali unjuk gigi lewat serangkaian ekspansi. Gejala ini seolah menjadi tanda dimulainya era konglomerasi jilid kedua. Para taipan yang sudah kembali sehat, bisnisnya menjadi lebih kuat. Mereka berhasil mengembalikan kepercayaan publik serta lembaga-lembaga keuangan baik nasional maupun internasional. Kini, mereka siap berlari kembali.

Langkah Prajogo Pangestu bisa menjadi contoh. Bos Grup Barito Pacific itu sukses mengembalikan kejayaannya setelah berhasil mengambil alih dan menguasai 70% saham PT Chandra Asri seharga Rp9,7 triliun. Sumber dana akuisisi dikeruknya dari hasil rights issue PT Barito Pacific Tbk. senilai Rp9,16 triliun.

Prajogo juga bertindak sebagai pembeli siaga melalui Magna Resources Corporation Pte. Ltd., perusahaan investasi miliknya yang berbasis di Singapura. Perusahaan ini belakangan diketahui memperoleh sokongan dana dari DBS Bank Singapura, anak usaha Temasek, sebesar US$2 miliar. Alhasil, pembelian ini menyebabkan aset Grup Barito melonjak dari Rp1,7 triliun menjadi Rp14,9 triliun. Padahal, pada 1996, aset Grup Barito tercatat hanya Rp5,04 triliun.

Langkah bisnis para konglomerat ini juga mengejutkan. Mereka masuk ke sejumlah industri strategis, menggandeng mitra global, memobilisasi dana publik lokal maupun asing, dan membesarkan nilai perusahaan begitu cepat. Konglomerasi seperti Bakrie, Para, dan Bhakti adalah segelintir yang berhasil melipatgandakan asetnya secara luar biasa.

Wajah Lama

Berdasarkan penelusuran Warta Ekonomi, peringkat konglomerasi tahun ini masih didominasi wajah-wajah lama. Grup Sinar Mas tercatat menjadi yang terbesar dengan aset Rp72,8 triliun. Sedikit di bawahnya ada kelompok usaha RGM, yang asetnya mencapai Rp72 triliun. Urutan berikutnya adalah Grup Astra, Grup Salim, dan Grup Bakrie (lihat tabel).

Grup Bhakti merupakan salah satu konglomerasi yang fenomenal. Kelompok usaha milik Hary Tanoesoedibjo ini berhasil melipatgandakan asetnya menjadi Rp18 triliun hanya dalam tempo setahun. Hary Tanoe sungguh memahami cara mendongkrak nilai asetnya. Lewat kendaraan investasinya, ia mengakuisisi 50% saham maskapai penerbangan Adam Air. Ia juga menambah kepemilikan saham di PT Citra Marga Nusaphala Tbk. dari 10,76% menjadi 17,9%.

Investasi lainnya adalah memperkuat kendali di PT Global Mediacom (GMC) Tbk. lewat penambahan saham dari 49,01% menjadi 52,85%. Grup Bhakti juga mengakuisisi 20% saham PT MNC Sky Vision, operator jaringan televisi berbayar Indovision. “Dana ekspansi dari hasil rights issue Bhakti Investama sebesar US$400 juta,” ungkap Robert Satrya, sekretaris perusahaan PT Bhakti Investama Tbk.

Hary adalah konglomerat yang gaya ekspansinya berbeda dengan para seniornya. Dari sisi sumber dana, ia lebih mengandalkan pasar modal ketimbang perbankan. Dari sisi industrinya, Hary menggeluti bisnis media dan telekomunikasi. Sementara itu, konglomerasi yang lain justru mengincar aset-aset infrastruktur, energi, pertambangan, dan perkebunan. “Bercermin dari pengalaman dan prediksi ke depan, bidang-bidang ini relatif kebal krisis dan prospektif,” tegas A.B. Susanto, managing partner The Jakarta Consulting Group.

Susanto benar. Grup Medco milik Arifin Panigoro, yang beraset Rp21 triliun, misalnya, gencar menggarap ladang-ladang minyak baru di sejumlah negara dan memperkuat bisnis perkebunannya. Upaya ini diakui Yani Panigoro, komisaris PT Medco Energi Internasional Tbk. Setelah Kalimantan dan Sumatera, mereka mengincar lahan baru di Papua. Tahap pertama, targetnya 15.000 hektar kebun sawit. “Kami berharap bisa membuka 50.000–60.000 hektar sampai lima tahun ke depan,” ujarnya.

Bisnis perkebunan memang ciamik. Kendati padat modal, marginnya menggiurkan. Jadi, jangan heran jika antarkonglomerasi bersaing sengit di industri ini. Apalagi, delapan dari sepuluh konglomerasi terbesar menekuni bisnis ini dan menguasai lahan ratusan ribu hektar yang terbentang dari Sumatera hingga Papua.

Grup Salim, misalnya, baru saja mengakuisisi 64,4% saham PT London Sumatra Tbk. (Lonsum) senilai Rp8,4 triliun lewat dua mesin uangnya, PT Invomas Pratama dan PT Indofood Agri Resources. Kini mereka memiliki lahan sawit seluas 400.000 hektar. “Akuisisi ini untuk memperkuat struktur bisnis Indofood,” kata Felix Sindhunata, kepala riset PT Recapital Securities.

Ganjar Sidik, direktur pengelola perusahaan riset Data Consult, menilai gairah ekspansi konglomerasi ke perkebunan dan pertambangan didorong oleh lonjakan harga di pasaran dunia. Konglomerasi diuntungkan karena dua industri ini bersifat padat modal dan jangka panjang. Jadi, hanya grup usaha yang bermodal kuat saja yang bisa sukses menekuni bisnis ini. Siapa saja? Lagi-lagi para konglomerat tadi.

Investasi di sumber daya alam, menurut Ganjar, menjadi pendorong pertumbuhan aset. “Grup-grup perusahaan yang punya kelapa sawit dan batu bara, rata-rata asetnya meningkat cukup besar,” ungkapnya. Ini tercermin dari kontribusi labanya yang sebagian besar dari dua industri tadi.

Momentum Pendorong

Ekspansi para konglomerat sedikitnya memiliki empat alasan. Pertama, kondisi ekonomi yang kondusif, tercermin dari tren penurunan suku bunga, inflasi terkendali, nilai tukar rupiah yang relatif stabil, dan pertumbuhan ekonomi yang lumayan tinggi. Kedua, jumlah dana asing yang menganggur sangat berlimpah.

Ketiga, pulihnya kepercayaan publik dan lembaga keuangan terhadap konglomerasi. Ini tercermin dari aksi-aksi mereka dalam memperoleh pendanaan. Potret yang sama terjadi pula di industri perbankan, yang kian longgar dalam mengucurkan kreditnya kepada kelompok usaha besar. Keempat, adanya peluang bisnis baru yang didorong kebutuhan pasar maupun kebijakan pemerintah. “Pengusaha selalu melihat peluang. Jika ada peluang, ada dana, dan memiliki kompetensi, pasti kesempatan itu tak akan disia-siakan,” kata Yani Panigoro.

Potensi bisnis itu, misalnya, ada di sektor infrastruktur dan perkebunan. Di bisnis infrastruktur, muncul nama-nama besar, seperti Bakrie, Medco, Indika, Bosowa, dan Bukaka. Mereka membentuk konsorsium dan menggandeng mitra asing untuk menggarap proyek-proyek tersebut.

Lewat PT Bosowa Energy, Grup Bosowa bekerja sama dengan Chenda Engineering Corporation of China membangun PLTU Jeneponto di Sulawesi Selatan. Proyek pembangkit berkapasitas 2 x 100 megawatt itu menelan investasi US$200 juta. Aksa Mahmud, pemilik Grup Bosowa, ternyata gesit bermain di bisnis ini. Tanpa harus ikut tender, ia bisa meyakinkan pemerintah untuk mendapatkan proyek tersebut.

Bosowa adalah konglomerasi terbesar kedua di Indonesia Timur, setelah Grup Kalla, milik Jusuf Kalla, kini Wakil Presiden RI. “Total aset Bosowa sudah Rp4 triliun,” ungkap Erwin Aksa, CEO Bosowa Corporation. Untuk membiayai ekspansinya, tahun ini mereka menyediakan belanja modal US$400 juta. Dana itu di luar investasi untuk proyek pembangkit listrik.

Sementara itu, Grup Indika milik Sudwikatmono kebagian proyek PLTU Bangko Tengah, Sumatera Selatan, berkapasitas 4 x 600 megawatt. Di proyek senilai US$1,6 miliar itu, porsi kepemilikan Indika 24,5%. Sebelumnya, Indika juga mengakuisisi 41% saham PT Kideco Jaya Agung, produsen batu bara terbesar ketiga di Indonesia. Mereka juga menguasai 60% saham PT Berau Coal.

Dukungan perbankan membantu ekspansi konglomerasi. “Pascakrisis, konglomerasi sudah makin baik,” kata Pahala N. Mansury, chief financial officer Bank Mandiri. Penilaian inilah yang mendorong Bank Mandiri berani mengucurkan kreditnya ke sejumlah kelompok usaha besar meski masih sangat selektif dalam memilih industri maupun debiturnya. Kebanyakan kredit mengucur untuk proyek-proyek yang terkait kebijakan pemerintah, seperti infrastruktur, serta bisnis pertambangan dan perkebunan. Bank Mandiri juga melihat rekam jejak dari masing-masing konglomerasi. “Tak semua konglomerat itu buruk,” ujarnya.

Kredit Bank Mandiri mengucur ke konglomerasi baru, Grup Triputra. Melalui salah satu lengan bisnisnya, yakni Union Sampoerna Triputra Persada Group (USTP), mereka berhasil mengantongi kucuran kredit investasi dari Bank Mandiri sebesar US$147,8 juta. “Sebanyak US$125 juta dipakai untuk mengakuisisi 63.000 hektar kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah,” tegas Teddy P. Rachmat, komisaris USTP. Di USTP, mereka menggandeng Keluarga Sampoerna.

Triputra adalah kelompok usaha yang dimotori para mantan petinggi Grup Astra, seperti Teddy P. Rachmat dan Benny Subianto. Mereka bergerak di bisnis perkebunan, pertambangan, distribusi kendaraan, dan jasa keuangan, dengan omzet mencapai Rp30 triliun! Untuk mengembangkan kebun sawit, mereka mengklaim siap menggelontorkan dana US$294,4 juta. Jadi, go!... go!...go!

PRANANDA HERDIAWAN, ARI WINDYANINGRUM, EVI RATNASARI, SATRIANI ARI WULAN, DAN D. UTAMI WARDHANI
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=10326&cid=24&x=televisi


SCTV Belum Berencana Masuk Indosiar
Rabu, 26 Desember 2007 09:27 WIB - wartaekonomi.com
Jajaran direksi PT Surya Citra Media (SCMA) Tbk sebagai induk usaha SCTV mengaku merger atau akuisisi Indosiar belum direncanakan perusahaan tersebut. Apalagi hal ini tidak diperintahkan pemegang saham. “Rencana masuk Indosiar belum ada pengarahan dari share holder, “ kata Fofo Suriatmadja, dirut PT SCM Tbk dalam 'Public Expose' pada Rabu (19/12) lalu.
Walaupun demikian langkah akuisisi dan merger dinilai perlu oleh SCMA. Langkah itu bagian dari konsolidasi. “Rencana 2K (konvergensi dan konsolidasi) memang strategis, “ ujarnya.
Menyoal langkah konvergensi dilakukan SCTV dengan penyediaan konten bagi operator selular dan televisi kabel di domestik dan mancanegara. Operator selular yang dimaksud adalah Telkomsel dan sebuah TV kabel di Malaysia. “Kita fokus media elektronik pengembangan horizontal dan vertikal konten dan keberagaman konten, “ jelasnya. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=9978&cid=2&x=televisi



Indosiar ‘Tidak Kawin’ Dengan SCTV
Kamis, 13 Desember 2007 08:40 WIB - wartaekonomi.com
Manajemen Indosiar Karya Media (IKM) mengaku merger (penggabungan) Indosiar dan SCTV tidak dilakukan perusahaan tersebut. Apalagi hal itu belum dijelaskan pemegang saham kepada direksi.
“Informasi tukar guling jajaran direksi sampai detik ini belum pernah dapat informasi dari pemegang saham, “ kata Handoko, presdir PT IKM Tbk kepada wartawan dalam ‘Public Expose’ pada Selasa (11/12) kemarin.

Apalagi cross ownership (kepemilikan silang) dalam industri penyiaran tidak diperbolehkan dalam UU No. 32 Tahun 2005 dan PP No. 50 Tahun 2005. Dalam aturan itu disebutkan satu pihak dilarang mempunyai kepemilikan dua badan penyiaran televisi (TV). “Di provinsi yang berbeda kepemilikan saham maksimal sebesar 49%, “ ujar Amir Effendi Siregar, komisaris independen PT IKM Tbk.

Menyinggung hubungan radio dan TV Elshinta, ujar Handoko, hanya kerjasama dilakukan dengan mereka. Kedua lembaga penyiaran itu merupakan entitas berbeda. “Ada kerjasama sewa menara, “ tutur Handoko.

Pada kesempatan yang sama Phiong Philipus Darma, direktur PT IKM Tbk, mengemukakan right issue sebesar Rp400 miliar akan diterbitkan pada Mei 2008. Dana itu akan digunakan sebagai pelunasan obligasi sebesar Rp696,21 miliar yang jatuh tempo pada Agustus 2008. “Sisanya akan dijajaki dari pinjaman bank, “ jelasnya.

Pinjaman itu akan diperoleh dari sindikasi tiga sampai empat bank lokal besar di Indonesia. Besaran angka itu belum dapat dipastikan sekarang. “Perolehan pinjaman diharapkan lebih besar dari right issue, “ paparnya.

Menyoal target 2008, ujar Philipus, IKM berharap pendapatan tumbuh sebesar 15% dibandingkan 2007 dari perkirakan sebesar Rp23,675 triliun. Sampai September 2007 sebanyak Rp444 miliar pendapatan dicapai perusahaan tersebut. Angka ini naik Rp40 miliar ketimbang 2006.

Namun rugi bersih masih dialami IKM sampai 2008. IKM mengalami rugi bersih sebesar Rp109 miliar hingga bulan sembilan 2007. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu turun sebesar Rp74 miliar. “Pada 2009 laba bersih bisa posisi semula (laba bersih, red) dengan mencapai rating nomor satu, “ tukasnya.

Dari survei AGB Nielsen disebutkan Philipus bahwa Indosiar merupakan stasiun TV pilihan pertama pemirsa lima tahun ke atas dengan audience share sebesar 17,6%. Begitupula Top Program dengan audience share sebesar 7,3% dan Top Program Anak-Anak sebesar 5,6%. “Kami akan fokus pada nondrama in house production dan audiece share, “ tandasnya.

Sebanyak 1.000 dari 1.650 karyawan IKM merupakan tenaga ahli dalam memproduksi program nondrama. Program nondrama baru Indosiar pada 2007 seperti Mama Mia, Superdut, Stardut, Super Mama, dan Chen Sing.

Menyinggung capex 2008, ujar Philipus, IKM menyediakan sebesar Rp40-50 miliar. Sebagian dana itu akan digunakan bagi pembelian program selektif dan penggantian equipment (peralatan). “Dana ini dari internal cash flow, “ tegasnya. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=9931&cid=2&x=televisi





Mereka Dikagumi di Industrinya
Selasa, 9 Oktober 2007 15:25 WIB - wartaekonomi.com
Kategori CEO Idaman 2007

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, hasil survei kali ini menyuguhkan CEO Idaman 2007 per industri. Mereka lebih banyak dari perusahaan publik, keluarga, atau BUMN? Siapa pula CEO Idaman 2007 termuda dan tertua?

Setiap industri memiliki CEO idamannya masing-masing. Hasil survei Warta Ekonomi menunjukkan CEO Idaman 2007 di setiap industri umumnya berasal dari perusahaan-perusahaan besar di industrinya. Di industri perbankan, misalnya, nama Agus D.W Martowardojo (dirut PT Bank Mandiri Tbk.), Sigit Pramono (dirut PT Bank Negara Indonesia Tbk.), dan Djohan Emir Setijoso (presdir PT Bank Central Asia Tbk.) adalah tiga besar CEO Idaman 2007 di industrinya.

Dilihat dari sisi kredit yang disalurkan, ketiga bank tersebut memberikan kucuran kredit yang lebih besar dibandingkan bank-bank lainnya. Bank Mandiri adalah bank pemberi kredit paling besar di Indonesia. Pada 2006, total kredit yang disalurkan Bank Mandiri mencapai Rp109,4 triliun. Adapun BNI, dengan total kredit sebesar Rp66,9 triliun, menempati posisi ketiga setelah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. yang kucuran kreditnya mencapai Rp90,283 triliun. Menyusul berikutnya BCA, dengan kucuran kredit sebesar Rp61,4 triliun.

Begitu pula di industri telekomunikasi. Nama Rinaldi Firmansyah, dirut PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom), yang notabene merupakan perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, menempati urutan pertama CEO Idaman 2007 di industrinya. Padahal, pria kelahiran Tanjung Pinang, 10 Juni 1960 ini belum genap setahun menjabat sebagai dirut perusahaan telekomunikasi pelat merah itu. Ia menduduki posisinya pada Februari 2008 lalu.

Satu hal menarik dari daftar CEO Idaman 2007 di industri telekomunikasi adalah masuknya nama Anindya N. Bakrie (presdir PT Bakrie Telecom Tbk.) di urutan kedua. Ia bahkan mengalahkan kepopuleran "senior-seniornya", seperti Hasnul Suhaimi (dirut PT Excelcomindo Pratama Tbk.), Kiskenda Suriahardja (dirut PT Telkomsel), dan Johnny Swandi Syam (dirut PT Indosat Tbk.).

Di industri telekomunikasi, khususnya selular, penguasaan pasar Bakrie Telecom memang masih kecil ketimbang pemain lainnya. Saat ini penguasa pasar dengan jumlah pelanggan tertinggi masih dipegang oleh Telkomsel, anak perusahaan Telkom. Berdasarkan data semester I 2007, jumlah pelanggan Telkomsel sebanyak 42 juta. Peringkat berikutnya adalah Indosat dengan 20 juta pelanggan, dan XL dengan 10,5 juta pelanggan. Sementara itu, Bakrie Telecom hanya berada di posisi ke-5 setelah Mobile-8 dengan 2,24 juta pelanggan. Jumlah pelanggan Mobile-8 sendiri 2,25 juta.

Kendati bukan pemimpin pasar, langkah bisnis Bakrie Telecom rupanya cukup diperhitungkan. Melalui produknya, Esia, Bakrie Telecom membuat gebrakan dalam industri telekomunikasi. Esia mampu “mengoreksi” tarif telepon selular yang mahal. Dengan mengusung tarif murah, produk yang mulai dipasarkan pada September 2003 itu mampu merangkul banyak pelanggan, terlebih lagi setelah mereka mendapatkan lisensi fixed wireless access (FWA). Pada semester I 2007, pertumbuhan pelanggannya melesat hingga 112%.

Perusahaan Publik, Keluarga, atau BUMN?

Dari 45 nama CEO yang disebut responden sebagai CEO idamannya, jumlah CEO Idaman 2007 yang berasal dari perusahaan publik terlihat lebih banyak ketimbang perusahaan keluarga. Jumlahnya mencapai lebih dari 50%. Adapun CEO yang dari perusahaan keluarga hanya sekitar 15,56%.

Faktor ekspose agaknya berpengaruh pada pemilihan ini. Menurut Andrew E.B. Tani, konsultan manajemen, keuangan, dan komunikasi dari Andrew Tani & Co., dibandingkan perusahaan keluarga, perusahaan publik pada umumnya memang harus “mengekspos” apa pun tentang perusahaannya. Mulai dari kinerja, aksi korporasi, sampai pergantian direksi. Hal ini agak berbeda dengan perusahaan keluarga yang sering kali lebih suka menutup diri dari segala macam sorotan.

Perusahaan publik dituntut untuk akuntabel, transparan, dan terbuka dalam segala hal. Otomatis, semua sepak terjang sang CEO pun akan selalu mendapat sorotan, baik dari pers, masyarakat, maupun para analis pasar modal. “Kondisi-kondisi semacam ini tidak ada dalam perusahaan keluarga. Jadi, tidak heran kalau kebanyakan CEO dari perusahaan publiklah yang lebih populer atau banyak dikenal oleh masyarakat,” ucap Andrew. Adanya sorotan dari berbagai penjuru ini pula yang membuat manajemen dari perusahaan publik harus lebih berhati-hati dan melakukan banyak perhitungan dalam setiap langkah bisnisnya.

Untuk perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tahun ini ada 20% atau sembilan CEO-nya yang masuk dalam daftar lengkap 45 CEO Idaman 2007. Menurut Andrew, sudah sepatutnya para CEO BUMN tersebut mendapat penghargaan semacam ini. Andrew berpendapat mengelola perusahaan BUMN memerlukan seni tersendiri yang agak berbeda dibandingkan dengan sistem pengelolaan sebuah perusahaan swasta.

Perbedaan yang paling mencolok adalah dalam mengelola BUMN lebih banyak pada persoalan faktor nonteknis, seperti adanya intervensi pemerintah dan DPR. Itu ditambah lagi dengan budaya BUMN yang umumnya belum terbangun secara positif pada upaya peningkatan produktivitas, efisiensi proses bisnis, peningkatan inovasi, dan kemampuan memenangkan persaingan. Kondisi yang demikian jarang dijumpai pada perusahaan-perusahaan swasta. “Saya cukup kagum dengan CEO-CEO BUMN, karena mereka mengalami kondisi-kondisi usaha yang tidak dialami oleh non-BUMN. Akan tetapi, mereka tetap bisa berdagang dan maju. Mereka mendapat intervensi, ada pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), belum lagi dipanggil DPR terus-menerus. Hal ini sangat menyita waktu dan perhatian, tetapi mereka tetap saja bisa berfungsi,” cetus Andrew.

CEO Idaman 2007 Termuda dan Tertua

Usianya masih terbilang muda, belum genap 35 tahun. Namun, di mata responden, Anindya N. Bakrie patut dinobatkan sebagai salah satu CEO Idaman 2007. Dari daftar 45 besar CEO Idaman 2007, pria yang lahir pada Hari Pahlawan, 10 November 1974, itu merupakan CEO Idaman 2007 termuda dan satu-satunya CEO Idaman 2007 yang usianya di bawah 35 tahun. Bukan hanya itu, putra sulung pengusaha yang kini menjadi Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, ini juga berhasil menembus masuk dalam jajaran 10 besar CEO Idaman 2007. Sekitar 26,99% responden memilih Anin—begitu panggilan akrabnya, dengan tiga alasan, yakni masih muda (60%), mampu membuat perusahaan cepat berkembang (20%), dan memiliki strategi bisnis yang baik (20%). Anin saat ini menakhodai PT Bakrie Telecom Tbk. dan PT Cakrawala Andalas Televisi yang mengelola stasiun televisi ANTeve.

Meski Grup Bakrie adalah salah satu kelompok usaha yang mempunyai kekuatan bisnis besar dan Anin mewarisi itu, bukan berarti Anin tidak memiliki strategi bisnis yang cemerlang. Di mata Andrew, Anindya adalah sosok pengusaha muda dengan sepak terjang yang mengagumkan. Salah satu langkah yang dinilai cukup luar biasa adalah kemampuannya menggandeng Rupert Murdoch, Sang Raja Media Dunia, untuk masuk ke dalam ANTeve pada 2006 lalu. “Ia pintar memilih partner yang tepat,” cetus pria kelahiran Filipina itu. Di ANTeve, Rupert Murdoch memiliki saham sebanyak 20%. Langkah bisnis yang dilakukan Anin ini membuat ANTeve kembali masuk dalam pusaran persaingan bisnis pertelevisian di Indonesia, setelah sebelumnya tenggelam.

Jika Anindya merupakan CEO Idaman 2007 termuda, BRA Mooryati Soedibyo (presdir PT Mustika Ratu Tbk.) merupakan CEO Idaman 2007 dengan usia tertua. Tak pernah kehabisan energi adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sosok wanita kelahiran Surakarta, 5 Januari 1928 ini. Pada usianya yang hampir mencapai 80 tahun, Mooryati masih aktif menjalankan aktivitas bisnisnya. Selain itu, ia juga aktif sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah mewakili Provinsi DKI Jakarta. Tahun lalu ia berhasil menyelesaikan studi doktoralnya dan meraih gelar doktor dalam bidang Marketing-Strategic Management dari Universitas Indonesia.

Andrew menilai kehebatan Mooryati terletak pada kemampuannya untuk mempertahankan dan menjaga pasarnya. “Bertahannya Mustika Ratu karena adanya pasar yang setia kepada produk Mustika Ratu, dan tidak berpindah besar-besaran ke produk asing. Hal ini membuat Ibu Mooryati Soedibyo pantas untuk dihargai,” cetusnya.

Namun, Andrew menegaskan bahwa menjadi CEO hingga usia 80 tahun bukanlah suatu prestasi. Menurut dia, dengan memperhitungkan kondisi fisik, batas usia maksimal menjadi CEO adalah 65 tahun. “Lebih dari itu sudah terlalu dipaksakan,” ungkapnya. Ia menambahkan, seorang CEO dari perusahaan keluarga dan masih belum juga lengser di usia senja memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersangkutan masih enggan untuk melepaskan jabatannya, atau masih belum menemukan pengganti yang tepat. ###


EVI RATNASARI, YUDIT MARENDRA, GLORIA HARAITO, SATRIANI ARI WULAN, DAN SUCIPTO

CEO Idaman Pilihan Responden

Berikut adalah daftar nama CEO Idaman pilihan responden beserta alasan-alasan utama memilih nama CEO tersebut.

No. CEO Idaman 2007 Persentase Peringkat 2006
1 Michael D. Ruslim – PT Astra International Tbk. 59,43% 1
2 Agus D.W. Martowardojo – PT Bank Mandiri Tbk. 39,15% 6
3 Rinaldi Firmansyah – PT Telkom Tbk. 37,84% -
4 Emirsyah Satar – PT Garuda Indonesia 37,00% 14
5 Eduardus Paulus Supit – PT Astra Otoparts Tbk. 36,63% 9
6 Hilmi Panigoro – PT Medco Energi Internasional Tbk. 34,97% 15
7 Purnomo Prawiro – Grup Blue Bird 34,33% -
8 Soebronto Laras – PT Indomobil Suzuki International 28,73% 18
9 Betti S. Alisjahbana – PT IBM Indonesia 28,29% 8
10 Anindya N. Bakrie – PT Bakrie Telecom Tbk. 26,99% -
11 Trihatma K. Haliman – Grup Agung Podomoro 26,14% 11
12 Stanley S. Atmadja – PT Adira Dinamika Multifinance Tbk. 26,02% 10
13 Harun Hajadi – PT Ciputra Surya Tbk. 25,81% -
14 Tony Chen – PT Microsoft Indonesia 25,50% 17
15 Ari H. Soemarno – PT Pertamina 25,21% 32
16 Maurits D.R. Lalisang – PT Unilever Indonesia Tbk. 24,53% 4
17 Sudhamek Agung WS – PT Garudafood 21,92% 5
18 Sigit Pramono – PT Bank Negara Indonesia Tbk. 19,72% 7
19 Anthony Salim – PT Indofood Sukses Makmur Tbk. 18,37% 2
20 Djohan Emir Setijoso – PT Bank Central Asia Tbk. 16,94% 8
21 Hasnul Suhaimi – PT Excelcomindo Pratama Tbk. 16,79% -
22 Irfan Setiaputra – PT Cisco Systems Indonesia 14,62% 19
23 BRA Mooryati Soedibyo – PT Mustika Ratu Tbk. 14,54% 3
24 Yungky Setiawan – PT Bank Mega Tbk. 12,99% -
25 Armando Mahler – PT Freeport Indonesia 12,67% -

Alasan Memilih CEO Idaman
No. Alasan Persentase
1 Lebih maju di bawah kepemimpinan CEO tersebut 23,15%
2 Memiliki image yang baik 17,26%
3 Cerdas dan memiliki strategi bisnis yang baik 13,30%
4 Memiliki manajemen yang bagus 10,74%
5 Profesional 8,57%
6 Memiliki jiwa kepemimpinan 8,44%
7 Berpengalaman/memiliki latar belakang bisnis yang bagus 2,05%
8 Alasan lain-lain 16,50%
Total 100,00%
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=9639&cid=24&x=televisi


Televisi Kurang Dipercaya Ketimbang Media Internet

Selasa, 2 Oktober 2007 08:56 WIB - wartaekonomi.com
Dari Penelitian Edelman Asia Pasifik disebutkan berita dan informasi bisnis dari media intenet lebih dipercaya ketimbang televisi oleh dunia usaha. Hal itu terlihat dari tingkat kepercayaan media internet sebesar 28% dan televisi sebesar 25% di regional pada 2007. “Internet sudah menjadi media mainstream, “ kata Alan VanderMolen presiden Edelman Asia Pasifik kepada pers pada Jum’at (28/9) lalu.
Edelman melakukan penelitian indeks kepercayaan pengusaha di Asia Pasifik selama lima tahun terakhir. Langkah ini dibantu Harris Interactive Inc. dengan nama ‘Asia Pacific Stakeholder Study’. Penelitian dilakukan bagi 1.050 pengusaha di Jepang, Korea, China, Hong Kong, Taiwan, India, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Australia.

Salahsatu penyebab berita dan informasi bisnis dari televisi kurang dipercaya pengusaha daripada media internet lantaran hal itu disajikan banyak mengandung unsur hiburan. Namun surat kabar masih menempati urutan pertama dipercaya kalangan usaha sebesar 43% di regional pada 2007. “Televisi membutuhkan iklan besar untuk hidup, sehingga kredibilitasnya berkurang, “ jelasnya.

Sementara itu alokasi dana penyebaran berita dan informasi bisnis dipilih para pengusaha regional kepada situs perusahaan ketimbang televisi. Pada situs perusahaan dibelanjakan sebesar 29,4% dan TV sebesar 12,8%. Dana yang diperoleh TV juga lebih kecil dibandingkan pemberian informasi pada surat kabar sebesar 18,9% dan blog bisnis sebesar 14,7%.

“Kami yakin pergeseran besar-besaran dalam pemilihan jenis media yang mengarah ke sumber berita internet, situs perusahaan, serta para pegawai perusahaan, “ paparnya. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=9573&cid=2&x=televisi



SCTV Tidak Keberatan Hak Siar Liga Inggris Dimonopoli Astro TV
0 Tanggapan

Kamis, 6 September 2007 09:53 WIB - wartaekonomi.com
Surya Citra Televisi (SCTV) sebagai televisi teresterial (tidak berbayar) tidak keberatan hak siar pertandingan England Premier League/EPL (Liga Utama Inggris) dimonopoli Astro TV sebuah TV berlangganan lewat satelit asal Malaysia dari ESPN. Pasalnya, hal itu diperoleh dengan mekanisme pasar.
“Masalah tidak ada, “ kata Budi J. Sutjiawan, direktur pogram PT Surya Citra Televisi (SCTV) kepada WartaEkonomi di sela-sela ‘Konferensi Pers Program Ramadhan SCTV 1428H pada Rabu (5/9) siang.

Hak siar EPL tidak diperoleh TV terestial lantaran tidak dapat membeli dari ESPN. Pasalnya, harga itu mengalami kenaikan setiap tahun. “TV teresterial tidak sanggup bayar, “ jelasnya.

Menyoal kontribusi iklan bagi pembelian hak siar EPL dari ESPN, ujar Budi, tidak cukup. Namun dia tidak dapat menyebutkan persentase perolehan iklan dari harga hak siar tersebut. “Dari sisi iklan tidak menguntungkan, “ paparnya.

Budi melanjutkan monopoli hak siar pertandingan sepak bola oleh salahsatu TV dinilai bertentangan dengan keinginan FIFA. Pasalnya, organisasi ini ingin memasyarakatkan olahraga sepak bola di dunia. “Misi dan visi FIFA jadi tidak berfungsi, “ tuturnya.

Kemungkinan penayangan sepakbola luar negeri dalam waktu dekat, ditanggapi Budi, SCTV belum akan melakukan hal tersebut. Stasiun TV ini akan memfokuskan program lokal seperti sinetron. “Audience share sinetron lokal sebesar 18% dibandingkan sejumlah TV di 10 kota besar, “ tukasnya. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=9442&cid=2&x=televisi



Astro Ceria Raih 1/3 Audience Share
0 Tanggapan

Selasa, 10 Juli 2007 13:57 WIB - wartaekonomi.com
Dari situs Astro TV (www.astro.co.id) disebutkan sebanyak 41 saluran dimiliki televisi berbayar lewat satelit tersebut. Dari angka itu terdapat lima saluran yang diproduksi oleh penyedia konten lokal yaitu Astro Awani (saluran informasi dan gaya hidup), Astro Aruna (saluran sinetron asal Indonesia selama 24 jam), Astro Kirana (program khusus fil-film nonHollywood , AstroXpresi (saluran musik dan gaya hidup anak muda) dan Astro Ceria (saluran khusus anak-anak).
“Audience share Astro Ceria dibandingkan program sejenis dari televisi berbayar lewat satelit lain adalah 1/3 dari mereka, “ kata Dewi Fadjar, direktur PT Adi Karya Visi kepada WartaEkonomi di sela-sela pada Kamis (5/6) lalu. “Hal ini diketahui dari survei yang kami lakukan secara rutin.”

Adi Karya Visi adalah penyedia konten dari saluran Astro TV bernama Astro Ceria. Sebanyak dua film animasi telah diproduksi perusahaan tersebut berjudul ‘Sahabat' dan ‘Sega’. “(Jadi) konten lokal sebesar 23% dari program saluran Astro Ceria, “ jelasnya.

Sementara itu dari keterangan PT Direct Vision sebagai perusahaan penyedia jasa layanan televisi berbayar lewat satelit dengan nama Astro TV menyebutkan tiga dari lima saluran Astro TV telah diekspor ke Malaysia dan Brunei sejak 1 September 2006. Ketiga saluran yang dimaksud adalah Astro Ceria, Astro Kirana, dan Astro Aruna. Wahyu Satriani Ari Wulan
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=9175&cid=2&x=televisi

Mix & Match Empat Eksekutif Kunci
Jum'at, 25 Mei 2007 10:24 WIB - wartaekonomi.com

Para Eksekutif di Sekitar Hary Tanoe

Ada sejumlah eksekutif di sekeliling Hary Tanoesoedibjo. Di antara mereka, ada empat yang menempati posisi-posisi kunci. Mereka adalah Hary Djaja, Hidajat Tjandradjaja, Stephen K. Sulistyo, dan Beti Puspitasari Santoso. Keempatnya memiliki kesamaan, yakni memiliki latar belakang dunia keuangan—beberapa malah mantan bankir. Apa saja jabatan mereka? Apa pula yang mereka lakukan di grup bisnis milik Hary Tanoe?

Hary Djaja, direktur utama PT Bhakti Investama Tbk.

Dipercaya memimpin PT Bhakti Investama Tbk. sejak 2002, Hary Djaja, 48, menjadi sosok penting di balik banyak keputusan strategis yang diambil Hary Tanoesoedibjo. Salah satunya adalah yang baru dilakukan Hary Tanoe, yaitu menambah kepemilikan sahamnya di PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP), PT Bimantara Citra Tbk.—yang kini berganti nama menjadi PT Global Mediacom Tbk.―hingga pembelian 50% saham di perusahaan penerbangan AdamAir. Aksi yang terakhir ini menempatkan Hary Tanoe sebagai pemain yang pantas diperhitungkan dalam bisnis penerbangan di Indonesia. Sebab, sebelumnya Bhakti sudah memiliki PT Indonesia Air Transport Tbk. (IAT), yang mengelola jasa carter pesawat.

Sebelum memimpin Bhakti Investama, Hary Djaja telah ikut mengelola PT Bhakti Capital Indonesia Tbk. sebagai direktur utama selama dua tahun, sejak 2002. Pria yang mengantongi gelar dokter gigi dari Universitas Airlangga ini adalah juga pemegang saham mayoritas di PT Bhakti Asset Management. Sama halnya dengan Hary Tanoe, lelaki ini juga telah menggeluti dunia pasar modal dan pasar uang sejak tahun 1988, atau empat tahun sesudah ia menamatkan kuliahnya di Surabaya pada 1982. Kini, selain di Bhakti, Hary Djaja juga didapuk menjadi komisaris di PT Media Nusantara Citra (MNC) sejak tahun 2004, selain juga menjabat komisaris di beberapa anak usaha milik Bhakti, seperti PT Bhakti Capital Indonesia Tbk.

Hidajat Tjandradjaja, wakil presdir PT Global Mediacom Tbk.

Hidajat, kelahiran Jakarta tahun 1959, adalah salah satu eksekutif penting di balik sukses banyak ekspansi bisnis yang dilakukan Hary Tanoe. Khususnya, untuk ekspansi bisnis yang dilakukan lewat PT Bimantara Citra Tbk., yang kini berubah nama menjadi PT Global Mediacom Tbk. Sebab, meski baru bergabung di Bimantara pada 2001 sebagai wakil presdir, toh sederet jabatan penting langsung disandang mantan bankir ini. Baru setahun bergabung, misalnya, mantan wakil direktur pengelola PT Bank Internasional Indonesia Tbk. ini langsung didapuk untuk memimpin ekspansi bisnis media yang ingin dibesarkan Hary Tanoe lewat beberapa anak usaha yang ketika itu masih di bawah PT Bimantara Citra Tbk. Mulai dari menjadi komisaris di PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) sejak tahun 2002, hingga memimpin PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) selama tiga tahun sejak 2003 sebagai direktur utama. Bahkan, terakhir, Hidajat ditempatkan sebagai komisaris di PT Media Nusantara Citra (MNC), yang membawahkan seluruh bisnis media milik Hary, mulai dari TV, radio, koran, hingga tabloid.

Tak cuma di bisnis media, Hidajat pun dipercaya Hary Tanoe untuk memimpin ekspansi bisnis telekomunikasinya lewat PT Mobile-8 Telecom, yang mengusung teknologi selular CDMA2000 1X EV-DO dan berada di bawah payung PT Global Mediacom Tbk. Perjalanan Mobile-8 Telecom saat akan meluncurkan produknya, Fren, ke pasar memang sempat terseok-seok.
Meski tak mengantongi pengalaman mengelola bisnis telekomunikasi, apalagi teknologi informasi (TI), toh Hidajat berhasil membuktikan kemampuannya. Tahun lalu, misalnya, Mobile-8 berhasil membukukan laba bersih Rp35 miliar. Ini adalah pertama kalinya sejak perusahaan ini meluncurkan produknya ke pasar sekitar empat tahun lalu. Padahal tahun 2005 Mobile-8 masih mencatat kerugian sebesar Rp286 miliar. Prestasi ini diraih lewat kerja keras mereka mendongkrak pertumbuhan pelanggannya dari 790.000-an (2005) menjadi 1,82 juta pada akhir 2006. Melihat perkembangan tersebut, tak heran jika Hidajat mematok target 12 juta pelanggan Fren pada 2010.

Selain itu, pria yang memulai kariernya sebagai bankir di Chase Manhattan Bank ini pun masih ikut mengelola bisnis telekomunikasi Hary Tanoe lainnya, seperti PT Infokom Elektrindo, yang menyediakan jasa content provider, dan PT Elektrindo Nusantara. Namun, pada dua perusahaan tersebut, alumnus University of New South Wales, Sydney, Australia, tahun 1981 ini cuma menjabat sebagai komisaris.

Stephen K. Sulistyo, presdir PT Global Informasi Bermutu (Global TV)

Selain Hidajat, lelaki kelahiran Surabaya tahun 1964 ini juga termasuk sosok penting lainnya di balik berbagai bisnis milik Hary, termasuk bisnis media. Meski baru ikut menangani bisnis ini sejak menjabat sebagai direktur PT Media Nusantara Citra (MNC) pada 2004, Stephen yang mengantongi gelar sarjana akuntansi dan keuangan dari California State University Northridge, AS, ini dipercaya Hary Tanoe untuk mengurus bisnis media. Sederet jabatan penting diemban Stephen, seperti presdir PT Global Informasi Bermutu (Global Teve) sejak 2004, dan komisaris PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) mulai 2005.

Bersama sejawatnya, Artine Savitri Utomo, yang menjabat sebagai direktur pengelola (CEO) TPI sejak tahun 2003, Stephen bahu-membahu memperbaiki kinerja TPI. Seperti Hidajat, Artine pun sebelumnya sempat berkarier sebagai bankir di Bank Internasional Indonesia (BII), dan menjabat presdir BII Finance (1993–2000). Lewat tangan Stephen dan Artine, tahun lalu tiga media TV milik Hary Tanoe, termasuk TPI, sukses meraup Rp4,8 triliun. Ini berarti lebih dari 30% total belanja iklan TV nasional.

Kerja sama yang apik ini cuma satu dari sekian banyak hasil yang dicapai keduanya, mengingat bahwa baik Stephen maupun Artine adalah direktur di MNC, yang menjadi induk seluruh bisnis media milik Hary Tanoe. Di luar MNC, Stephen pun menjabat sebagai direktur di PT Bhakti Investama Tbk., perusahaan investasi yang didirikan Hary Tanoe sejak tahun 1992 dan kini menjadi “mesin uang” Hary untuk membesarkan usahanya.

Sebelum bergabung dengan Hary Tanoe, Stephen adalah salah seorang eksekutif kunci di Grup Centris, sebuah kelompok usaha yang didirikan oleh pengusaha asal Bandung, Ade Suherman. Bisnis Grup Centris, antara lain, properti, perbankan, dan jasa transportasi (taksi).

Beti Puspitasari Santoso, direktur keuangan dan administrasi PT Rajawali Citra Televisi Indonesia.

Bankir lainnya yang direngkuh Hary Tanoe untuk membesarkan usahanya adalah Beti P. Santoso. Sejak mengakhiri kariernya sebagai bankir di Bank Dagang Negara Indonesia pada 1995, wanita kelahiran Cirebon tahun 1959 ini memilih bergabung dengan PT Bhakti Investama Tbk. Beti memulai kariernya sebagai associate director di PT Bhakti Investama Tbk. pada 1996. Lalu, sejak 2002 ia ditunjuk menjadi dirut PT Bhakti Capital Indonesia Tbk.

Di luar karier profesionalnya sebagai eksekutif di bidang keuangan, wanita yang meraih gelar sarjana ekonomi dari Universitas Parahyangan, Bandung, ini juga aktif berorganisasi. Ia adalah mantan Komite Usaha Kustodian Sentral Efek Indonesia (2002–2004), dan kini menjabat sebagai ketua umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI). Selain di Bhakti, Beti masih harus ikut mengurusi bisnis Hary Tanoe yang lain, yaitu PT Media Nusantara Citra. Persisnya, Beti menjabat sebagai direktur keuangan dan administrasi di RCTI.

GENUK CHRISTIASTUTI
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8936&cid=24&x=televisi







Sekali di Udara,Tetap di Udara

Jum'at, 25 Mei 2007 10:31 WIB - wartaekonomi.com

Bisnis Multimedia dan Telekomunikasi

Perubahan nama Bimantara Citra menjadi Global Mediacom mengukuhkan ambisi Hary Tanoe untuk memberikan layanan one-stop entertainment, informasi, dan telekomunikasi. Ruang usahanya mulai dari siaran TV, radio, media cetak, portal internet, operator selular, penyedia layanan SMS Premium, hingga satelit. Strateginya: sinergi dan terintegrasi.

Selasa (27/3) siang itu raut muka Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo tampak sumringah. Apalagi kalau membicarakan masa depan bisnisnya di bidang media dan telekomunikasi. Ditemui seusai RUPS Luar Biasa, Hary, yang siang itu mengenakan setelan jas warna gelap, mengungkap alasannya mengganti nama PT Bimantara Citra Tbk. menjadi PT Global Mediacom Tbk.

Menurut Hary, itu bukan sekadar ganti nama. Perubahan nama itu sekaligus merefleksikan perubahan fokus bisnis dari yang semula perusahaan konglomerasi tanpa fokus usaha tertentu, menjadi sebuah perusahaan yang memiliki fokus bisnis inti di bidang media dan telekomunikasi. Lewat cara ini pula, ucap Hary, “Saya berharap manajemen Global Mediacom akan fokus pada core business.” Anak-anak usaha di luar bisnis inti, seperti properti dan otomotif, ungkap Hary, akan dilepas. Kini, perseroan memiliki misi untuk memberi layanan one-stop entertainment, informasi, dan telekomunikasi.

Pada akhir Desember 2000 silam, Hary memang pernah menegaskan kepada Warta Ekonomi. Katanya, “Buat saya, kalau mau mengembangkan media jangan tanggung-tanggung. Harus terintegrasi.” Itu enam tahun silam, kala ia masih belum menampakkan pamornya sebagai “Raja Bisnis Multimedia Indonesia”. Ia belum memiliki satu pun stasiun TV. Baru setahun kemudian pialang asal Surabaya ini masuk ke Bimantara Citra dan langsung mengambil alih saham milik Bambang Trihatmodjo. Lewat PT Bhakti Investama Tbk., kendaraan bisnisnya, Hary langsung menguasai 24,94% saham. Sementara itu, saham Bambang Tri melalui PT Asriland tinggal 12,37%. Kini, lewat Bhakti Investama, Hary Tanoe menjadi pemegang saham mayoritas (52,85%) di Bimantara Citra, yang telah berganti nama itu.

Menurut pengakuan Hary, memasuki bisnis yang tidak dikuasainya bukan berarti ia menantang risiko. “Saya selalu menerapkan konsep cek dan cek ulang. Misalnya, dalam akuisisi, meski bukan operator, kami akan menempatkan orang yang mengawasi pada posisi komisaris,” tutur dia. Mudahnya, Hary menyerahkan operasional perusahaan kepada orang yang memang kompeten di bidangnya.

Ketika memiliki saham Bimantara, Hary berkenalan dengan bisnis penyiaran lewat PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), yang kebetulan menunjukkan kinerja amat baik. Untuk mengkonsolidasikan bisnis medianya, Hary membentuk PT Media Nusantara Citra (MNC), yang 100% sahamnya dikuasai Global Mediacom. Kini, sub dari sub-holding Bhakti Investama ini menguasai keseluruhan saham RCTI dan PT Global Informasi Bermutu (Global TV), serta 75% saham PT Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Tiga stasiun TV ini membidik segmen yang berbeda. Jika RCTI diposisikan untuk segmen menengah hingga menengah-atas, TPI ditujukan ke kelas menengah ke bawah. Adapun Global TV, sebuah broadcaster company MTV, membidik mereka yang berjiwa muda. Hasilnya, menurut AGB Nielsen Media Research, per kuartal I 2007, tiga stasiun TV ini menguasai 34,1% pangsa pasar tontonan layar kaca di Tanah Air. Ini lantaran program yang disajikan oleh ketiganya memiliki average rating cukup tinggi, mencapai 4,6.

Menurut Bimo Nugroho, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), cara Hary memisahkan urusan operasional dan bisnis memang bisa mengurangi terlalu banyak intervensi pemilik ke dalam konten siaran. Ini penting karena, menurut dia, penguasaan berbagai media oleh satu pihak punya kecenderungan penyiaran tidak demokratis.

Penguasa Angkasa

Selain memiliki stasiun TV tak berbayar, Global Mediacom juga memperkuat posisi sebagai “penguasa angkasa” dengan mengakuisisi 51% saham PT MNC Skyvision. Akuisisi ini membuatnya menjadi pemilik saham mayoritas operator stasiun TV berbayar dengan merek dagang Indovision. Saat ini, Indovision menguasai 71% pangsa pasar dengan memiliki 200.000 pelanggan.

Sementara itu, untuk go international, MNC menggandeng IPS Inc. guna membuka akses siaran TV kabel berlangganan di Jepang. Alhasil, mulai 15 April lalu, sebanyak 600.000 WNI yang ada di Jepang bisa mengakses tayangan RCTI, TPI, Global TV, dan siaran Radio Trijaya lewat MNC Channel International. “Industri media itu akan borderless, sehingga pelebaran akses siaran ke Jepang ini adalah antisipasi menuju tren tersebut,” tutur Hary. Nantinya, MNC Channel International akan melebarkan sayap ke Singapura, Hong Kong, dan Timur Tengah.

Penguasaan Hary di media penyiaran makin kukuh dengan membuat payung usaha MNC Networks. Lewat jaringan ini, ia memiliki empat brand radio: Trijaya Networks, Radio Dangdut TPI, ARH Global, dan Woman Radio, di samping 35 mitra stasiun radio yang tersebar di sejumlah kota di Indonesia. Untuk memudahkan pemasarannya, Hary mengkonsolidasikan segmen antara radio dan stasiun TV miliknya. Trijaya Networks dan Woman Radio, misalnya, sengaja membidik pendengar kelas menengah-atas, sesuai target audiens RCTI.

Lalu, untuk media cetak, Hary memiliki koran Seputar Indonesia (Sindo), tabloid Genie, Realita, dan Mom & Kiddie. Baru-baru ini, portofolio media MNC makin lengkap dengan diluncurkannya situs online okezone.com. “Selama ditayangkan di MNC, diproduksi oleh rumah produksi milik MNC, atau ada gosip artis di bawah manajemen MNC, pasti akan muncul di okezone.com,” papar David Fernando Audy, head of investor relations PT Media Nusantara Citra. Baru satu bulan berjalan, sudah ada 200.000 hit di situs itu. Namun, David memperkirakan, hingga lima tahun ke depan, okezone.com belum akan menuai untung.

Menurut Bimo Nugroho, kepemilikan satu pengusaha terhadap berbagai media tidak menjadi masalah selama tidak ada kontrol informasi dan penggalangan opini publik. “Kalau demi membela kepentingan politik atau ekonomi, lalu pengusaha menggunakan media miliknya, itu baru masalah besar,” tegasnya. Menurut catatan KPI, Hary Tanoe memang sempat tersandung saat menggunakan talk show RCTI untuk mengklarifikasi kasus NCD bodong Bank Global yang terkait dengan dirinya.

Serba Terintegrasi

Sejatinya, perkenalan Hary dengan bidang usaha penyiaran, menurut D. Ganjar Sidik, managing director PT Data Consult—sebuah perusahaan informasi bisnis―bukan semata-mata karena Hary jatuh cinta kepada dunia media, tetapi karena ia mencium aroma bisnis yang menguntungkan. gHary senang membeli bidang usaha yang melejit dan memiliki capital gain tinggi,h ungkap Ganjar. Jadi, bukan kebetulan jika ia bisa membeli saham Bimantara saat harganya murah.

Dan, bukan sebuah kebetulan pula jika tiga stasiun TV swasta milik Hary menguasai 33% dari total belanja iklan TV nasional, atau sekitar Rp7 triliun. Fakta paling fantastis terjadi di Global TV. Jika pada 2004 perusahaan ini hanya memperoleh omzet Rp10 miliar, per 2006 pendapatannya mencapai Rp236 miliar, atau naik lebih dari 23 kali lipat!

Gaya bisnis beli saat murah ini sesuai dengan pilihan tokoh idola Hary. Meski sudah menjadi Raja Bisnis Multimedia Indonesia, Hary justru mengidolakan Warren Buffett, manajer investasi yang berhasil mendirikan bank investasi raksasa, Berkshire Hathaway Inc., dan bukannya Rupert Murdoch atau Ted Turner yang menguasai media global. Strategi MNC pun terpengaruh gaya Warren Buffett: perbanyak merger dan akuisisi untuk memperbesar usaha, dengan dana dari lembaga investasi. “Pola itu sangat mungkin dilakukan di sini,” aku Hary.

Pada dasarnya, strategi utama Hary dalam memperbesar usaha media dan telekomunikasi adalah memperkuat sinergi dan integrasi antar-anak perusahaan. Lihat saja, dalam waktu kurang dari dua dasawarsa, Global Mediacom bisa menjelma menjadi perusahaan media dan telekomunikasi dengan platform paling lengkap. Mulai dari penyiaran radio dan televisi―baik berbayar maupun tak berbayar―media cetak, produksi dan distribusi konten, manajemen artis, penyedia layanan SMS Premium, portal internet, hingga operator selular dan satelit.

Program acara tahunan yang digelar RCTI, Indonesian Idol, misalnya, bisa memberi contoh kuatnya sinergi dan integrasi anak perusahaan di bawah Global Mediacom. Sebelum menjadi kontestan, pemirsa bisa mendapatkan formulir pendaftaran yang tersedia di koran Sindo dan tabloid Genie, selain di sejumlah radio di bawah naungan MNC Networks. Nah, untuk mendapatkan pemenang, sang Idola Indonesia, pemirsa RCTI harus mengirim dukungan melalui SMS Premium ke nomor 9288. Bisa ditebak, pemilik nomor pendek tersebut adalah PT Infokom Elektrindo, yang notabene adalah anak usaha Global Mediacom. “Fokus utama kami adalah melayani kebutuhan grup,” ungkap Temi Efendi, vice president director PT Infokom Elektrindo. Asal tahu saja, saat Grand Final Indonesian Idol 2006 terkumpul 2,7 juta SMS. Jika setiap pesan pendek dihargai Rp2.000, maka malam itu perusahaan meraup Rp5,4 miliar.

Kalau tak sempat menonton TV di rumah, ada layanan TV Mobile dari Fren. Dari layar ponsel Fren, pelanggan bisa melihat live TV atau video on demand untuk sejumlah program acara, selama 24 jam nonstop. Dari channel yang ditawarkan untuk diunduh, PT Mobile-8 Telecom Tbk., yang juga anak usaha MNC, memberi opsi channel RCTI, TPI, Global TV, MNC Entertainment, MNC News, dan Trijaya Networks. Lagi-lagi, semua terintegrasi.

ARI WINDYANINGRUM, EVI RATNASARI, DAN HOUTMAND P. SARAGIH
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8932&cid=24&x=televisi



Kami Ingin Jadi Pemain Regional dan Internasional
Jum'at, 25 Mei 2007 10:33 WIB - wartaekonomi.com
Hary Tanoesoedibjo Direktur Utama PT Global Mediacom Tbk.


Tahun 2007 baru memasuki bulan ke-4, tetapi sejumlah langkah besar telah dilakukan oleh Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo. Mulai dari mengganti nama PT Bimantara Citra Tbk. menjadi PT Global Mediacom Tbk., melakukan penambahan saham di PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk., meluncurkan MNC The Indonesia Channel di Jepang, sampai mengakuisisi 51% saham PT Adam Skyconnection Airline (AdamAir) yang nilainya setara dengan 60 pesawat baru Boeing 747-400. Bahkan, Juni nanti, PT Bhakti Investama Tbk. akan melakukan rights issue dengan target menghimpun dana US$340 juta. Hary Tanoe begitu sibuk. Apa saja rencana yang ia siapkan? Apa target yang ingin dicapainya? Berikut jawaban tertulis Hary kepada Warta Ekonomi. Petikannya:

Apa alasan pergantian nama perusahaan dari PT Bimantara Citra Tbk. menjadi PT Global Mediacom Tbk.?

Perubahan nama itu untuk merefleksikan perubahan fokus bisnis dari yang sebelumnya sebuah perusahaan konglomerasi tanpa fokus usaha, menjadi sebuah perusahaan yang memiliki fokus core business. Global Mediacom akan fokus di bisnis media dan telekomunikasi. Mengapa? Sebab, kami yakin bisnis media dan telekomunikasi di Indonesia memiliki prospek pertumbuhan yang sangat tinggi.

Apa target yang ingin dicapai oleh Global Mediacom?

Kami ingin terus mengembangkan usaha di bidang media dan telekomunikasi, yang prospeknya sangat cerah. Jumlah penduduk Indonesia saat ini kurang lebih 220 juta jiwa. Kondisi geografis, sebagai negara kepulauan, memberi peluang kepada media televisi sebagai satu-satunya medium yang paling efektif untuk menjangkau pemirsa. Kemudian dari sisi bisnis, sekitar 65% total belanja iklan dihabiskan untuk iklan televisi setiap tahunnya.
Lalu dalam bisnis telekomunikasi, kita semua tahu penetrasi selular di Indonesia masih sangat rendah. Tahun 2004 hingga 2006 bisnis telekomunikasi tumbuh dengan sangat pesat. Diperkirakan pertumbuhan ini akan berlanjut untuk beberapa tahun ke depan.

Lalu, apa strategi Anda untuk mencapai target tersebut?

Strategi utama, terus memperkuat sinergi dan integrasi antaranak perusahaan media dan telekomunikasi. Selain itu, kami juga melakukan ekspansi ke bisnis-bisnis yang terkait dengan core business media dan telekomunikasi, baik di dalam maupun di luar negeri. Saat ini Global Mediacom merupakan perusahaan media dan telekomunikasi dengan platform/wadah media terlengkap dan terintegrasi, mulai dari produksi dan distribusi konten, manajemen artis, televisi free-to-air, televisi berlangganan, surat kabar, majalah, tabloid, radio, operator selular, Value Added Services (VAS), sampai media online.

Bagaimana dengan unit-unit usaha lain di luar media dan telekomunikasi, seperti properti dan otomotif?

Semua bisnis yang tidak terkait media dan telekomunikasi pada akhirnya akan kami lepas. Ini kami lakukan agar manajemen fokus kepada core business Global Mediacom.

Kabarnya, Media Nusantara Citra (MNC) akan melakukan ekspansi ke luar negeri. Sudah sejauh mana perkembangannya?

Kami memang akan terus menjajaki kemungkinan kerja sama dan ekspansi, baik di dalam maupun di luar negeri. Di luar negeri, MNC berupaya untuk memperkenalkan budaya Indonesia dengan mendistribusikan konten lokal Indonesia melalui siaran televisi. Sebagai contoh, kami mendapat kontrak kerja sama dengan IPS Inc. di Jepang untuk mengudarakan sebuah channel internasional milik kami, yaitu MNC The Indonesian Channel, yang diluncurkan perdana pada 15 April 2007 lalu. Targetnya adalah orang-orang Indonesia, atau komunitas berbahasa Melayu, yang tinggal di Jepang.

Kami juga memiliki hubungan kemitraan yang erat dengan beberapa perusahaan media lokal maupun yang berskala internasional, baik di regional Asia maupun non-Asia. Misalnya, dengan Viacom International Inc., yang mengelola MTV dan Nickelodeon. Semua ini kami lakukan dalam rangka mempersiapkan MNC agar bukan hanya menjadi pemain media lokal, tetapi juga menjadi pemain regional dan internasional. Untuk semua rencana tersebut, kami juga menggunakan dana yang bersumber dari arus kas internal perseroan.

Bagaimana dengan Grup Bhakti?

Target Grup Bhakti adalah memperkuat bisnis investasi, dan menjadikan Bhakti sebuah perusahaan investasi yang solid. Untuk itu, kami akan terus memperkuat integrasi dan sinergi antarperusahaan di bawah payung Grup Bhakti, menata dan mengembangkan investasi yang sudah ada, serta menjajaki potensi investasi di industri-industri yang kami yakini memiliki prospek pertumbuhan yang tinggi. Misalnya, industri transportasi.

Kinerja Bhakti tahun lalu melonjak tajam. Apa penyebabnya?

Sinergi, integrasi, serta investasi kami yang sudah memperlihatkan hasil.

Sejauh mana persiapan rights issue Bhakti yang akan dilakukan Juni nanti?

Sedang dalam proses.

Untuk apa dananya?

Untuk modal kerja dan memperkuat bisnis yang sudah ada, serta investasi.

Mengapa memilih AdamAir?

Industri transportasi, khususnya penerbangan, memiliki prospek yang cerah. Bhakti melihat AdamAir juga memiliki prospek pertumbuhan bisnis yang tinggi. Ini juga sesuai dengan rencana Bhakti untuk melakukan investasi di bidang bisnis transportasi.

Apakah PT Indonesia Air Transport (IAT) akan dikonsolidasikan dalam satu perusahaan dengan AdamAir?

IAT adalah anak perusahaan tidak langsung dari Bhakti. Untuk konsolidasi dengan IAT, sampai saat ini masih terus kami kaji.

Apa target Grup Bhakti tahun ini?

Pertumbuhan pendapatan dan laba bersih sebanyak triple digit.

http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8931&cid=24&x=televisi



Hari Ini Harinya Hary Tanoe
Rabu, 23 Mei 2007 10:12 WIB - wartaekonomi.com


Bisnis Hary Tanoesoedibjo

Memasuki 2007, Hary kian agresif. Ia membeli AdamAir, meningkatkan sahamnya di CMNP, serta memangkas anak-anak usaha Bimantara dan mengganti namanya menjadi Global Mediacom. Lewat rights issue Bhakti Investama, Hary bakal memperoleh dana segar US$340 juta untuk ekspansi usaha. Hari-hari belakangan memang menjadi harinya Hary Tanoesoedibjo.

Lampu ruangan di lantai 28 Gedung Bimantara, Jl. Kebon Sirih, Jakarta, tak pernah padam sebelum tengah malam. Di lantai itulah taipan multimedia Hary Tanoesoedibjo berkantor. Ia memang sering bekerja hingga larut malam. Meski demikian, esok paginya, sekitar pukul 07.00, pria kelahiran 26 September 1965 itu sudah kembali masuk kantor. Ritme kerja semacam itu dijalani Hary sejak ia berusia 24 tahun. “Pak Hary memang pekerja keras dan disiplin. Ia selalu berada di kantor dari pukul 07.00 sampai 24.00. Hari libur pun kadang Pak Hary datang ke kantor,” ujar David Fernando Audy, head of investor relations PT Media Nusantara Citra (MNC), yang juga personal assistant Hary Tanoe.

Kerja keras pria bernama lengkap Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo itu memang berbuah manis. Kini, ada sekitar 24 perusahaan di bawah kendalinya dengan 7.000-an karyawan mengais rezeki di sana. Bukan hanya itu. Tahun lalu kinerja perusahaan yang dipimpinnya melonjak tajam. PT Bhakti Investama Tbk., perusahaan investasi yang didirikan 18 tahun lalu dengan modal Rp200 juta, berhasil mengantongi laba bersih konsolidasi tahun 2006 sebesar Rp229,4 miliar, atau melonjak hampir 350% dibanding 2005. Sementara itu, laba bersih PT Bimantara Citra Tbk., yang kini berganti nama menjadi PT Global Mediacom Tbk., pada 2006 juga naik lebih dari tiga kali lipat menjadi Rp446 miliar. “Semua bisnis yang dirancang pada 2006 memberikan hasil baik,” ujar Hary, seusai RUPS Luar Biasa di Menara Kebon Sirih, Selasa (27/3) lalu Lonjakan keuntungan Grup Bhakti tak lepas dari pilihan usaha yang dirambah Hary. Biasanya, Hary memang memilih bidang-bidang usaha yang tengah melejit, memiliki pertumbuhan tinggi, dan memberikan capital gain yang tinggi pula. Grup ini memiliki empat sektor usaha, yakni jasa keuangan, multimedia dan penyiaran, telekomunikasi dan teknologi informasi (TI), serta investasi. Di sektor jasa keuangan, Bhakti memiliki PT Bhakti Capital Indonesia Tbk. yang membawahkan beberapa anak usaha, yaitu PT Bhakti Securities, PT Bhakti Asset Management, dan PT Bhakti Finance. Adapun multimedia, penyiaran, telekomunikasi, dan lainnya berada di bawah Global Mediacom.

Memperlebar Sayap Bisnis

Meski sebagian besar bisnisnya sudah eksis, Hary tak pernah berhenti mengais peluang. Grup Bhakti masih menyimpan rencana besar. Tahun ini, pria asal Surabaya itu berencana memperlebar sayap bisnisnya. Ini tercermin dari rencana Bhakti Investama memperkuat struktur keuangan dan modal dengan melakukan rights issue lewat penerbitan obligasi konversi (convertible bond, CB) dan saham senilai US$340 juta (CB US$170 juta, saham US$170 juta).

Sebelum rights issue, Bhakti Investama akan menerima fasilitas bridge loan (dana talangan) US$100 juta dari Lehman Brothers, yang perjanjiannya diteken 5 April 2007 lalu, dan US$100 juta dari dua investor lainnya. Melalui rights issue, dana dari Lehman Brothers kelak dikonversi menjadi CB senilai US$100 juta, dan yang dari dua investor menjadi saham baru juga senilai US$100 juta.

Menurut Hary Djaja, dirut Bhakti Investama, dana hasil rights issue akan digunakan untuk meningkatkan investasi perusahaan. Di antaranya, meningkatkan kepemilikan di PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP) dan Global Mediacom. “CMNP dan Global Mediacom merupakan salah satu investasi strategis Bhakti. Maka, kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kepemilikan di dua perusahaan tersebut,” ungkapnya

Kini, porsi saham Bhakti Investama di CMNP naik dari 9,01% menjadi 10,76%. Pada 2006, CMNP membukukan pendapatan Rp475 miliar atau naik 9% dibandingkan 2005. Sementara itu, laba bersih CMNP naik 50% menjadi Rp122 miliar. “Kami akan menambah saham di CMNP sampai lebih dari 24,%,” cetus Hary Djaja. Sedangkan di Global Mediacom, Bhakti Investama meningkatkan kepemilikannya dari 49,01% menjadi 52,85%.

Ganjar Sidik, managing director PT Data Consult, sebuah perusahaan riset bisnis, menilai penambahan saham ini menunjukkan keseriusan Hary Tanoe dalam bisnis multimedia. Global Mediacom memang akan fokus dan menjadi holding company dari usaha multimedia dan telekomunikasi. “Sejak Hary Tanoe masuk, ia mempreteli satu per satu bisnis Bimantara,” ujar Ganjar. Faktanya, dari tahun ke tahun, seiring dengan penambahan jumlah saham Bhakti Investama, jumlah anak usaha Bimantara kian menyusut. Hary Tanoe masuk ke Bimantara pada 2002 dengan menguasai 24,94% saham. Kini, jumlah saham Bhakti Investama menjadi 52,85%.

Sebelum 1995, ada lebih dari 100 perusahaan yang bernaung di Grup Bimantara, dengan beragam bidang usaha. Namun, setelah Hary masuk pada 2003, banyak perusahaan yang dilepas. Sampai Januari 2007, Bimantara tinggal memiliki 14 perusahaan.

Dalam RUPS Maret lalu, Hary kian mempertegas keinginannya dengan mengganti nama perusahaan dari PT Bimantara Citra Tbk. menjadi PT Global Mediacom Tbk. “Perseroan dengan resmi menyatakan fokus usahanya beralih ke bisnis media dan telekomunikasi,” tandas Hary. Saat ini Global Mediacom, lewat MNC yang anak usahanya, menaungi sejumlah media cetak maupun elektronik. Di antaranya, RCTI, TPI, Global TV, Harian Seputar Indonesia, Tabloid Genie, Okezone.com, dan Radio Trijaya Network—yang membawahkan sejumlah radio lainnya, seperti Radio Dangdut 97.1 FM, Women Radio 94.3 FM, dan Radio ARH 88.4 FM. Ekspansi MNC tak hanya di dalam negeri, tetapi juga merambah negara-negara tetangga. MNC bekerja sama dengan IPS Inc., Jepang, mengudarakan sebuah channel internasional milik MNC, yakni MNC The Indonesia Channel, yang diluncurkan perdana 15 April 2007 lalu. “Target kami bukan hanya menjadi pemain lokal, tetapi juga regional dan internasional,” ujar Hary.

Dalam bisnis telekomunikasi dan TI, Global Mediacom menaungi dua anak usaha, yakni PT Mobile-8 Tbk. (Fren) dan PT Infokom Elektrindo. Pada 13 Januari 2007, Global Mediacom menandatangani MoU untuk mengambil alih 51% kepemilikan saham PT MNC Skyvision. Kini, perusahaan yang terkenal dengan merek dagang Indovision itu resmi bernaung di bawah Global Mediacom.

Selain bisnis multimedia dan telekomunikasi, Global Mediacom juga memiliki beberapa portofolio investasi lain di jasa penyewaan pesawat terbang (melalui PT Indonesia Air Transport), properti (PT Usaha Gedung Bimantara, PT Plaza Indonesia Realty, dan PT Nusadua Graha International), industri kimia (PT Multi Nitrotama Kimia dan PT Bima Kimia Citra), dan jaringan pipa gas (PT Trans Javagas Pipeline). Bidang-bidang usaha ini bakal dilepas dari Global Mediacom. “Semua bisnis yang tidak terkait dengan media dan telekomunikasi akan kami lepas,” ungkap Hary. Untuk 2007, Hary menargetkan pendapatan Global Mediacom mencapai Rp5 triliun, atau naik sekitar 56% dibandingkan 2006 yang Rp3,2 triliun. Adapun Bhakti Investama, pendapatan dan laba bersihnya ditargetkan tumbuh tiga digit.

Raja Bisnis Penerbangan

Bisnis lain yang dianggap prospektif oleh suami dari Liliana Tanoesoedibjo dan ayah dari tiga anak ini adalah penerbangan. Itu sebabnya, pada 12 April lalu, secara resmi Bhakti Investama, melalui anak usahanya yakni PT Global Transport Services, mengakuisisi 50% saham PT Adam SkyConnection Airlines (AdamAir). “Nilainya tidak bisa disebutkan,” ucap Hary Djaja. Dirut AdamAir, Adam Aditya Suherman, pun bungkam tentang nilai transaksinya. Adam hanya menyebut, “Nilainya sama dengan 60 pesawat baru.”

Ganjar menilai akuisisi Bhakti terhadap AdamAir adalah keputusan yang tepat dan tak lepas dari kelihaian Hary Tanoe dalam melihat peluang. Menurut dia, ada beberapa alasan mengapa Hary memilih AdamAir. Pertama, AdamAir memiliki sistem organisasi dan armada yang cukup besar, tetapi citranya tengah jatuh akibat beberapa kecelakaan pesawat. Jadi, bargaining power AdamAir tengah lemah, sehingga berpeluang dilepas dengan harga murah. Kedua, bisnis penerbangan sedang tumbuh dan pasarnya sudah tercipta. “Ini adalah gaya Hary dalam berbisnis. Ia selalu mengincar perusahaan dengan harga murah, tetapi masih potensial di masa mendatang. Industrinya pun tengah tumbuh tinggi,” ucap Ganjar. Industri penerbangan memang tumbuh cukup signifikan. Jika tahun 2002 jumlah penumpang pesawat tercatat 7,6 juta, pada 2006 melonjak mencapai 34 juta orang.

Dengan bergabungnya Bhakti, AdamAir akan melakukan perubahan segmentasi pasar dari segmen menengah bawah ke menengah. Dari sisi jumlah penumpang, Danke Drajat, direktur komunikasi AdamAir, menargetkan perolehan 20.000 penumpang per hari. Lalu, dalam lima tahun ke depan, mereka berencana memperkuat armada dari 22 menjadi 60 pesawat. Menyangkut aspek keselamatan penerbangan, AdamAir juga akan melakukan konsultasi dengan lembaga audit penerbangan asing asal AS, IOSA. “Melihat potensi bisnis penerbangan dan perbaikan yang akan dilakukan AdamAir, bukan tak mungkin, ke depan, Hary akan menjadi raja di bisnis penerbangan,” tukas Ganjar.

Selain masuk ke industri penerbangan, Ganjar memprediksi Hary bakal mengakuisisi salah satu bank. Hanya, bank yang diincar bukan bank dengan modal di bawah Rp100 miliar, melainkan yang di atas Rp1 triliun. “Ini tinggal tunggu waktu saja,” ujarnya, yakin. Sementara itu, Hary sendiri mengaku pihaknya masih akan terus menjajaki potensi investasi di industri yang prospek pertumbuhannya tinggi. Sayangnya, pria yang mengidolakan Warren Buffett itu belum mau menyebutkan industri mana yang tengah diincarnya.

EVI RATNASARI, ARI WINDYANINGRUM, HOUTMAND P. SARAGIH, DAN YUDIT MARENDRA

Kisah Hary dalam Membangun Bisnis

Kala itu Hary Tanoesoedibjo baru berusia 25 tahun. Ia baru saja meraih gelar Master of Business Administration dari Carlton University, Kanada. Pada usia semuda itu, Hary cukup percaya diri untuk membangun bisnis sendiri. Dengan modal Rp200 juta yang sebagian besar ia pinjam dari sang ayah, Hary mendirikan perusahaan sekuritas, PT Bhakti Investama, di Surabaya. Hary pernah bercerita kepada Warta Ekonomi, di awal menjalankan perusahaan, ia hanya ditemani oleh tiga orang staf. Ketika memutuskan untuk hijrah ke Jakarta pada 1990 dan memasukkan Bhakti ke Bursa Efek Jakarta, ia turun sendiri ke lantai perdagangan dan berdesak-desakan untuk menulis di papan transaksi. Bukan hanya itu, ia juga merekrut serta mewawancarai sendiri calon karyawannya.

Sejak kuliah, Hary memang telah jatuh cinta pada pasar modal. Ia yakin pasar modal adalah lahan bisnis yang akan digeluti dan memberikan prospek cerah. Maka, sejak 1987, sambil kuliah, anak bungsu dari enam bersaudara ini akrab bermain saham di bursa Toronto. Kabarnya, dari sinilah awal mula Hary mengenal dan membuka akses ke penyandang dana atau investor-investor kakap dunia.

Hary dan Keluarga Cendana

Sejak Hary Tanoesoedibjo masuk ke Bimantara, dia selalu dikait-kaitkan dengan Keluarga Cendana. Pasalnya, pascakrisis moneter dan lengsernya Soeharto, kondisi bisnis Keluarga Cendana memang pontang-panting terbelit utang, bahkan terancam dipailitkan. Investor alergi untuk melakukan hubungan bisnis dengan perusahaan-perusahaan milik Keluarga Cendana, apalagi untuk menyuntikkan dana. Namun, Hary justru datang dan masuk bak pahlawan penyelamat.

Hary masuk ke Bimantara Citra pada 2002 lewat PT Bhakti Investama Tbk. dengan membeli 24,94% saham. Bimantara adalah perusahaan yang didirikan oleh Bambang Trihatmodjo bersama tiga temannya, Rosano Barack, M. Tachril Sapi'ie, dan Peter Gontha. Pada 2004, Bhakti menambah kepemilikannya menjadi 39%. Sejak itu, Bhakti Investama menjadi pemegang saham mayoritas dan Bimantara menjadi sub-grup dari Bhakti Investama. Kendati Bambang tak lagi menjadi pemegang saham mayoritas di Bimantara, sejak Desember 2004 putra ketiga Soeharto ini kembali menjadi anggota komisaris Bimantara Citra.

Di tahun 2002, Hary juga “menyelamatkan” Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) milik Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut, yang terancam dipailitkan. Mbak Tutut saat itu terbelit utang US$55 juta. Rupanya, putri sulung Soeharto itu tak mampu membayarnya. Hary bersedia mengambil alih utang dan menambah modal agar kinerja TPI membaik. Kompensasinya, Mbak Tutut memberikan 75% saham di TPI kepada PT Berkah Karya Bersama (Berkah), anak usaha PT Media Nusantara Citra (MNC), dan memberikan surat kuasa agar Berkah bisa mengendalikan secara penuh operasional TPI. Pada tahun ini pula Bhakti Investama membeli saham PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), yang juga milik Mbak Tutut.

Langkah bisnis Hary membuat sebagian orang beranggapan bahwa ia memiliki hubungan dengan Keluarga Cendana. Apalagi, di tahun yang sama, Hary masuk ke perusahaan-perusahaan yang dikuasai Keluarga Cendana. Spekulasi pun mencuat, termasuk rumor bahwa dana yang digunakan adalah milik Cendana. Hary hanyalah orang yang digunakan untuk menyelamatkan aset Cendana. Hary sendiri tak mau memberikan jawaban mengapa aset-aset yang dibidiknya adalah aset Cendana.

Menurut managing director PT Data Consult, Ganjar Sidik, pada masa sebelum Soeharto lengser, jika ada pengusaha yang ingin mencari investasi dan dana besar, mereka pasti akan mendekati Cendana. Pada 1990, ketika Hary memboyong perusahaannya ke Jakarta, sebagai pemain baru tentu ia harus mendekati semua orang dan membina hubungan baik. Di sini tak tertutup kemungkinan Hary pun membina hubungan dengan Keluarga Cendana. “Saya tidak tahu secara mendalam apakah ada udang di balik batu. Tetapi, saya menilai Hary melihat prospek yang bagus dari beberapa perusahaan yang dibidik,” ujar Ganjar.

Ganjar menilai, Hary adalah sosok yang memiliki kemampuan rekayasa keuangan tinggi, pelobi, dan negosiator andal. Sebagai pelobi yang baik, dia pasti akan membina hubungan dengan semua relasi. Jika aliran dana yang digunakan berasal dari Cendana, Ganjar menganggapnya wajar saja, sebab Bhakti Investama adalah kendaraan yang diciptakan Hary untuk mengumpulkan sumber dana. “Investor dari mana saja bisa masuk,” ucap Ganjar.

EVI RATNASARI DAN ARI WINDYANINGRUM
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8893&cid=24&x=televisi





Belanja Iklan Di TV Diprediksi Tidak Terpengaruh Aturan Penggunaan SDM Lokal Pada Produk Iklan

Senin, 21 Mei 2007 10:43 WIB - wartaekonomi.com
Penerbitan Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika (Kominfo) No. 25/PER/M.KOMINFO/5/2007 Tentang Penggunaan Sumber Daya Dalam Negeri Untuk Produk Iklan Yang Disiarkan Melalui Lembaga Penyiaran dinilai tidak berpengaruh pada belanja iklan di televisi (TV). Malahan, hal itu akan mengembangkan industri periklanan dalam negeri.
“Jadi tantangan bagi orang creative dalam negeri dan mengurangi dalam cost production iklan, “ kata Ika Jatmikasari, senior manager Client Service PT ACNielsen Indonesia dalam Belanja Iklan Kuartal I 2007 Nielsen Press Club pada Selasa (15/5) siang.

Dari Data ACNielsen Indonesia disebutkan pada kuartal I 2007 belanja iklan mencapai Rp7,029 triliun. Angka itu naik sebesar 19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu dari Rp5,916 triliun. “TV mengambil porsi 66%, sedangkan koran sebesar 30%, dan koran sebesar 4%, “ jelasnya.

Ika meneruskan belanja iklan di TV sebesar Rp4,625 miliar pada kuartal I 2007. Sedangkan pada periode yang sama tahun lalu hanya mencapai Rp3,091 miliar. Angka ini naik sebesar 19%, “ ujarnya.

ACNielsen mengolongkan 10 kategori produk dalam belanja iklan di TV. Dari hal itu produk hair care membelanjakan iklan di TV sebesar Rp321 miliar pada kuartal I 2007. Namun angka itu turun sebesar 2% dibandingkan waktu yang sama tahun lalu dari Rp328 miliar. “Kenaikan tertinggi belanja iklan di TV oleh produk motorcycle, scooter, dan bikes sebesar 129% menjadi Rp183 miliar dari Rp80 miliar, “ paparnya.

Dari sisi 10 besar produk belanja iklan di TV, ucap Ika, produk hair care yang terbesar Shampo Clear Anti Ketombe dengan belanja sebesar Rp72 miliar dalam waktu tiga bulan 2007. Angka ini naik dari Rp35 miliar ketimbang periode yang sama tahun lalu. “Walaupun demikian kenaikan belanja iklan di TV dikeluarkan Sabun Lux sebesar 123% menjadi Rp40 miliar dari Rp3 miliar, “ tandasnya.

Ika melanjutkan belanja iklan pada produk hair care didominasi Shampo Clear Anti Ketombe sebesar Rp72 miliar. Angka itu naik sebesar 100% dari Rp34,971 miliar. “Tapi, peningkatan tertinggi belanja iklan dilakukan Sunsilk Leave On Hair Moisturizer sebesar 277% menjadi Rp24,481 miliar dari Rp6,496 miliar, “ tuturnya. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8919&cid=2&x=televisi




TV O Channel Satu Grup Dengan SCTV?
Sabtu, 12 Mei 2007 18:55 WIB - wartaekonomi.com
Fofo Sariaatmadja, dirut PT Surya Citra Televisi (SCTV), tidak bersedia menjawab kepada wartawan tentang kabar saham mayoritas TV O Channel dimiliki PT Surya Citra Media (SCM) Tbk sebagai induk SCTV. Karena, dia tidak berwenang memberikan jawaban tersebut. Walaupun dia sebagai dirut SCM.
“Itu di level holding SCM, bahkan di atasnya lagi, “ katanya di sela-sela ‘Konferensi Pers Due Diligence Meeting & Public Expose Penawaran Umum Obligasi SCTV II Tahun 2007’ pada Kamis (10/5) kemarin.

Kabar yang beredar di lapangan menyebutkan mayoritas saham TV O Channel dipegang PT Elang Mahkota Teknologi (Emtek). Perusahaan ini merupakan salahsatu anak usaha dari SCM. Sedangkan usaha lain yang dipunyai Keluarga Sariaatmadja seperti PT Abhitama Citra Abadi dan PT Bitnet Komunikasindo (BozzKom).

Sampai sekarang saham SCTV dipegang sebesar 78,69% oleh PT Abhitama Citra Abadi. Sedangkan, The Northern Trust Company memiliki 7,9% saham SCTV. Sisanya, sebesar 13,41% dipegang publik

Pada kesempatan yang sama Fofo mengemukakan obligasi SCTV II Tahun 2007 senilai Rp525 miliar dikeluarkan perusahaan tersebut. Tingkat suku bunga yang ditawarkan sebesar 10,5%-11% setiap tiga bulan dengan jatuh tempo lima tahun.

Dari hasil obligasi SCTV II Tahun 2007 akan digunakan sebesar 81% sebagai refinancing pelunasan Obligasi I Tahun 2003 yang jatuh tempo pada Juni 2008. Sisanya, SCTV akan memakai sebagai modal kerja dan pengembangan usaha seperti penggantian peralatan yang berumur tua dan perpindahan gedung ke Senayan City (Jakarta) mulai Oktober-Desember 2007. Pada tahun ini SCTV menganggarkan capex sebesar Rp100 miliar.

Obligasi ini dijamin hak tanggungan atas tanah dan bangunan. Hal ini juga dijamin fidusia atas piutang usaha perseroan dan jaminan fidusia atas kendaraan bermotor. Begitupula jaminan fidusia atas inventori (film) dengan jaminan bersih sebesar 50% dari nilia pokok obligasi yang terutang.

Obligasi SCTV II Tahun 2007 mempunyai penjamin emisi PT Mandiri Sekuritas, DBS Vickers Securities Indonesia, dan PT Batavia Prosperindo Sekuritas. Sedangkan PT Bank Niaga Tbk sebagai wali amanat.

Masa penawaran awal Obligasi SCTV II Tahun 2007 akan dilakukan pada 10-28 Mei 2007. Sedangkan pernyataan efektif akan dikeluarkan Bapepam pada 15 Juni 2007. Bursa Efek Surabaya (BES) akan menjadi tempat pencatatan obligasi tersebut pada 27 Juni 2007. Obligasi itu memperoleh peringkat single A, stable outlook dari Pefindo.

Menyinggung pencapaian laba bersih 2007, ucap Fofo, SCTV menargetkan kenaikan sebesar 20%-25% ketimbang 2006. Pada tahun itu SCTV memperoleh laba bersih sebesar Rp120,287 miliar. Dan, pendapatan bersih dipatok naik sebesar 30%-40% pada 2007 dari Rp1,193 miliar pada 2006. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8903&cid=2&x=televisi




Sumber Daya Nasional Harus Digunakan Dalam Siaran Iklan TV

Rabu, 2 Mei 2007 10:11 WIB - wartaekonomi.com
Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, menyatakan sumber daya dan lokasi Indonesia harus digunakan dalam siaran iklan di televisi (TV) mulai 1 Mei 2007. Langkah itu diharapkan dapat mengembangkan industri periklanan nasional. Kebijakan serupa juga ditempuh Pemerintah Malaysia.
Begitupula produksi iklan itu mesti dilakukan orang dalam negeri. Dan, standar produksi iklan harus sesuai domestik. Walaupun demikian iklan tertentu seperti kawasan wisata dapat menggunakan sumber daya asing seperti kawasan wisata di luar negeri. Dan, iklan yang dibintangi kental dengan produk tersebut seperti jam Rolex dan Tiger Woods.

Sofyan mengemukan iklan tidak sesuai ketentuan tersebut diberikan masa transisi selama enam bulan sampai satu bulan. Jika sampai waktu itu tidak memenuhi syaart, maka iklan tersebut tidak boleh disiarkan TV nasional. Langkah tersebut telah dibicarakan dengan asosiasi TV.

Kapitalisasi periklanan domestik telah mencapai Rp40 juta. Dari angka itu sebesar 15%-20% adalah biaya produksi iklan. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8858&cid=2&x=televisi



Sumber Pendanaan Grup Bakrie: Masih Mengandalkan Utang
Jum'at, 19 Januari 2007 13:36 WIB - wartaekonomi.com

Kembali bangkitnya Grup Bakrie sekarang ini masih tak lepas dari kelihaian mereka memanfaatkan utang untuk berekspansi, terutama dengan menjaminkan saham.
Bukan Bakrie namanya jika tak pandai bersiasat. Demikian penilaian umum pelaku dunia usaha, khususnya pelaku pasar modal di Tanah Air, terhadap Grup Bakrie. Dan, itu memang terbukti.

Akibat krisis moneter 1997, kelompok usaha yang dirintis Achmad Bakrie sejak 1945 ini harus rela kehilangan banyak aset berharganya, termasuk kepemilikan saham di PT Bakrie & Brothers Tbk. Di maskot Grup Bakrie itu, saham keluarga Bakrie tinggal 2,5% setelah restrukturisasi pada 2001.
Namun, sejak itulah Grup Bakrie, yang sekarang dikendalikan anak dan cucu Achmad Bakrie, mulai bangkit kembali. Bahkan, keluarga Bakrie telah mampu membeli kembali saham di PT Bakrie & Brothers Tbk. dan jumlahnya sudah di atas 30%. Selain perusahaan itu, sekarang makin berkibar pula perusahaan-perusahaan milik Grup Bakrie lainnya, seperti PT Bumi Resources Tbk., PT Energi Mega Persada Tbk., PT Bakrie Telecom Tbk., dan PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV).
Thomas Wibisono, direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), menilai kunci sukses Grup Bakrie dalam mempertahankan eksistensinya adalah mereka rela kehilangan kepemilikan mayoritas di perusahaannya pada saat dilakukan restrukturisasi. Sebab, pada akhirnya mereka akan bisa membeli kembali saham perusahaan itu. Apalagi perusahaan mereka telah menjadi perusahaan terbuka. “Jadi, tidak tertutup kemungkinan mereka bisa membeli lagi di bursa ketika harga rendah,” jelas Thomas.
Sementara itu, Dandossi Matram, pengamat pasar modal, lebih melihat kebangkitan Grup Bakrie mulai terlihat nyata ketika PT Bumi Modern Tbk. (yang kemudian bernama PT Bumi Resources Tbk.) melakukan rights issue (pelepasan saham baru untuk menambah modal perusahaan) pada 2000 dengan nilai fantastis Rp9,3 triliun. Ketika itu, langkah Bakrie ini banyak membuat masyarakat pasar modal di Tanah Air tercengang-cengang. Pasalnya, nilai rights issue itu jauh lebih besar dibanding aset yang dimiliki perusahaan. PT Bumi Modern Tbk. (BM) saat itu hanya memiliki aset berupa sebuah hotel yang berlokasi di negara Uzbekistan.
Selain itu, “rayuan” rights issue kepada 47,98% pemegang saham independen BM makin kontroversial karena 99,36% dana hasil rights issue direncanakan bakal digunakan untuk mengakuisisi 97,5% saham Gallo Oil Ltd., sebuah perusahaan minyak yang beroperasi di negara Yaman. Rencana itu diibaratkan katak hendak mencaplok lembu. Maka, banyak pelaku pasar modal ketika itu curiga aksi rights issue tersebut tak lebih merupakan langkah akuisisi internal Grup Bakrie dan mark-up nilai aset Gallo Oil Ltd. guna membayar utang Grup Bakrie ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang per 31 Desember 1999 tercatat masih sebesar Rp4,3 triliun. Tentu saja Grup Bakrie membantah semua dugaan itu.
Masih Menggunakan Pola Klasik
Bercermin dari kasus rights issue BM itulah kemudian Dandossi menilai Grup Bakrie sebenarnya memainkan jurus yang sama dalam membesarkan kembali kejayaan bisnisnya seperti sebelum krisis 1997, yaitu dengan berutang. Bagaimana detailnya? Dandossi menjelaskan saham-saham di perusahaan-perusahaan publik milik Grup Bakrie itulah yang kemudian menjadi jaminan utang mereka kepada kreditur.
Jadi, perusahaan-perusahaan publik itu melakukan emisi saham guna mendapatkan aset (yang sebetulnya juga diperoleh dari utang). Aset riil itu menghasilkan dana segar atau prospek. Berbasiskan aset dasar (underlying asset) tersebut, saham perusahaan publik itu lantas dijaminkan ke kreditur guna memperoleh dana ekspansi lebih jauh lagi dan penyelesaian utang-utang mereka. Skema semacam ini terus digulirkan sehingga nilai perusahaan-perusahaan publik itu terus meningkat dan bisnis Grup Bakrie pun makin ekspansif. Apalagi indeks harga saham sekarang sedang tinggi-tingginya sehingga Grup Bakrie pun bisa memperoleh pinjaman yang lebih besar lagi.
Mengapa kreditur bersedia meminjamkan dana kepada perusahaan publik milik Grup Bakrie itu? “Tentu saja karena aset dasarnya bernilai tinggi, seperti PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia, mereka pun bersedia,” ujar Dandossi. Dan, Grup Bakrie lebih banyak membidik kreditur asing karena bunganya lebih rendah dan dalam mata uang asing.
Penilaian yang sama juga datang dari Thomas Wibisono. “Mereka masih menggunakan pola-pola klasik dengan mencari pinjaman,” ungkap Thomas. Bedanya, jika sebelum krisis utang itu sebagian besar didapat langsung dari kreditur, maka setelah krisis utang itu sebagian besar didapat melalui rights issue. “Rights issue adalah sumber pendanaan terbesar mereka sekarang,” ujarnya.
Thomas mencontohkan PT Bakrie & Brothers Tbk. yang melalui rights issue pada tahun 2005 berhasil mengumpulkan dana Rp1,9 triliun. Sementara pinjamannya cuma sekitar Rp1,07 triliun, baik lewat bank maupun lewat lembaga keuangan lainnya. Thomas melihat semua anak perusahaan Grup Bakrie memang didorong mencari pendanaan melalui rights issue. Misalnya, PT Bakrie Telecom Tbk. yang baru saja melakukan penawaran perdana kepemilikan saham kepada publik.
Sumber Warta Ekonomi mengungkapkan, selain utang, kemampuan Grup Bakrie membangun berbagai proyek sebetulnya dibiayai juga oleh para pemasok dan kontraktornya. “Ini kredit juga sebenarnya, dan, hebatnya, merupakan dana segar yang tidak memakai bunga,” katanya. Ia mengkhawatirkan, jika Grup Bakrie terlalu agresif berutang, seperti terlihat di pasar utang sekarang, dan tak pandai-pandai menghitung kapasitas, apalagi ada kasus Lapindo, itu bisa membahayakan Grup Bakrie karena membuat mereka berpotensi kolaps lagi pada satu saat.
Menanggapi hal itu, Dandossi mengungkapkan sejak dulu Grup Bakrie sudah terkenal sebagai kelompok usaha yang sangat berani untuk urusan risiko. “Mereka memang high risk taker,” ujarnya. Yah, begitulah Bakrie.
FADJAR ADRIANTO DAN EVI RATNASARI
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8340&cid=24&x=televisi




PT Cakrawala Andalas Televisi: “Super Deal” yang Menyelamatkan ANTV
Jum'at, 19 Januari 2007 13:18 WIB - wartaekonomi.com

Sejak Rupert Murdoch membeli 20% saham ANTV, perubahan mencolok terlihat di televisi itu. Rating dan share-nya meningkat.
Selasa (7/11) siang itu wajah Anindya Bakrie berseri-seri. Di kantornya di Wisma Bakrie, Jl. Rasuna Said, Jakarta—tampak agak berantakan, spanduk Esia menggantung di belakang meja kerjanya—memakai kemeja batik berwarna cerah, dengan ringan dirut ANTV ini bertutur soal proses negosiasi masuknya Star TV ke stasiun TV-nya. Katanya, prosesnya cuma memakan waktu enam bulan. Lalu, tambahnya lagi, ia hanya membutuhkan waktu satu jam untuk meyakinkan para petinggi Star TV, termasuk Rupert Murdoch dan putra tertuanya, Lachlan Keith Murdoch, 35 tahun.
Keluarga Bakrie jelas gembira. Rupert Murdoch bersedia membeli 20% saham ANTV. Anin, sapaan Anindya, berharap masuknya taipan media itu bisa membalik nasib ANTV yang selama empat tahun belakangan nyaris bangkrut dan hampir bubar. Kala itu utang PT Cakrawala Andalas Televisi, perusahaan pemilik ANTV, mencapai Rp1,4 triliun. Rinciannya, utang obligasi dolar ke kreditur asing dan bank Rp1,2 triliun, dan sisanya utang ke mitra dagang. Padahal, tegas Anin, “Kami harus mempertahankan ANTV, apa pun yang terjadi.” Ia melihat ANTV sebagai stasiun TV swasta nasional yang memiliki heritage.
Sebelum mengundang Murdoch, Anin menyiapkan beberapa langkah. Pertama, Juli 2002, manajemen ANTV menawarkan proposal “perdamaian” kepada 300 kreditur dalam sidang di Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat. Setelah melalui proses negosiasi, hampir seluruh kreditur menyetujui konversi utang menjadi kepemilikan saham. Sementara itu, pelunasan utang dagang boleh dicicil selama lima tahun. Konsekuensinya, jatah saham PT Bakrie Investindo dan PT Capital Management Asia (CMA) Indonesia kian mengecil.
Merujuk akta Perubahan Anggaran Dasar PT Cakrawala Andalas Televisi yang dirilis pada 2004, saham Bakrie Investindo tinggal 20,8%. Padahal, sebelumnya mereka memiliki 60% saham. Adapun saham CMA, dari 40% menjadi tinggal 6,6%. Sisanya dimiliki oleh PT Satria Cita Perkasa (49,6%), PT Kencana Cita Kusuma (7,8%), dan PT Bune Era Mandiri (5,8%). Sementara Nirwan Dermawan Bakrie, paman Anin, memiliki 9,4% saham. Konversi itu membuat ANTV bebas dari jerat utang. Lega.
Meski tak lagi memiliki saham mayoritas, CMA tetap diminta mengelola ANTV. Dan, CMA sepakat untuk terus mengucurkan modal kerja guna menyelamatkan stasiun TV itu. Sejatinya, CMA adalah perusahaan fund management bentukan pemilik utang yang menyetujui konversi tersebut. Di CMA, Anin menjabat sebagai direktur utama.
Lalu, klimaksnya pada 30 September 2005, ketika Anin mengumumkan pembelian 20% saham ANTV oleh Star TV. Angka 20% ini batas maksimal kepemilikan asing yang ditetapkan oleh UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. Momen ini juga menandai kali pertama investor asing masuk ke ranah pertelevisian nasional. “Ini merupakan investasi bersama,” kata Anin, ketika itu. Pria kelahiran 10 November 1974 ini mengungkapkan saham yang dibeli Murdoch adalah saham baru. Dana segar dari Murdoch langsung masuk ke cash flow perusahaan, bukan ke kantong pemegang saham.
Metamorfosis 1-2-3
Meski hanya menguasai 20% saham, pengaruh Star TV sangat besar. Ini tercermin dari logo ANTV yang berubah sampai ketiga kalinya. Kali ini, di sana terpampang logo bintang—ikon Star TV—di sisi kiri tulisan ANTV. “Pertimbangan kami menyertakan logo Star TV sangat pragmatis. Itu cukup menjual,” ucap pria yang sempat bekerja sebagai analis keuangan dan investment banking di Salomon Brothers (kini Salomon Smith Barney) ini.
Secara kasat mata, selain berganti logo, penampilan dan content program juga berubah. “Star TV tak hanya menyuntikkan modal buat ANTV, tetapi juga tenaga ahlinya,” papar Anin. Reputasi Murdoch di jagat pertelevisian global membuat lulusan Northwest¬ern University, Illinois, AS, ini berharap terjadi alih pengetahuan dan teknologi, sehingga kelak stasiun TV-nya bisa berkelas internasional.
Dari sisi berita, Murdoch diakui dunia lewat Fox News Channel—yang bahkan mampu mengalahkan dominasi CNN milik Ted Turner. Untuk meningkatkan kualitas pemberitaan ANTV, mereka menggaet Karni Ilyas, mantan orang nomor satu di Liputan 6 SCTV, menjadi direktur pemberitaan. Melengkapi divisi pemberitaannya, Karni memboyong presenter terkenal seperti Valerina Daniel dari Metro TV, serta Grace Natalie dan Indy Rahmawati dari SCTV. “Mutu beritanya membaik. Kini Topik menjadi lebih tajam dan independen dari sebelumnya,” puji Andreas Harsono, ketua Yayasan Pantau. Hanya saja Andreas mengeluh, berita mengenai Lapindo jarang muncul di stasiun TV ini.
Untuk entertainment, ANTV banyak mengadopsi program dari Star TV. Maka, lahirlah kuis berhadiah miliaran, seperti Super Rejeki 1 Milyar, Super Deal 2 Milyar, dan Super Milyarder 3 Milyar. Sejak ditayangkan perdana 30 April lalu, kuis Super Deal 2 Milyar mendongkrak rating dan share ANTV. Menurut data ACNielsen, kuis ini sempat mengoleksi rating 3,9 dan share penonton dari sembilan kota sempat mencapai 11,2% untuk periode Mei 2006. “Rating dan share sebesar itu membuat program ini berada di tempat teratas di antara program-program kami lainnya,” tutur Wahju Hardjanti, sang produser.
Sebelum bermetamorfosis, kebanyakan program ANTV hanya menem¬pati rating 1-2. Sementara itu, share yang didapat kali ini enam kali lipat ketimbang tahun 2002. Namun, untuk urusan penerima spot iklan terbanyak, menurut Nielsen Media Research yang dirilis awal Desember lalu, ANTV masih berada di urutan dua dari bawah, tepat di atas TVRI. “Kami ingin menjadi stasiun TV yang tak jauh dari peringkat 1, 2, atau 3. Kalau tidak, untuk apa harus capek-capek?” begitu target Anin.
Politis Berbalut Bisnis
Menurut Andreas Harsono, alasan sederhana seseorang mendirikan stasiun TV adalah menangguk untung, meski dalam visi-misi perusahaan selalu dibungkus idealisme tertentu. Nielsen Media Research mengungkapkan, televisi mengeruk Rp14,96 triliun, atau 68% dari total belanja iklan yang mencapai Rp22 triliun, pada tahun 2006. Sisanya dilahap surat kabar dan majalah, masing-masing 27% dan 5%.
Masuknya Murdoch ke ANTV sempat mengejutkan sejumlah pihak. Pasalnya, sebelum melabuhkan hati ke stasiun televisi yang mengudara pertama kali pada 28 Januari 1993 dengan nama ANTEVE ini, Murdoch sempat mendekati Trans TV dan TV7. Namun, kata sepakat tak pernah terlontar.
Menurut Ignatius Haryanto, pendiri Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), alasan Murdoch lebih memilih ANTV karena faktor kekuasaan dan politis. Kalau melihat jejak baron media asal Australia itu, dia memang selalu mendekati sumber kekuasaan. The New York Times pernah menulis aksi pria kelahiran 11 Maret 1931 ini selalu konsisten menggunakan hak publikasi untuk menyokong agenda politis tertentu.
“Dengan pribadi yang terbuka dan mudah bergaul, Murdoch memang bisa dekat dengan siapa pun, termasuk dengan sumber kekuasaan,” ungkap Andreas Harsono, yang pernah bertemu Murdoch. Ia menyebut Murdoch dekat dengan politisi Australia, Inggris, dan AS. Setelah mendapat kewarganegaraan AS, ia menjadi aktivis Partai Republik dan akrab dengan Ronald Reagan hingga George W. Bush. Namun, Financial Times edisi 9 Mei 2006 memberitakan Murdoch justru menggelar acara pengumpulan dana kampanye Hillary Clinton, senator dari Partai Demokrat. Padahal, selama tahun 2000 silam, New York Post, salah satu penerbitan milik Murdoch, selalu mengkritisi kebijakan Bill Clinton, semasa ia menjadi presiden.
Disinyalir, Murdoch lebih memilih ANTV ketimbang Trans TV karena faktor Aburizal “Ical” Bakrie. Ical, yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, juga merupakan anggota Dewan Penasihat Partai Golkar—partai pemenang Pemilu 2004. Posisi Ical ini mempunyai nilai tambah di mata Murdoch. “Bisnis Murdoch selalu masuk lewat jalur politis,” kata Andreas.
Jumlah penonton TV di Indonesia yang sekitar 200 juta orang—tertinggi ketiga di Asia, seperti ditulis Media Index Wave 2005—tentu menggiurkan pemodal. Murdoch, selain memiliki jaringan Star TV, merek dagang untuk kawasan Asia, dia menguasai sedikitnya 300 saluran TV, plus puluhan perusahaan film dan jaringan bioskop yang melayani tiga perempat penduduk bumi.
Menurut Ignatius Haryanto, dengan menguasai media, selain bisa menangguk keuntungan, pemilik modal bisa mempertahankan dominasinya baik dalam hal ekonomi, kekuasaan, maupun politis. Soal ini, Anin menjawab, “Masuk ke bisnis TV itu ada kepuasan tersendiri. Selain kami langsung bisa melayani masyarakat, dari sisi bisnis memang sangat menguntungkan,” ungkap dia. Deal!
ARI WINDYANINGRUM, EVI RATNASARI, DAN HOUTMAND P. SARAGIH

Raja-Raja TV: Raja TV ... Raja Akuisisi
Selasa, 19 Desember 2006 10:35 WIB - wartaekonomi.com

Bisnis TV milik Hary Tanoe, Chairul Tanjung, dan Anindya Bakrie besar berkat akuisisi. Mereka menguasai Rp10,5 triliun belanja iklan dan memikat 70,3% pemirsa TV. Bisnis ini tak sekadar menjanjikan keuntungan ekonomi, tetapi juga pengaruh politik.
Chairul Tanjung bukan ahli nujum. Namun, ia berani meramalkan, “Hanya ada tiga orang yang akan menjadi penguasa industri TV nasional.” Kini, ramalan pemilik Trans TV itu mulai mendekati kenyataan. Memang saat ini masih ada 10 stasiun TV swasta. Namun, para penguasa bisnis media TV tak lebih dari tiga pemain.
Bergabungnya TV7 dan Trans TV, ANTV dan Lativi, menyusul RCTI, TPI, dan Global, mengakibatkan peta industri TV berubah total. Simak catatan AGB Nielsen Media Research, lembaga pemeringkat acara TV. Hingga kuartal ke-3 tahun 2006, pendapatan iklan hanya dikuasai oleh Hary Tanoesoedibjo, Chairul Tanjung, dan Anindya N. Bakrie. Ketiganya menguasai Rp10,5 triliun belanja iklan, atau 71,8% dari total yang Rp14,7 triliun.
Porsi terbesar diraup Grup Media Nusantara Citra (MNC). Perusahaan milik Hary Tanoe ini, melalui tiga stasiun TV-nya (RCTI, TPI, dan Global), sukses meraup Rp4,8 triliun atau 32,9% dari total belanja iklan TV. Urutan ke-2 diduduki stasiun TV milik Chairul Tanjung, Trans TV dan TV7, dengan Rp3,4 triliun (23,2%). Anindya N. Bakrie, melalui ANTV dan Lativi, berhasil memperoleh pendapatan Rp2,3 triliun (15,7%), berada pada peringkat ke-3.
Sementara itu, dari penguasaan pasar (audience share) ketiganya sukses menjaring 70,3% pemirsa. Rinciannya, Hary Tanoe di posisi pertama dengan audience share 35,7%. Berikutnya, Chairul Tanjung dan Anindya Bakrie dengan masing-masing 21,1% dan 13,5%.
Akuisisi
Saat ini ada tiga stasiun TV yang belum diakuisisi, yaitu SCTV, Indosiar, dan Metro TV. Akankah mereka hanya tinggal menunggu waktu untuk diakuisisi? “Sebab, kalau hanya mengandalkan modal kuat, tetapi terus merugi, tak akan mampu bertahan di industri ini,” kata pengamat media Arswendo Atmowiloto.
Itulah yang dialami TV7. Dana US$20 juta (sekitar Rp200 miliar) yang digelontorkan Kelompok Kompas Gramedia sebagai modal awal hanya mampu menopang selama lima tahun. Demikian juga Lativi milik bos Pasaraya, Abdul Latief, kini tergerus rugi dan di ambang kebangkrutan. Sejak tahun 2003 Latief tak lagi mampu membayar utang ke Bank Mandiri yang besarnya Rp450 miliar, sebelum Capital Managers Asia (CMA), perusahaan investasi milik Grup Bakrie yang juga pemenang 80% saham ANTV, menalangi utang tersebut. CMA menyetor lebih dari Rp200 miliar kepada Bank Mandiri.
Sebenarnya, ANTV juga sempat mengalami masalah serupa. Tahun 2002 perusahaan ini hampir bangkrut. Hanya, ANTV berhasil merestrukturisasi 80% utangnya menjadi penyertaan modal. “Kini, utang kami nol,” kata Anindya. Namun, yang membuat ANTV “kuat” adalah masuknya Star TV Hong Kong milik taipan media Rupert Murdoch, yang membeli 20% saham ANTV, sebagai investor. Sekadar informasi, News Corp., perusahaan milik Murdoch, tahun lalu total pendapatannya mencapai US$24 miliar.

Merger dan akuisisi tampaknya menjadi jawaban yang pas bagi stasiun TV yang terus merugi. “Sekarang semuanya harus efisien. Biaya produksi dan membangun infrastruktur makin mahal. Merger jadi jalan paling aman bagi media yang terus rugi,” analisis Amelia Hezkasari Day, pengamat media dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Intinya, jika biaya dapat dihemat, pendapatan akan meningkat.
Selain itu, merger juga membuat pangsa pasar stasiun TV kian luas. Menurut David Fernando Audy, head of investor relations MNC, kini pengiklan makin selektif. Dalam memasang iklan, selain rating, mereka juga melihat segmentasi stasiun TV yang bersangkutan. “Kalau hanya punya satu, kami tak akan mampu memenuhi semua selera konsumen,” tutur David, yang menganggap merger adalah cara paling masuk akal untuk menjangkau semua pengiklan.
Tak Sekadar Bisnis
Bisnis TV memang menggiurkan. Belanja iklan, seperti kata Ignatius Haryanto, pendiri dan wakil direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), memang sangat menjanjikan, mencapai Rp17 triliun dan tumbuh 30% per tahun. Dari jumlah tersebut, industri pertelevisian meraup hampir 70%-nya. Sisanya yang 30% dibagi ke media lain.
Selain motif ekonomi, bisnis TV juga memberikan keuntungan politis. “Mereka butuh televisi untuk mengontrol pemberitaan,” tegas Haryanto. Soal ini, Ishadi S.K., presdir Trans TV, tak membantah. “Tak ada bisnis lain yang memiliki kekuatan seperti media TV, yang mempunyai pengaruh ekonomi sekaligus politik,” kata mantan dirut TVRI itu.
Diakui atau tidak, media TV ibarat pisau bermata ganda. Ia bisa dimanfaatkan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat, tetapi juga bisa digunakan untuk memoles atau merusak citra seseorang. Media TV sangat efektif untuk mempengaruhi opini masyarakat. Tak heran, Arswendo berani bertamsil, “Siapa yang menguasai industri televisi, ia akan menguasai negeri ini.”
Ini Dia para Raja TV!
Anindya N. Bakrie
Anindya adalah anak sulung Aburizal Bakrie, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Tahun 2002, dalam usia 27 tahun, Anin ditunjuk menjadi presdir ANTV, yang saat itu tengah dililit kredit macet. Lulusan MBA dari Stanford Graduate School of Business, AS, ini membuktikan kepiawaiannya ketika berhasil merestrukturisasi 80% utang ANTV menjadi penyertaan saham. Tahun 2005 Anin melakukan gebrakan dengan menggandeng Star TV Hong Kong, milik Rupert Murdoch. Selain di ANTV, Anin juga menjadi CEO di Capital Managers Asia (Singapura) dan Bakrie Telecom.
Chairul Tanjung
Riza Primadi, eksekutif Astro TV, menyebut Chairul Tanjung sebagai pebisnis sejati. Pria kelahiran Jakarta, 18 Juni 1962 ini telah terjun ke bisnis sejak masih kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia. Gemerlap bisnisnya mulai terlihat setelah mengambil alih Bank Mega pada 1996. Chairul terjun ke bisnis TV pada 2001. Bersama Ishadi S.K., Alex Kumara, dan Riza Primadi, Chairul mendirikan Trans TV. Hanya dalam tempo setahun, menurut survei Nielsen Media Research, Trans TV telah menempati peringkat ke-5 peraih iklan terbanyak dari 10 stasiun TV yang ada. Setelah berhasil mengambil TV7, santer diberitakan Chairul sedang mengincar Indosiar.
Hary Tanoesoedibjo
Hary Iswanto Tanoesoedibjo, akrab dipanggil Hary Tanoe, awalnya seorang fund manager. Pria asal Surabaya ini masuk ke industri TV setelah membeli saham Bimantara, perusahaan induk RCTI, pada 2002. Menurut Temi Efendi, wakil dirut PT Infokom Elektrindo, salah satu anak perusahaan Bimantara, visi bosnya adalah menjadi perusahaan media terintegrasi. Tak heran jika di tangan pria 41 tahun ini Bimantara makin mengarah ke bisnis media. Selain mengakuisisi TPI dan Global TV, Hary juga merambah radio dan media cetak.
Di Balik Kunjungan Om Liem
Trans TV dikabarkan akan membeli Indosiar. Siapa berminat dengan SCTV dan Metro?
Suatu hari di bulan Agustus 2006, stasiun TV Indosiar yang berlokasi di Jl. Daan Mogot, Jakarta Barat, kedatangan tamu istimewa: Liem Sioe Liong. Angin apa yang mengantarkan Om Liem ke sana? Kasak-kusuk yang beredar, ini terkait dengan rencana penjualan Indosiar ke Trans TV.
Benarkah? “Itu tak benar,” bantah Andreas Ambesa, corporate secretary PT Indosiar Karya Medika, induk perusahaan Indosiar. Meski demikian, Andreas membenarkan jika Om Liem memang datang ke Indosiar tiga bulan yang lalu. “Tapi, itu hanya kunjungan biasa,” kata Andreas.
Om Liem menguasai 28% saham Indosiar. Tahun lalu, stasiun TV swasta ini merugi Rp183 miliar. Anindya Bakrie menyebut kondisi Indosiar saat ini tak berbeda dengan ANTV ketika hampir bangkrut akibat dililit kredit macet.
Andreas sendiri tak mengelak jika ada investor yang mau masuk. “Jika Trans TV mau, kami welcome saja,” katanya seraya melanjutkan, “sekarang kan musimnya gabung.” Amelia Hezkasari Day dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ikut menguatkan Andreas. Menurut Amelia, kepada KPI manajemen Indosiar mengatakan akan melakukan kerja sama produksi. “Dengan siapa, mereka tak mau bilang,” kata Amelia.
Kalau semua mata tertuju kepada Chairul Tanjung, bukan sesuatu yang mengejutkan. Chairul memang dekat dengan keluarga Salim. “Hubungan saya dengan Anthony Salim sangat baik,” ungkap Chairul. Paparnya, pertemanannya dengan keluarga Om Liem dimulai ketika ia menalangi BCA saat mengalami rush pada 1998. Setelah itu, merebak kabar keluarga Salim ikut memiliki saham di Grup Para, induk Trans TV. Dirut Trans TV, Ishadi S.K., membantah kabar itu. Namun, ketika isu pembelian TV7 meruyak, baik Chairul maupun Ishadi juga berkali-kali membantah.
Jika benar Indosiar jadi dibeli Trans TV, bagaimana dengan SCTV dan Metro TV? Wakil direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Ignatius Haryanto, menilai SCTV dan Metro TV masih akan berdiri sendiri. “Meski Metro berdarah-darah, ego Surya Paloh masih dominan,” kata Haryanto. Sementara itu, kondisi keuangan dan infrastruktur SCTV masih tergolong baik. Meski begitu, ramal Haryanto, ke depan, industri TV hanya akan dikuasai tiga orang saja: Hary Tanoe, Chairul Tanjung, dan Anindya Bakrie. Nah, “Raja” mana yang akan mengambil Indosiar, SCTV, atau Metro TV? Kita tunggu.
PRAYOGO P. HARTO, EVI RATNASARI, HOUTMAND P. SARAGIH, DAN MUDJIONO
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8181&cid=24&x=televisi

Wishnutama Kusubandio, Dirut Baru TV7
Selasa, 19 September 2006 11:17 WIB - wartaekonomi.com

Jumat (4/8) lalu PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh (TV7) mengumumkan pengangkatan Wishnutama Kusubandio sebagai dirut barunya. Dia menggantikan Lany Ratulangi. Sebelumnya, Wishnutama adalah wakil dirut dan direktur operasional PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV). Pergantian tersebut terkait dengan pengambilalihan 49% saham TV7 oleh Trans Corp., sebagai induk Trans TV. Sisa saham TV7 yang 51% masih dimiliki oleh Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Trans Corp. juga menempatkan Ati Nurwahyuni sebagai wakil dirut TV7. Sebelumnya Ati adalah direktur sales & marketing Trans TV. (PPH)
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=7755&cid=18&x=televisi

Hanya Ada Tiga Penguasa Bisnis TV
Jum'at, 8 September 2006 14:05 WIB - wartaekonomi.com

Chairul Tanjung, Chairman Trans Corp.
Jumat (4/8) pekan lalu, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) dan Trans TV, anak usaha Grup Para, menandatangani nota kesepakatan strategic partnership. Penandatanganan dilakukan oleh chairman Trans Corp., Chairul Tanjung, dan presdir KKG, Jakob Oetama. Dengan kesepakatan ini, Trans Corp. memiliki 49% saham di TV7. Usai penandatanganan itu, Chairul Tanjung yang kelahiran 16 Juni 1962 ini membeberkan rencana-rencananya kepada Prayogo P. Harto dari Warta Ekonomi. Petikannya:
Apakah kerja sama ini karena Anda khawatir dengan serbuan TV asing?
Kini semua sektor bisnis dimasuki asing. Kecuali Bank Mega, perbankan kita hampir semuanya dimiliki asing. Kalau tak mau industri ini dikuasai asing, kita harus bekerja sama. Kami bekerja sama karena kebetulan visi-misi saya sama dengan Pak Jakob. Bagi kami, berbisnis bukan semata-mata cari keuntungan. Di bisnis media, kami memiliki idealisme menjaga kesatuan bangsa, membuat masyarakat jadi lebih pintar, dan menyejahterakan karyawan.
Soal kemungkinan tumpang-tindih segmentasi?
Itu tak akan terjadi. Segmentasi Trans TV tetap, yaitu informasi, edukasi, dan hiburan keluarga. Sedangkan TV7 ke TV olahraga dan hiburan untuk pria. Jadi, tak ada tumpang-tindih. Justru ini membuat pangsa pasar kami makin besar. Nanti acara-acara di Trans TV bisa saja diputar di TV7, dan sebaliknya.
Prediksi Anda mengenai peta industri televisi Indonesia?
Jumlah stasiun tak akan berkurang, tetapi kepemilikannya tak akan lebih dari tiga kelompok.
Sebelum krisis, nama Grup Para kurang dikenal. Kini, Anda termasuk pebisnis papan atas. Bagaimana ceritanya?
Orang Cina punya pandangan bagus: di balik setiap krisis pasti ada peluang. Sebelum krisis, siapa yang kenal kami? Kalau tak ada krisis, mustahil saya mencapai posisi sekarang. Terlalu banyak jenjang yang harus saya lewati. Namun, krisis membuat semuanya berubah. Para pemilik bank panik dan pergi ke luar negeri. Nasabah yang tahu jadi takut, lalu menarik uangnya dan menyimpannya di Bank Mega karena pemiliknya tak ke mana-mana. Jadi, saat bank-bank lain kesulitan dana, kami malah kelebihan. Saat krisis, siapa yang memiliki uang adalah yang berkuasa.
Anda sukses karena Grup Salim?
Ketika krisis, tak ada bank yang mau berbisnis dengan Keluarga Salim. Saya lalu membantu mereka. Kalau kini mereka percaya kepada saya, itu karena saya membantu tanpa pamrih. Cuma, bukan hanya kepada Salim. Siapa saja, kalau saya bisa bantu, akan saya bantu. Dalam bisnis, kita harus baik dengan semua orang.
Apa rencana Anda ke depan?
Saya akan mengembangkan tiga bidang. Pertama, PT Trans Corp. yang menjadi induk seluruh bisnis media, gaya hidup, dan hiburan. Kedua, PT Para Global Investindo—namanya akan saya ubah jadi PT Mega Global Finance—berkonsentrasi di jasa keuangan. Ketiga, di infrastruktur, energi, dan pertambangan.
Mana yang paling besar?
Saat ini masih jasa keuangan. Asetnya sekitar Rp30 triliun. Namun, lima tahun ke depan, semuanya akan seimbang.
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=7711&cid=22&x=televisi

Grup Para : Tambah Melejit berkat “Energi” Baru
Rabu, 12 Juli 2006 11:48 WIB - wartaekonomi.com

Dibangun dengan modal Rp150 juta, kini Grup Para tumbuh jadi konglomerasi beraset lebih dari Rp30 triliun. Ke depan, bisnis energi menjadi target ekspansinya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 24.00, tetapi Chairul Tanjung baru akan beranjak dari meja kerjanya yang tampak bersih dari tumpukan kertas. Bekerja selama 14 jam sehari, pemilik Grup Para ini selalu meninggalkan ruang kerjanya dalam keadaan bersih. Begitulah kebiasaan pria 44 tahun ini. Bagi dia, tingginya produktivitas hanya bisa diraih dari kantor yang selalu rapi dan teratur. Dan, dengan cara itulah ia mengelola dan mengembangkan bisnisnya selama hampir 20 tahun terakhir. Di tangannya, bisnis yang bermula dari sebuah pabrik sepatu pada 1987 ini tumbuh menjadi konglomerasi beraset lebih dari Rp30 triliun dengan empat bidang usaha: jasa keuangan, properti, media, dan energi.
Semua itu langsung menempatkan pria bertinggi 180 cm ini sebagai bintang baru di kalangan pebisnis papan atas di Tanah Air. Sebagai seorang bintang, pria berbintang Gemini ini pun tak luput menjadi objek “rumor”. Salah satunya seputar rencana pengambilalihan 40% saham Bank Mega oleh Anthony Salim. Jika kabar itu benar, Chairul tak cuma harus rela berbagi kepemilikan dengan Anthony, tetapi juga membuka pintu lebar-lebar bagi kembalinya konglomerasi Salim dalam bisnis perbankan. Sebab, sebelumnya, Salim adalah pemilik mayoritas dari PT Bank BCA Tbk., yang kini kepemilikannya menyusut hingga tinggal 1,77%. Namun, kabar terse¬but dibantah oleh Chairul Tanjung. “Jangankan 1%, satu lembar pun tidak ada,” cetusnya.
Bukan di perbankan, kongsi Anthony-Chairul rupanya terjadi di bisnis properti. Keduanya beraliansi membeli sebuah perusahaan medis di Singapura dan mengembangkan proyek properti di Batam seluas 300 hektar dengan kepemilikan 50%:50%. Di luar urusan dengan Grup Salim, Chairul kembali disorot saat Grup Para mengumumkan niatnya untuk memasuki bisnis energi—sebuah bidang usaha yang sama sekali baru. Menurut Chairul, dia memasuki bisnis tersebut karena masa depannya sangat cerah dan kebutuhan konsumen akan energi kian meningkat.
Dari Sepatu ke Energi
Energi adalah ladang baru bagi kelompok usaha yang memulai bisnisnya dari industri sepatu ini, setelah selama ini menekuni bisnis jasa keuangan, media, dan properti. Lewat payung besar PT Para Global Investindo, Chairul membesarkan bisnis jasa keuangannya. Ia menjadi pemilik saham mayoritas di empat perusahaan, yaitu PT Mega Capital Indonesia, PT Bank Mega Tbk., PT Bank Tugu (dikonversi menjadi bank syariah), dan Para Multifinance.
Bank Mega belakangan mencatat kinerja yang memuaskan. Lihat saja kinerjanya per 31 Maret 2005. Nilai total aktivanya meningkat 50%, dari Rp13 triliun menjadi Rp19,5 triliun. Di sisi lain, nonperforming loan-nya (NPL) hanya 1,98% (gross), atau 1,42% (net). Ini jauh di bawah ketentuan maksimal NPL dari Bank Indonesia (BI) yang 5%. Dengan reputasi demikian, jelas bank yang saat diambil alih Grup Para pada 1996 cuma bernilai Rp120 miliar itu menjadi terlihat sangat cemerlang. Apalagi aset Bank Mega, menurut Chairul, telah mencapai Rp21 triliun dan bakal membengkak menjadi Rp50 triliun pada 2008. Voila, siapa tak mau “gadis” semolek ini?
Selain bisnis keuangan, lewat PT Para Inti Investindo, kelompok usaha ini mengembangkan bisnis pertelevisian. PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV), yang mengantongi izin siaran nasional pada 15 Desember 2001, kini mampu menyodok pendahulunya dalam hal perolehan jumlah penonton maupun pengiklan. Menurut data ACNielsen, tayangan reality show semacam Dunia Lain milik Trans TV sanggup meraih rating 7,6 pada Juni-Juli 2004.
Sementara itu, bisnis propertinya pun tak kalah menggeliat. Saat ini, di bawah payung besar PT Para Inti Propertindo, kelompok usaha ini memiliki beberapa proyek properti, seperti Bandung Supermal dan proyek di Batam. Bahkan, Batam agaknya akan menjadi fokus utama pengembangan bisnis properti Grup Para ke depan. Menurut pengamat properti Panangian Simanungkalit, peran mitra kongsinya, Grup Salim, menjadi bagian penting dalam kerja sama pengembangan kota mandiri di Batam seluas 300 hektar itu. “Dalam lima tahun ke depan, prospeknya akan sangat bagus,” katanya. Hanya, Panangian mengingatkan pentingnya regulasi yang mengatur kepemilikan asing terhadap properti di Indonesia.
Berbagi dengan para Profesional
Pertumbuhan bisnis Grup Para tak lepas dari kejelian Chairul dalam memilih para profesionalnya. Memang, saat memulai usaha, ayah dua anak berumur 10 dan 3,5 tahun ini lebih banyak berjuang seorang diri. Itu sekitar 25 tahun lalu, saat ia masih kuliah dan menjadi “pebisnis” dengan berjualan buku kuliah stensilan hingga kaus. Bisnis Chairul lalu meningkat dengan membuka toko peralatan kedokteran dan laboratorium di kawasan Senen Raya, Jakarta Pusat, pada 1983—1985, meski akhirnya bangkrut.
Chairul kemudian membuka berbagai usaha, seperti kontraktor, baja, hingga rotan. Bisnis pemegang gelar MBA dari IPPM ini memasuki babak baru ketika ia membangun PT Pariarti Sinduthama pada 1987 dengan modal Rp150 juta, bersama tiga orang rekannya. Inilah cikal bakal bisnis Grup Para. Sejak itu pula Chairul mulai berbagi kepercayaan dengan para profesional yang andal dalam membesarkan usahanya.
Sebut, misalnya, di Trans TV. Ia menggaet tiga profesional sekaligus, yakni Ishadi S.K., Alex Kumara, dan Riza Primadi, untuk ikut membidani dan mengembangkan bisnis televisinya. Ishadi dikenal piawai menggarap tayangan TV untuk jenis hiburan bagi kelas menengah-atas dan ahli menempatkan program bagus. Sementara Alex Kumara sangat jempolan dalam hal teknik penyiaran. Adapun Riza Primadi, yang ikut membidani kelahiran Liputan 6 SCTV, dianggap jagoan dalam membuat tayangan berita yang bersifat investigatif dan eksklusif.
Hasilnya? Jelas kinerja positif buat stasiun TV yang kemunculannya hanya dipandang sebelah mata ini. Tayangan hiburannya, seperti Extravaganza, sanggup menyita perhatian pemirsa lewat tokoh Aming-nya. Lantas, tayangan komedi situasi, seperti Bajaj Bajuri, menjadi tayangan komedi favorit bagi semua kalangan pemirsa TV dari berbagai segmen dan usia. Lalu, tayangan Dunia Lain-nya diganjar penghargaan Asian Television Award untuk kategori Best Reality Programme.
Sementara itu, di bisnis jasa keuangan, Chairul—yang pernah menggadaikan mobilnya untuk membayar gaji pegawainya—berbagi kepercayaan dengan kolega lamanya, seperti Yungky Setiawan. Ambisinya untuk membangun kelompok usaha pengelola jasa keuangan yang lengkap mendorongnya merekrut profesional andal di bidangnya. Salah satunya adalah Yungky Setiawan, yang kini menjabat dirut PT Bank Mega Tbk. Kemudian Chairul juga merekrut Kostaman Thayib, kini direktur, untuk mengembangkan Bank Mega sebagai retail banking.
Yungky bukanlah orang baru dalam bisnis perbankan. Sebelum bergabung dengan Bank Mega pada awal 1998, pria kelahiran Jakarta 43 tahun lalu ini pernah menjadi bankir di Bank Danamon. Bahkan, ia termasuk orang yang membidani kelahiran produk tabungan Primadana dan Prima Dollar. Bagi Yungky, kesediaannya bergabung dengan Bank Mega adalah buah pertemanannya dengan Chairul yang terjalin sejak 1980-an.
Kini, berkat kerja keras Yungky—yang menjadi dirut sejak Februari 2004—dan koleganya, kinerja bank ini terus meningkat. Aset bank yang tadinya cuma Rp400 miliar, pada 2005 sudah Rp25,109 triliun. “Saya diserahi tanggung jawab memimpin perusa¬haan yang mulai berkembang,” kata Yungky. Pria berbintang Capricornus ini mematok target peningkatan aset Rp10 triliun per tahun. Jadi, kloplah. Chairul, sang pemilik, menemukan profesional yang sejalan dengan cita-citanya menjadikan Bank Mega sebagai bank terlengkap di Indonesia. Para profesional, bagi Chairul, adalah bagian dari kunci suksesnya.
GENUK CHRISTIASTUTI
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=7410&cid=24&x=televisi

SCTV Tidak Monopoli Siaran World Cup 2006
Selasa, 27 Juni 2006 15:37 WIB - wartaekonomi.com

Siaran World Cup 2006 yang hanya dilakukan Surya Citra Televisi (SCTV) dinilai bukan tindakan monopoli. Sebab, RCTI pernah melakukan hal serupa dalam World Cup 2002. “Bukan monopoli, tapi RCTI memberikan kita contoh kepada kita, ketika menyiarkan Piala Dunia 2002. Padahal, pada Piala Dunia 1998 seluruh stasiun TV menayangkan siaran itu, “ kata Stephanus Halim, vice president marketing Surya Citra Televisi (SCTV) dan project officer World Cup 2006 kepada Houtmand Parulian Saragih dari WartaEkonomi beberapa waktu lalu.
Apakah penyiaran World Cup 2006 hanya oleh SCTV dianggap monopoli?
Bukan monopoli, tapi RCTI memberikan kita contoh kepada kita, ketika menyiarkan Piala Dunia 2002. Padahal, pada Piala Dunia 1998 seluruh stasiun TV menayangkan siaran Piala Dunia.

SCTV waktu itu mendapatkan 10 partai pertandingan. Sementara stasiun TV yang lain, ada yang dapat 10 ada juga yang dapat 9 partai. Seharusnya tetap seperti itu, karena semua stasiun TV di indonesia adalah anggota ABU (Asian Broadcasting Union).

Dulu kita masih meminta ABU untuk bernegosiasi dengan pihak FIFA atau UEFA. Karena, ABU mewakili duapuluh tujuh negara di Asia. Melalui ABU, harganya bisa di tekan, bisa dibayangkan yang dibayarkan RCTI pada tahun 2002 sebesar US$4,5juta. Padahal tahun 1998, yang dibayarkan ABU untuk indonesia cuma US$500ribu. Penigkatan yang hampir 900%, itu gara-gara RCTI menggunakan hak eksklusif. Ketahuan FIFA, RCTI mampu membayar US$4,5juta, Piala Dunia 2006 mereka naikan lagi.

Apa latarbelakang SCTV berani membayar mahal hak siar World Cup 2006?
Karena, ini adalah olah raga spektakuler dunia, yang digemari rakyat Indonesia. Semua mata akan memandang kesana, sejarah Piala Dunia pada 2002 lebih dari 50% penonton akan menonton di stasiun itu.

Bagaimana proses SCTV bisa mendapat hak siar eksklusif siaran World Cup 2006?
Flashback ke tahun 2003, FIFA saat itu membuka tender bagi stasiun-stasiun TV di dunia untuk menyiarkan siaran Piala Dunia 2006. SCTV adalah salahsatu yang mengikuti tender tersebut.

RCTI sebagai pemegang hak siar Piala Dunia 2002 juga ikut. Dalam proses tersebut kita kebetulan menang dari RCTI sebagai pemegang hak siar sebelumnya. Lalu kita membuat perjanjian yang kita publikasikan bersamaan dengan press conference pada 17 Desember 2003.

FIFA menyetujui kita sebagai pemenang hak siar piala dunia 2006. Setelah resmi memegang hak siar tersebut, tahun 2004 kita mulai mengumpulkan program-program lain selain dari World Cup. Karena, siaran World Cup 2006 hanya 64 pertandingan yang mahalnya luar biasa.

Kemudian SCTV menghitung ulang, kalau hanya 64 pertandingan sepertinya kita tidak akan mampu mendapatkan uang untuk membayar hak siar tadi. Kemudian SCTV mencari program-program lain yang masih berhubungan dengan World Cup yang murah.

Jadi, kita tawarkan ke sponsor itu satu paket siaran World Cup yang menarik. Kemudian, kita membeli 150 dari 300 pertandingan penyisihan Piala Dunia yang kebanyakan kualifikasi zona Amerika Latin dan Eropa.

Apakah SCTV membeli hak siar World Cup 2006 dari FIFA secara langsung?
FIFA tidak secara langsung menjual hak siar tersebut. FIFA menunjuk salahsatu distributor untuk penjualan siaran World Cup ke seluruh dunia. Distributor yang ditunjuk FIFA tersebut adalah Infront Sports & Media WM GMBH. Perusahaan ini berada di Jerman.

Bagaimana bentuk hak siar World Cup 2006 yang diperoleh SCTV?
Hak eksklusif yang diperoleh SCTV yang sesuai dengan kontrak. Pertama, SCTV mendapat rights (hak siar) untuk TV teristerial (TV tak berbayar). Kedua, kita mempunyai hak siar untuk pay TV (TV berbayar). Pay TV yang dimaksud baik satelit TV maupun kabel TV. Ketiga, hak eksklusif penyiaran radio.

Berapa nilai yang dikeluarkan SCTV memperoleh hak siar World Cup 2006?
Saya belum berani buka. Ada beberapa media yang sudah melansir nilai kontrak tersebut. Dan, saya tidak tahu media tersebut mendapatkan informasi dari mana. Bahkan di SCTV sekalipun, tidak boleh ada yang menyebutkan nominal angkanya termasuk direktur utama maupun komisiaris. Mereka tidak boleh membocorkan.

Berapa stasiun TV relay siaran World Cup 2006 dari SCTV?
Kita mempunyai 45 relay stasiun, menjangkau sekitar 240 kota. Populasi dari 240 kota ini sekitar 145 juta. Jadi, kita menjangkau hampir 90% populasi Indonesia atau 145 juta. Dari angka itu sekitar 60% diprediksikan menyaksikan Piala Dunia.

Kita ingin dengan hak eksklusif ini akan menaikan image (citra) SCTV. Orang akan beranggapan bahwa SCTV bukan sekedar stasiun TV biasa. Karena, mampu menyiarkan Piala Dunia. Jadi image station SCTV akan terangkat dengan disiarkanya Piala Dunia di SCTV.

Selain itu, karena kita private TV, tujuannnya jelas bisnis. Hidup kita 100% tergantung dari iklan. Kenapa kita berani membeli produk semahal itu, karena kita tahu akan mendapatkan keuntungan dari acara itu.

Siapa Pay TV yang berminat membeli siaran World Cup 2006 dari SCTV?
Semua pay TV sebenarnya sudah datang dari tahun lalu, tapi kita sudah katakan siaran Piala Dunia 2006 tidak dijual. Itu bagian dari strategi kita, menekankan kepada sponsor, bahwa siaran Piala Dunia kali ini eksklusif. Ini akan memudahkan kita untuk ‘jualan’. Waktu itu kita sudah menghubungi Djarum, Extrajoss, dan sponsor-sponsor lain. Kita memberitahukan kepada mereka, siaran Piala Dunia hanya dapat di saksikan di SCTV dan tidak di stasiun TV yang lain.

Berapa persen kenaikan omzet SCTV dari siaran World Cup 2006?
Kalau kenaikan omzet, kontribusi dari revenue dari siaran Piala Dunia 2006 sekitar 25% dari pendapatan SCTV setahun.

Dari target pendapatan sudah berapa persen yang berhasil diraih?
Sekitar 90%.

Ada info dari biro iklan, akan terjadi kenaikan pemasangan iklan hingga 100% selama siaran World Cup 2006?
Kita tidak tahu pasti. Karena, itu merupakan bagian dari anggaran promosi. Jadi kita tidak tahu seberapa besar jumlah budget yang mereka anggarkan untuk iklan selama Piala Dunia. Kita hanya menjual paket kepada sponsor, jadi ada paket sponsor platinum, paket sponsor gold, paket sponsor silver, paket sponsor bronze, dan paket sponsor ritel.

Mengapa Mangga Dua Square dipilih sebagai studio siaran Word Cup 2006?
Waktu itu memang ada beberapa alternatif, tadinya maunya di Semanggi, Bengkel Cafe, Senayan, Citos (Cilandak Town Square), Kelapa Gading, tapi tidak ada yang representative (tepat).

Akhirnya kita memilih lantai delapan Mangga Dua Square sebagai Kampung World Cup atau Studio SCTV untuk menyiarkan Piala Dunia 2006 dari 9 Juni 2006-9 Juli 2006. Dengan luas 600m2 kita akan sulap menjadi studio kafe. Belum pernah ada kegiatan siaran World Cup diadakan di satu tempat yang seperti ini.
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=7321&cid=22&x=televisi


Pertumbuhan MetroTV Sebesar 20%

Rabu, 24 Mei 2006 16:22 WIB - wartaekonomi.com
Meskipun mengalami persaingan ketat di industri pertelevisian, tetapi MetroTV optimis bisa terus tumbuh dalam industri tersebut. Bahkan, Metro mengaku mengalami pertumbuhan 20% setiap tahun.
“Justru karena persaingan semakin ketat dan kebanyakan TV-TV (televisi, red) lain mengambil positioning general entertainment TV, itu membuat kami semakin
yakin bahwa positioning kami sudah paling benar, paling unik sebagai news channel di Indonesia,” kata Zsa Zsa Yusharyahya, director of programing & development Metro TV kepada WartaEkonomi saat konferensi pers Eagle Awards Documentary Competition 2006 pada Selasa (23/5) petang. “Rata-rata hampir setiap tahun (pertumbuhan) 20%.”

Zsa Zsa meneruskan sekarang kinerja MetroTV sudah semakin baik dan biaya operasional sudah bisa tertutup. Namun dia mengaku MetroTV belum bisa dibandingkan dengan stasiun televisi swasta lain di Indonesia secara rating dan market share.

IPTV
Salahsatu langkah awal mengantisipasi perkembangan industri televisi, dikemukakan Zsa Zsa, MetroTV baru saja menjalin kerjasama dengan JAM TV sebuah stasiun TV berbasis di New York. JAMTV adalah sebuah Internet Protocol TV/IPTV (televisi berlangganan lewat internet protocol). Dengan begitu siaran MetroTV akan dapat dinikmati orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri lewat JAMTV pada bulan depan.

Dia mengungkapkan IPTV mungkin dapat diluncurkan MetroTV pada masa depan. “Kalau momentumnya di Indonesia sudah tepat, broadband-nya sudah layak untuk nonton TV, why not, “ ujarnya.

Pada kesempatan yang sama MetroTV bermaksud menggelar kembali kegiatan Eagle Award Documentary Competition (EADC) dalam waktu dekat. Pada 2006 EADC mengangkat tema ‘Selamatkan Indonesiaku’.

Zsa Zsa menuturkan program EADC dinilai sangat cocok dengan acara MetroTV. Karena, Metro TV memiliki program-program unggulan dokumenter. Walaupun demikian dari semua program-program dalam Metro TV, program dokumenter hanya memiliki porsi 15%. Bahkan, dari total program dokumenter, Metro TV hanya memiliki 7% program dokumenter lokal. Kodrat Setiawan
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=7110&cid=2&x=televisi

Konglomerasi : Satu Tertutup, Satu Terbuka
Selasa, 21 Maret 2006 10:09 WIB - wartaekonomi.com
Mbak Tutut dan Hary Tanoe sama-sama mengelola bisnisnya lewat perusahaan induk. Bedanya, perusahaan Mbak Tutut bersifat tertutup, sedangkan milik Hary Tanoe berstatus terbuka. Daya tahannya jelas berbeda.
Masih segar dalam ingatan, betapa dahsyatnya dampak krisis ekonomi 1998 bagi dunia bisnis di Indonesia. Hampir semua sektor industri harus menghadapi situasi ekonomi yang tak bersahabat. Nilai tukar mata uang Paman Sam melonjak gila-gilaan, menembus level Rp15.000 per dolar AS. Inflasi membubung tinggi di atas 20%. Daya beli masyarakat merosot tajam. Krisis ekonomi 1998 adalah mimpi buruk yang tak terlupakan.
Banyak konglomerat yang sebelumnya begitu perkasa harus merelakan bisnisnya tergilas krisis. Ini termasuk para konglomerat yang besar lantaran kedekatan dengan pusat kekuasaan kala itu: Soeharto. Lengsernya Soeharto pun menjadi bola salju kehancuran kerajaan bisnis Cendana—termasuk kerajaan bisnis milik Siti Hardijanti Rukmana, putri sulung mantan presiden Soeharto.
Wanita yang sering dipanggil dengan nama Mbak Tutut ini dikenal sebagai pengusaha yang sukses di bisnis jalan tol. Sejak sukses membangun jalan tol Cawang-Priok pada 1987 melalui PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), Mbak Tutut kemudian banyak mendapatkan proyek-proyek pembangunan jalan bebas hambatan di mana-mana, bahkan hingga ke Filipina. Bisnis jalan tol membuat pundi-pundi uang Mbak Tutut bertambah. Menurut majalah Times edisi Mei 1999, total kekayaan Mbak Tutut pada saat itu diperkirakan mencapai US$700 juta.
Selain jalan tol, bisnis Mbak Tutut juga melebar ke transportasi, perbankan, konstruksi, perdagangan, perkebunan, pulp & paper, agroindustri, farmasi, media, hingga stasiun TV. Dia memiliki tiga induk perusahaan, yaitu PT Citra Lamtorogung Persada, PT Citra Agratama Persada, dan PT Tridan Satria Putra Indonesia, yang membawahkan 76 perusahaan.
Cuma, celakanya, banyak perusahaan itu yang sebetulnya tak lebih dari paper company. Perusahaan-perusahaan itu didirikan hanya untuk menampung kolega-koleganya, termasuk beberapa anak pejabat lainnya. Jadi, tak jelas apa core business-nya. Juga tak jelas bagaimana business plan-nya.
Seiring lengsernya Soeharto, pamor bisnis wanita murah senyum ini pun memudar. Begitu induk perusahaannya ambruk, susul-menyusul terjadi ke anak-anak usahanya. Semudah perusahaan itu berdiri, mudah pula runtuhnya. Kini? “Boleh dibilang bisnis Mbak Tutut sudah tak ada lagi,” tutur sebuah sumber yang pernah bekerja di perusahaan milik Mbak Tutut.
Pendapat serupa dilontarkan Thomas Wibisono, pengamat dari Pusat Data Business Indonesia. Menurut Thomas, krisis ekonomi memang menjadi “saringan” bagi semua perusahaan Mbak Tutut. “Hanya beberapa perusahaan yang masih memiliki kedekatan psikologis dengan Mbak Tutut saja yang masih dipertahankan,” kata Thomas. Itu, di antaranya, PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).
Cuma, meski perusahaannya tersapu bersih oleh badai krisis, Thomas mensinyalir Mbak Tutut masih banyak uang. “Selain dari kekayaan pribadi, kredibilitas Mbak Tutut masih mempunyai nilai jual untuk menghimpun dana,” kata Thomas. Jadi, tak heran kalau belakangan Mbak Tutut berniat mengambil alih kembali TPI dari tangan Hary Tanoesoedibjo.
Berkah Krisis untuk Hary Tanoe
Jika krisis ekonomi menjadi musibah bagi Mbak Tutut, tidak demikian halnya bagi taipan muda Hary Tanoesoedibjo, pemilik PT Bhakti Investama Tbk. Krisis justru mengibarkan nama Harry Tanoe. Deal-deal bisnis besar justru dilakukan Harry Tanoe dalam masa sulit itu. Misalnya, dia berkongsi dengan George Soros, pialang kelas dunia, pada 1999, dan mengambil alih beberapa perusahaan.
Pria kelahiran Surabaya, 41 tahun silam, ini juga rajin memborong aset-aset bermasalah di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset-aset itu dia beli dengan harga murah. Setelah direstrukturisasi, aset itu kemudian dijual lagi dengan harga lebih tinggi. Salah satu langkah raksasa lulusan terbaik program MBA dari University of Carleton Ottawa, Kanada, ini pada masa krisis adalah ketika mengambil alih PT Bimantara Citra Tbk. milik Bambang Trihatmodjo, adik kandung Mbak Tutut. Bimantara ketika itu bergerak di berbagai sektor industri, seperti pembiayaan, multimedia, telekomunikasi, teknologi informasi, dan elektronik.
Ada yang sama antara pola bisnis Hary Tanoe dan pola bisnis Mbak Tutut, yakni keduanya mengendalikannya lewat sebuah perusahaan induk. Misalnya, untuk sektor pembiayaan, Hary Tanoe mengendalikannya lewat PT Bhakti Investama Tbk., lalu bisnis elektronik lewat PT AGIS Tbk., dan multimedia melalui PT Bimantara Citra Tbk.
Bedanya, induk perusahaan Hary Tanoe semuanya berstatus terbuka. Dengan menjadi perusahaan publik, jelas banyak pihak yang ikut mengawasi. Alhasil, perusahaan-perusahaan tadi dituntut untuk beroperasi secara profesional. Perusahaan yang dikelola secara profesional jelas akan lebih mampu bertahan terhadap terpaan krisis ekonomi, ketimbang yang beroperasi penuh dengan kasak-kusuk dan menjadi sarang KKN.
DIVERA WICAKSONO
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=6722&cid=24&x=televisi

Hary Tanoesoedibjo: “Bom Waktu” di Sekitar Hary Tanoe
Selasa, 21 Maret 2006 10:05 WIB - wartaekonomi.com

Raja Bisnis Multimedia, Hary Tanoe, terhimpit sejumlah kasus: sengketa dengan Mbak Tutut, kasus NCD milik Unibank, dan penangkapan Shadik Wahono. Semuanya tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Senin, 23 Januari 2006 lalu, stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) genap berusia 15 tahun. Ibarat anak remaja, TPI sedang memasuki usia ABG (anak baru gede)—usia “panas-panasnya”. TPI panas? Iya, jika ditilik dari beberapa programnya yang memperoleh rating tinggi.
Namun, bukan cuma itu isu panas di TPI. Isu panas lainnya adalah pertarungan antara Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dengan taipan multimedia dan pemilik baru PT Bimantara Citra Tbk., Hary Tanoesoedibjo. Bimantara Citra adalah kerajaan bisnis yang didirikan Bambang Trihatmodjo, adik kandung Mbak Tutut, yang kini diambil alih Hary Tanoe. Pangkal sengketa adalah soal kepemilikan saham TPI di PT Berkah Karya Bersama (Berkah). Berkah adalah anak usaha PT Media Nusantara Citra (MNC), holding company milik Hary Tanoe. Saat ini, Berkah memiliki 75% saham TPI, sedangkan Mbak Tutut hanya menguasai 25% sisanya.
Bagaimana Berkah bisa mempunyai saham di TPI?
Mulanya dari utang Mbak Tutut senilai US$55 juta. Di sini termasuk kewajiban obligasi TPI ke PT Indosat Tbk. Mbak Tutut rupanya tak mampu membayar utangnya. Oleh karena kepepet, pada Agustus 2002 Mbak Tutut sepakat membuat perjanjian dengan Hary Tanoe, yang juga pemilik PT Bhakti Investama Tbk.
Perjanjian itu menyebutkan bahwa semua utang Mbak Tutut akan diambil alih Hary Tanoe. Lalu, perjanjian tersebut juga mencantumkan kesediaan pria kelahiran 26 September 1965 itu untuk menambah modal agar kinerja TPI kian membaik. Sebagai imbalannya, Mbak Tutut bersedia memberikan 75% sahamnya di TPI kepada Hary Tanoe melalui Berkah tadi. Selain itu, Mbak Tutut juga memberikan surat kuasa agar Berkah bisa mengendalikan penuh operasional TPI. Maka, sejak Juni 2003, TPI menjadi salah satu pilar kerajaan multimedia yang dibangun Hary Tanoe di bawah bendera MNC.
Setahun kemudian masalah mencuat. Desember 2004, putri sulung mantan presiden Soeharto ini marah besar ketika mendengar rencana MNC untuk menjual lahan TPI di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Rencananya, uang hasil penjualan lahan seluas 12 hektar itu akan digunakan untuk menambah modal TPI. Bagi Mbak Tutut, rencana penjualan lahan TPI dianggap melanggar perjanjian. Di sisi lain, saat itu Hary Tanoe pun baru melunasi sebagian dari US$55 juta utang Mbak Tutut.
Sengketa pun meledak. Wanita yang selalu lembut dalam bertutur ini kemudian membatalkan perjanjian kerja samanya dengan Hary Tanoe dan sekaligus mencabut surat kuasa yang ia berikan ke Berkah. “Buat apa ada perjanjian kalau akhirnya harus menjual lahan TPI?” kata Harry Ponto, kuasa hukum Mbak Tutut, kepada Warta Ekonomi, Kamis (9/2) lalu. Sebab, kalau melunasi utang dengan cara menjual lahan TPI, Mbak Tutut pun bisa.
Namun, dirut TPI, Nyoman Suwisma, membantah rencana penjualan lahan TPI. Menurut Nyoman, yang terjadi adalah ketidakjelasan informasi. Usul penjualan lahan TPI, kata Nyoman, muncul sejak 2002. “Sebab, dari segi bisnis, untuk membuat studio dan stasiun TV sebenarnya tak perlu lahan sampai 12 hektar,” tandas Nyoman, di sela peringatan HUT ke-15 TPI. Nyoman justru heran dari mana Mbak Tutut mendengar kabar rencana penjualan lahan tersebut. Akan tetapi, ketika ditanya soal pelunasan utang Mbak Tutut oleh Berkah, Nyoman mengaku tak tahu-menahu.
TPI = “Sapi Perah” MNC?
Sebenarnya ada sengketa lain antara Mbak Tutut dan Hary Tanoe di TPI. Menurut sebuah sumber, Mbak Tutut prihatin dengan nasib TPI. Sumber yang dekat dengan Mbak Tutut itu menyebutkan bahwa pasca-”diambil alih” Berkah, TPI bak jadi “sapi perah” MNC, perusahaan induknya. Beberapa aset TPI, seperti studio, kamera, kendaraan operasional, dan peralatan lainnya, kini beralih status menjadi milik MNC. “Jadi, kini TPI harus sewa peralatan ke MNC,” ujar sumber tadi.

Tak cuma itu. Sejak bergabung dengan MNC, TPI juga mesti menayangkan iklan-iklan dari grup tersebut. “Banyak spot iklan yang ditayangkan TPI secara gratis,” ujar sumber itu lagi.
Ketika dimintai konfirmasi mengenai hal tersebut, Nyoman membantahnya. “Tak ada istilah TPI menyewa ke MNC,” katanya, pendek. Namun, soal iklan gratis, ucap Nyoman, itu hal biasa dalam sebuah grup bisnis. Itu adalah kebijakan saling sinergi yang diterapkan MNC ke semua media miliknya, termasuk dalam hal pembelian program acara, spot iklan, dan fasilitas lainnya.
Cuma, rupanya Mbak Tutut telanjur kecewa dan tetap berniat membatalkan perjanjian kerja sama dengan Hary Tanoe. Mbak Tutut rupanya tidak rela TPI dijadikan sapi perah. Apalagi, sampai dengan 2005, TPI berhasil membukukan pendapatan kotor Rp500 miliar. Sementara itu, biaya produksi TPI hanya separo dari pendapatan kotor tersebut.
Kabarnya, kini kubu Mbak Tutut dan kubu Hary Tanoe tengah gencar bernegosiasi. Cuma, negosiasi ini bakal alot karena Mbak Tutut hanya memberikan dua pilihan. Pertama, Berkah mesti membayar lunas sisa utang Mbak Tutut dan tak mengutak-atik lahan TPI di Taman Mini. Kedua, kepalang tanggung, Mbak Tutut mau melepas 25% sisa sahamnya di TPI. “Cuma, harga sahamnya pasti sangat tinggi,” kata sumber lain. Hingga kini, ujung sengketa masih belum kelihatan. Kedua belah pihak masih sangat tertutup.
Warta Ekonomi berkali-kali berusaha menghubungi Hary Tanoe, baik lewat surat, mencoba bertemu langsung, maupun melalui telepon selularnya. Namun, semuanya buntu. Hary selalu menghindar dan tak mau banyak bicara. “No comment. Hubungi pengacara saya saja,” ujarnya singkat. Salah seorang eksekutif di media milik Hary mengungkapkan bahwa bosnya sebenarnya bersedia menerima Warta Ekonomi. “Nanti akan diatur waktunya,” katanya. Dalam SMS-nya pun Hary hanya menjawab, “Tolong jangan sekarang. Nanti kalau waktunya tepat, saya akan beri tahu.” Namun, hingga tenggat penulisan, janji wawancara itu tak terealisasi.
Bom Waktu
Hary Tanoe memang tengah dililit kasus. Selain sengketanya dengan Mbak Tutut, dia disebut-sebut terlibat dalam perkara Negotiable Certificate of Deposit (NCD), serta dikait-kaitkan dengan penangkapan Shadik Wahono, mantan komisaris PT Bimantara Citra Tbk., sehubungan dengan tuduhan penggunaan ijazah palsu. “Ada orang yang ingin menjelek-jelekkan nama Hary Tanoe,” kata Juniver Girsang, kuasa hukum Hary Tanoe, ketika dimintai konfirmasinya. Namun, Juniver menolak menyebutkan nama orang yang dimaksud.
Terlepas dari tangkisan Juniver, kasus-kasus tadi memang bisa menjadi “bom waktu”, yang setiap saat dapat meledakkan Hary Tanoe. Salah satunya adalah kasus NCD milik, ini dia, PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).
NCD adalah kasus lama yang melibatkan Hary Tanoe melalui Bhakti Investama. Terjadi pada 1999, kasus ini bermula dari keinginan CMNP berinvestasi melalui jual beli surat berharga lewat perantaraan Bhakti Investama, dengan Hary Tanoe sebagai dirut. Bhakti menawarkan kepada CMNP untuk membeli surat berharga dari Drosophila Enterprise, sebuah perusahaan milik Hary Tanoe yang berkedudukan di Singapura.
Maka, pada 12 Mei 1999, CMNP pun sepakat menjual beberapa surat berharga (obligasi CMNP II tahun 1997 senilai Rp189 miliar dan Medium Term Note Bank CIC senilai Rp153,5 miliar) ke Drosophila. Lalu, Drosophila akan membayar dengan NCD yang diterbitkan Unibank pada 26 Mei 1999. Nilainya US$28 juta, dan akan jatuh tempo pada 20 Mei 2002. Pihak CMNP diwakili oleh Tito Sulistio (direktur keuangan) dan Teddy Kharsadi (direktur operasional).
Anehnya, meski nilai transaksinya cukup besar, Tito dan Teddy melakukannya tanpa persetujuan RUPS. Bahkan, pada RUPS 1999 pun transaksi pembelian NCD itu juga tidak dilaporkan. Baru pada Maret 2000 transaksi itu tercium. Saat itu laporan keuangan CMNP memang tengah diaudit oleh AAJ Consulting. Ketika dikonfirmasi soal transaksi NCD tersebut, baik Tito maupun Teddy menolak memberikan keterangan.
Masalah mulai muncul ketika Unibank dinyatakan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada September 2001. CMNP berharap hak pencairan NCD itu langsung beralih ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui program penjaminan pemerintah. Namun, nyatanya tidak begitu. Pada Agustus 2002 BPPN menyatakan bahwa NCD Unibank itu tak bisa dibayarkan melalui program penjaminan pemerintah. BPPN malah menyebutkan bahwa NCD Unibank itu melanggar ketentuan Bank Indonesia (BI) tentang penerbitan sertifikat deposito oleh bank atau lembaga keuangan bukan bank. “NCD Unibank melanggar aturan BI No. 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1998 yang menyebutkan bahwa NCD yang dijamin oleh pemerintah harus dikeluarkan dalam mata uang rupiah dan berjangka waktu tak lebih dari 240 hari,” kata Obor P. Hariara, kuasa hukum BPPN. Padahal, NCD Unibank jelas-jelas memakai mata uang dolar AS dan berjangka waktu tiga tahun.
Sumber Warta Ekonomi yang mengetahui soal transaksi tersebut mengatakan bahwa CMNP tak tahu soal aturan BI tadi. “CMNP bukan lembaga keuangan yang tahu setiap aturan BI,” kelitnya. Jadi, tegasnya, sah atau tidaknya NCD Unibank seharusnya menjadi tanggung jawab Bhakti Investama, sebagai perantara CMNP dengan Drosophila.
Maqdir & Mulyadi, konsultan hukum CMNP, pun merekomendasikan kliennya agar menuntut pertanggungjawaban semua pihak yang terlibat, yakni Drosophila, Bhakti Investama, BPPN, BI, dan Departemen Keuangan. Cuma, ternyata Drosophila dan Bhakti Investama kemudian tak masuk dalam daftar nama yang digugat CMNP. “Materi gugatan CMNP adalah tentang pencairan NCD Unibank yang sudah jatuh tempo dan seharusnya dibayar BPPN. Jadi, tak ada hubungannya dengan Drosophila dan Bhakti Investama,” kata Marselina Simatupang, kuasa hukum CMNP.
Tabir Jual Beli NCD
Transaksi NCD ini memang menyisakan sejumlah pertanyaan. “Semuanya didesain oleh Hary Tanoe,” kata sebuah sumber di CMNP. Sebab, baik Drosophila, Bhakti Investama, maupun CMNP, semuanya terkait dengan Hary Tanoe.
Drosophila, sebagai pemilik NCD Unibank, ternyata baru didiri¬kan di Singapura pada November 1998 dengan modal awal S$100.000 atau setara dengan Rp300 juta. Bagaimana perusahaan itu bisa mempunyai NCD Unibank senilai US$28 juta? “Drosophila hanyalah vehicle company yang khusus dibuat Hary Tanoe,” kata sumber itu. Setelah kasus NCD sampai di meja hijau pada Januari 2004, Drosophila pun dibubarkan oleh Hary Tanoe (April 2004).
Lalu, perihal tidak masuknya Bhakti Investama sebagai pihak yang digugat CMNP tak terjadi begitu saja. Sebab, sejak Agustus 2002, melalui Bhakti Investama, Hary Tanoe ikut memiliki CMNP. Hary membeli saham CMNP milik Steady Safe (13,7%).
Jumlah itu membuat Bhakti Investama menjadi pemegang saham CMNP terbesar kedua setelah PT Jasa Marga (Persero) yang mengua¬sai 17,79%. Maka, tak heran jika nama Hartono Tanoesoedibjo, saudara Hary Tanoe, duduk sebagai komisaris CMNP. “Jadi, mana mungkin CMNP menuntut Bhakti Investama?” sergah sumber tadi, sambil geleng-geleng kepala.
Kini, kasus ini ramai dibicarakan sejak Eggi Sudjana, pengaca¬ra dan aktivis politik, melaporkan kasus NCD Unibank ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Eggi melaporkan kemungkinan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan Hary Tanoe dalam kasus ini.
KPK pun tengah gencar menguak kasus NCD ini. Sebagian orang-orang yang dianggap mengetahui transaksi tersebut mereka panggil. Ada Eggi Sudjana, Daddy Hariadi (dirut CMNP saat ini), M. Yusuf Hamka dan Teddy Kharsadi (mantan komisaris dan direktur CMNP), serta Shadik Wahono (komisaris CMNP).

Kabarnya, KPK juga sudah mengantongi nama-nama orang yang bakal dijadikan tersangka dalam kasus ini. Siapa saja? “Tunggu saja sampai tahap penyelidikan selesai,” kata Erry Riyana Hardja¬pamekas, wakil ketua KPK, kepada Warta Ekonomi.
Langkah KPK dalam mengungkap kasus ini kelihatan bak makan bubur panas. Mereka mulai dari pinggir, lalu bergerak ke tengah. Jika ini benar, maka pemanggilan Tito Sulistio (kini dirut Radio Trijaya FM, yang anak usaha MNC) dan Hary Tanoe hanya tinggal tunggu waktu. Dan, tik...tak...tik...tak....
Shadik Wahono Orang Dekat Mbak Tutut
Sabtu (21/1) malam lalu adalah hari yang tak terlupakan bagi Shadik Wahono, mantan komisaris PT Bimantara Citra Tbk. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta dari Singapura, Shadik langsung dibawa aparat Polda Metro Jaya terkait dengan tuduhan penggunaan ijazah palsu ketika menjabat sebagai komisaris Bimantara. Lucunya, esok harinya Shadik dibebaskan. “Shadik dilepas karena tak cukup bukti. Ijazah itu tak pernah digunakan Shadik sewaktu di Bimantara,” kata Denny Kailimang, kuasa hukum Shadik.
Ada apa di balik penangkapan Shadik? Shadik disebut-sebut sebagai orang yang memasok dokumen kasus NCD Unibank ke Eggi Sudjana—kasus yang bisa merepotkan Hary Tanoe. Jadi, apakah Hary Tanoe yang melaporkan Shadik? “Ada anggota masyarakat yang melaporkan bahwa Shadik bukan lulusan Universitas Trisakti,” bantah Juniver Girsang, kuasa hukum Hary Tanoe, seperti dikutip Tempo.
Namun, sumber Warta Ekonomi yang “dekat” dengan Mbak Tutut mengungkapkan bahwa Shadik sebenarnya pernah menjadi orang kepercayaan Mbak Tutut. “Dia berjasa dalam merestrukturisasi PT Citra Lamtorogung Persada (CLP),” kata sumber tadi. CLP adalah holding company milik Mbak Tutut. Kabarnya, Mbak Tutut juga mengetahui perihal penangkapan Shadik oleh pihak kepolisian. Apakah Mbak Tutut pula yang membuat Shadik dibebaskan?
DIVERA WICAKSONO, EVI RATNASARI, DAN FERRY CAHYADI PUTRA
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=6721&cid=24&x=televisi


Peringkat Usaha Dan Obligasi Indosiar Turun BBB-

Senin, 26 Desember 2005 09:32 WIB - wartaekonomi.com
Niken Indriasih, analis Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), menyatakan peringkat usaha dan obligasi pertama Indosiar Tahun 2003 sebesar Rp696,21 miliar diturunkan jadi BBB+ (triple B plus) dari A- (A minus). Karena, pendapatan Indosiar turun sebesar 20% sampai September 2005. Apalagi perusahaan ini merugi senilai Rp24 miliar pada periode yang sama. Peringkat ini berlaku mulai 21 Desember 2005 sampai 1 Juni 2006.
Padahal, Indosiar sempat meraih pendapatan iklan sebesar Rp864 miliar pada sembilan bulan pertama 2004. Namun hingga September 2005 Indosiar hanya mampu meraih sebesar Rp650 miliar.
Peringkat usaha dan obligasi pertama Indosiar 2003 juga diturunkan Pefindo akibat penurunan profitibilitas dan pelemahan rasio proteksi arus kas. Begitupula pengaruh persaingan industri televisi yang semakin ketat. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=6214&cid=2&x=televisi.


Indosiar Rugi Bersih Rp24 Miliar

Kamis, 8 Desember 2005 16:03 WIB - wartaekonomi.com
Phiong Philipus Darma, direktur keuangan PT Indosiar Karya Media Tbk, menyatakan rugi bersih akan dialami perusahaan tersebut pada akhir 2005. Sampai September 2005 Indosiar mengalami rugi bersih sebesar Rp24 miliar. Pasalnya, pendapatan iklan Indosiar hanya didapat sebesar Rp650 miliar pada sembilan pertama 2005. Angka ini turun sebesar 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp864 miliar.
Pendapatan iklan Indosiar turun akibat penayangan variety show difokuskan oleh Indosiar pada 2005. Karena, Indosiar memprediksi variety show akan laku pada tahun tersebut. Padahal, acara mistis yang diminati pemirsa sekarang. Apalagi Indosiar tidak mempunyai kebijakan penayangan acara tersebut. Pasalnya, program ini menuai protes dari masyarakat.

Pada kesempatan yang sama Handoko, direktur utama PT Indosiar Karya Mandiri Tbk, mengiyakan semula drama dan film mistis tidak akan ditayangkan stasiun televisi tersebut sampai Juni 2005. Namun hal ini disiarkan guna menaikkan pendapatan iklan.

Phiong meneruskan pendapatan iklan juga turun akibat penerimaan kualitas gambar Indosiar buruk. Karena, pengiriman gambar Indosiar lewat tower terhalang gedung-gedung tinggi. Hal ini berakibat Indosiar membangun tower setinggi 398 meter di kawasan Kebun Jeruk (Jakarta) sejak awal 2005.

Pembangunan tower Indosiar diprediksi selesai Juni 2006. Indosiar berharap penerimaan gambar lebih di DKI Jakarta dengan kehadiran tower tersebut. Dengan begitu Indosiar berharap memperoleh kenaikan pendapatan sekitar 10%-12% dari pembangunan tersebut. Sebanyak 60% market share industri televisi berada di DKI Jakarta.

Indosiar menyediakan dana pembangunan tower sebesar Rp120 miliar. Dari angka itu sebesar Rp80 miliar digunakan sebagai tower dan sisanya sebagai pembelian tanah.

Dana pembangunan tower Indosiar sebesar Rp100 miliar didapatkan dari Bank Central Asia (BCA) pada September 2005 dengan jatuh tempo lima tahun nanti. Sisa dana kebutuhan pembangunan tower diambil dari dana internal Indosiar.

Indosiar memprediksi arus kas positif belum diperoleh perusahaan pada 2006. Karena, sebanyak Rp60 miliar dari total Rp120 miliar dana pembangunan tower Indosiar dibebankan dalam pembukuan pada 2005. Sisanya akan dibiayakan dalam laporan keuangan Indosiar tahun depan.

Pada 2006 Indosiar menganggarkan capital expenditure/capex (belanja modal) di luar pembangunan tower utama sebesar Rp50 miliar. Dari dana itu akan digunakan sebesar Rp9 miliar-Rp10 miliar untuk pembangunan tower kecil. Sisanya, penggantian dan peralatan mendapatkan dana tersebut. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=6097&cid=2&x=televisi


Pendapatan SCTV Akan Naik 20% Tahun Depan

Rabu, 16 November 2005 10:43 WIB - wartaekonomi.com
Wisnu Hadi, presiden direktur PT Surya Citra Televisi (SCTV), menyatakan perolehan laba bersih diprediksi sebesar Rp140 miliar oleh perusahaan tersebut sampai akhir 2005. “Pendapatan iklan kemungkinan menurun, karena komsumsi masyarakat turun akibat kenaikan harga BBM, “ katanya.
Dia memprediksi kenaikan pendapatan SCTV sebesar 20% pada 2006. Angka ini diperoleh dari pendapatan iklan siaran langsung Piala Dunia. Kehadiran siaran langsung Piala Dunia tidak mengeser acara prime time.
Pada kesempatan yang sama Fofo Sariatnaja, direktur utama PT Surya Citra Media Tbk mengemukakan televisi sebagai posisi rating pertama belum ditargetkan oleh SCTV. Stasiun televisi ini hanya berusaha mempertahankan segementasi pasar dengan program-program yang sukses.
Sekarang urutan kedua rating disandang SCTV sebagai stasiun TV nasional. "Yang penting pertahankan acara long term. Jangan sampai naik dan turun terlalu drastis, " jelasnya.
Dia juga mengutarakan dividen interim sebesar Rp25 per saham akan dibagikan SCM sebagai induk SCTV pada awal Desember 2005. Jadi, SCM akan membagikan Rp47,343 miliar kepada 1,893 miliar pemegang saham. Dividen akan dibagikan ke pemegang saham publik yang beredar 21,13% dari total saham, " ucapnya.
Pada sisi lain SCTV disetujui pindah gedung baru ke Komplek Terpadu Senayan City pada 2006 dalam RUPSLB. Stasiun televisi nasional ini juga diperbolehkan mengalihkan dana initial public offering/IPO tersisa sebesar Rp136 miliar bagi pengembangan usaha. Sebelumnya dana IPO sebesar Rp412,5 miliar akan digunakan untuk fasilitas produksi. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=5966&cid=2&x=televisi

Pengembangan Media Dilakukan antv Dengan Opportunity

Rabu, 17 Agustus 2005 10:29 WIB - wartaekonomi.com
Harlin E. Rahardjo, deputy president director PT Cakrawala Andalas Televisi (antv) menyatakan pengembangan bentuk media lain seperti cetak atau elektronika belum dilakukan stasiun televisi tersebut pada 2005. Namun dia mengemukakan kemungkinan ini dapat dilakukan dari stake holder seperti pemegang saham antv. Begitupula langkah pengambilalihan antv oleh pihak lain.
“Kita akan selalu melihat opportunity dan kesiapan antv, “ katanya kepada WartaEkonomi disela-sela Acara Penyuluhan, Demo Masak, dan Dialog Anak Indonesia Merdeka dari Gizi Buruk yang diselenggarakan antv bersama Pondok Keluarga Sehat dan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Senin (15/8) siang.

Pada program-program, dikemukakan Harlin, antv akan meningkatkan kualitas pada 2005. Antv akan memfokuskan diri dalam tayangan reality show pada 2005 seperti Penghuni Terakhir 3, Keluarga Bintang, Meteor Kampus, dan Komedian Kampus. “Iklan program ini akan memberikan kontribusi 50% bagi pendapatan antv, “ ucapnya.

Program Antv, dilanjutkan Harlin, akan mengembangkan program berita ekonomi dan bisnis mulai September 2005. Masyarakat diharapkan mengambil keputusan dalam perekonomian dan bisnis sehari-hari. “Acara ini juga dapat menjadi ajang promosi bagi pengusaha, “ ucapnya. “Iklan news memberikan sumbangan 25% pendapatan Antv.”

Harlin meneruskan program infotainment juga akan dikembangkan antv. Selama ini antv memproduksi program tersebut (in house). “Selanjutnya kami akan menyerahkan produksi tersebut pada production house (PH). Karena, biaya lebih murah dan mudah dikontrol tayangan tersebut, “ jelasnya.

Pada kesempatan tersebut Antv menyelenggarakan Program Dompet antv Peduli Gizi Anak berupa Penyuluhan, Demo Masak, dan Dialog Anak Indonesia Merdeka dari Gizi Buruk bersama Pondok Keluarga Sehat dan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC). Program ini dilatarbelakangi kenaikan angka kasus gizi buruk di Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). “Melalui Dompet antv Peduli Gizi Anak inilah antv akan berupaya membantu para anak-anak penderita gizi buruk tersebut, “ tuturnya. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=5413&cid=2&x=televisi


Indonesia Miliki 60 Saluran Televisi Lokal

Minggu, 31 Juli 2005 12:58 WIB - wartaekonomi.com
Irawati Pratignyo, executive director AC Nielsen Media Research Indonesia menyatakan industri televisi (TV) telah berkembang selama 15 tahun terakhir. Hal itu terlihat dari terdapat 11 TV nasional sekitar 60 saluran TV lokal di Indonesia. Demikian rangkuman disampaikan dalam Marketing & Media Presentation 2005 Kamis (28/7) kemarin
Laporan itu diperoleh dari survei AC Nielsen Semester I 2005 dalam 9 kota di Indonesa yakni Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Bandung, Makasar, Yogyakarta (termasuk Sleman dan Bantul), Palembang, dan Depansar. Dari survei TV tersebut menunjukkan program TV berseri dipilih 27% pemirsa.
Selanjutnya, 21% pemirsa menyukai hiburan dan 12% pemirsa menikmati film. Kenaikan jumlah pemirsa terjadi dalam program informasi dan hiburan. Namun angka itu masih kecil dibandingkan penyediaan kedua program tersebut. "Supplay program 20% meningakat tetapi penonton hanya mengkonsumsi dengan kenaikan 12 %," katanya.
Kenaikan juga terjadi dalam pemirsa program reality show sebesar 53% dengan pemirsa meningkat 10%. Begitupula program anak-anak sebesar 31 % pada semester I 2005. Angka ini dibandingkan semester I 2004. "Tapi jumlah suplay programnya juga meningkat 42 % dan program-program animasi Jepang seperti Doraemon, Power Rangers masih sangat melekat pada hati anak-anak sampai sekarang, " jelasnya.
Pada kebutuhan informasi diperoleh tujuh jenis media oleh masyarakat Indonesia. Dari tujuh jenis media itu 82% masyarakat memilih informasi dari TV setiap hari. Kemudian, kebutuhan informasi dari radio dilakukan 38% masyarakat, sebanyak 4% masyarakat dari surat kabar, tabloid didapatkan sebesar 12% masyarakat; dan sebanyak 12% masyarakat membaca majalah.
AC Nielsen melakukan survei dalam perkotaan dan pedesaan di 23 provinsi Indonesia. Survei melibatkan 25.000 responden berusia sekitar 10 tahun ke atas. Mereka dianggap mewakili 167.781 populasi penduduk Indonesia. Sebelumnya, pada 2004 kebutuhan informasi diperoleh 5% masyarakat dari TV dan internet hanya digunakan 3% masyarakat.
Menyoal iklan, dikemukakan Irawati, TV berhasil menjaring hampir 260 ribu spot tersebut. Kenaikan terbesar terjadi pada hari Minggu sebesar 17%, Sabtu sebesar 15%, dan Senin sebesar 16%. "Tentu saja ini merupakan tantangan, bagaimana cara merebut perhatian pemirsa yang menyukai program, namun juga menyukai dan melihat informasi mengenai produk-produk baru, " jelasnya. Evi Ratnasari
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=5314&cid=2&x=televisi


Kerjasama JAK-TV Dan Polda Belum Kejar Pendapatan

Selasa, 19 Juli 2005 09:39 WIB - wartaekonomi.com
JAK-TV akan menayangkan program televisi realty show berupa traffic report, kriminal, dan kinerja Polri. Program ini dilakukan bekerjasama dengan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jakarta Raya (Jaya) dan sekitarnya. “Mengenai income (dari Program Traffic Report, Kriminal, dan Kinerja Polri) belum terpikirkan oleh kami, “ kata Erick Thohir, direktur utama JAK-TV kepada pers seusai Penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) JAK-TV dengan Polda Metro Jaya Senin (18/7) siang.
Program tersebut, dikemukakan Erick, JAK-TV berharap dapat melayani kepentingan umum. “(Industri) media bukan hanya mengejar kepentingan bisnis, “ jelasnya.

JAK-TV akan melibatkan sejumlah media lokal dan non lokal dalam Program Traffic Report, Kriminal, dan Kinerja Polri. Namun dia belum menyebutkan nama media tersebut. “Kerjasama itu dapat terjadi dengan di luar group media JAK-TV, “ ujarnya.

Pada kesempatan tersebut Brigjen Pol JRS FX Bagus Eko Danto, wakil kepala Kepolisian (wakapolda) Metro Jaya dan Sekitarnya mewakili Irjen. Pol. Drs. Firman Gani, kepala Kepolisian Metro Jaya dan Sekitarnya menanggapi program Traffic Report, Kriminal, dan Kinerja Polri diharapkan sebagai acara “city police”. Kerjasama ini diharapkan dapat konsisten dan berkesinambungan antara JAK-TV dengan Polda Metro Jaya. “(Sebelumnya) kami telah mempunyai program berita Kriminal dan Lalu Lintas dengan Radio Suara Metro, “ ucapnya.

Reality show tersebut, dikemukakan Erick, akan berbeda dibandingkan program televisi lain. Karena, JAK-TV membidik penonton menengah ke atas. “Kami akan menampilkan white collar crime, “ ujarnya.

Erick melanjutkan program traffic report, kriminal, dan kinerja itu masih disiapkan JAK-TV. Program itu diharapkan dapat muncul dalam JAK-TV dua bulan nanti. “Reality show itu sedang digodok akan terbagi dua yaitu reality police dan games saja, “ ucapnya.

JAK-TV, diutarakan Erick, juga akan mengajak Pemerintah Daerah (pemda) Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dalam pemberitaan seputar kota dalam waktu dekat. Berita yang dimaksud dapat berupa pelayanan pemda dalam ijin mendirikan bangunan (IMB). Mochamad Ade Maulidin

http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=5213&cid=2&x=televisi


Target BEP Metro TV 2010

Senin, 4 Juli 2005 01:18 WIB - wartaekonomi.com
Zsa Zsa Yusharyahya, director of programming & development Metro TV menyatakan total break even point/BEP (titik impas) Metro TV belum dicapai sampai sekarang. Namun Metro TV telah memperoleh BEP secara operasional. “Untuk keseluruhan investasi belum kembali, tapi BEP oprasional sudah tercover. Target- nya tahun 2010 BEP bisa kembali, “ katanya kepada Warta Ekonomi seusai Konfrensi Pers Documentary Competition 2005 Jum’at (1/7) lalu.
Lebih jauh Metro TV, diungkapkan Zsa Zsa, merupakan televisi berita pertama di Indonesia. Hal ini ditunjukkan 60% acara Metro TV adalah program berita. "Program news memberikan sekitar 70% dari revenue (pendapatan, red) Metro TV, " ujarnya.
Zsa Zsa juga mengaku sebagian program Metro TV disponsori Yayasan Sampoerna. "Sampoerna memang banyak memasang program dan iklan dikita. Tapi tidak semua program kita disponsori, program kita yang disponsori kurang dari 30%," jelasnya.
Pada sisi lain Media Group, diutarakan Zsa Zsa, belum merencanakan ekspansi bisnis media dalam bentuk lain. Metro TV hanya akan mengembangkan website dari televisi tersebut tahun depan. "Online ini sebagai complement untuk Media Indonesia dan Metro TV, " jelasnya. Evi Ratnasari
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=5097&cid=2&x=televisi



TPI Dicaplok Bimantara

Kamis, 24 Maret 2005 10:08 WIB - wartaekonomi.com
PT Berkah Karya Bersama sebagai anak perusahaan Bimantara Citra direstui menguasai 75% saham Cipta Televisi Pendidikan Indonesia senilai Rp500 miliar. Kepemilikan saham itu diperoleh dari konversi utang milik Indosat Rp350 miliar Konversi saham juga diambil dari utang lain tanpa disebutkan secara jelas. Keterangan tersebut diketahui dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Cipta TPI beberapa waktu lalu.
Kemudian RUPS menunjuk Dandy Nugroho Hendro Maryanto Rukmana sebagai komisaris utama Cipta TPI. Dan, Cipta TPI mempercayakan direktur utama kepada Mayjen (Purn) Sang Nyoman Suwisma. TPI dikabarkan berinvestasi dalam peralatan digital, pembangunan studio, dan pengembangan 10 stasiun transmisi di Indonesia. Stasiun transmisi itu terdapat di Pontianak, Padang, Pekanbaru, Manado, Malang, Purwokerto, Tegal, Kediri, Banjarmasin, dan Samarinda. Jadi TPI mempunyai 25 stasiun transmisi. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=4387&cid=2&x=televisi



Saya Harus Menjadi yang Nomor Satu
Jum'at, 11 Februari 2005 16:52 WIB - wartaekonomi.com

HB Naveen
Presdir PT Bhakti Media International

Ambisinya menggebu-gebu. Ia ingin menjadikan BMI sekelas Walt Disney. Dengan modal kerja keras plus SDM-SDM andal, Naveen bertekad meraih obsesinya itu.

Jumat (7/1) pagi yang cerah. Hari itu HB Naveen, CEO PT Bhakti Media International (BMI), terlihat santai. Padahal di kantornya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, hari itu sudah menunggu 10 orang tamu yang menanti giliran ingin menemuinya. Hari itu jadwal kerja Naveen memang padat.

"Itulah bagian dari tugas seorang pemimpin. Dia harus bisa menentukan skala prioritas dalam menangani pekerjaannya. Dan ketika menghadapi satu perkara, saya harus fokus pada persoalan yang sedang dihadapi," papar Naveen, membuka percakapan pagi itu. Selain itu, sebagai pemimpin, ia pun dituntut untuk bisa survive dalam kondisi apa pun meski ini tidak mudah. Dengan penuh percaya diri, Naveen menandaskan bahwa dirinya mampu mengendalikan itu semua.

Awal Membangun BMI

Pada Naveen memang terpancar jelas betapa ia memiliki rasa percaya diri yang besar. Selain itu tampak pula betapa bergeloranya semangat yang ia miliki, dan ambisinya untuk meraih apa yang ia cita-citakan. Naveen adalah sosok khas seorang anak muda yang energik. "If a man can go to the moon, man can do anything," tandasnya. Prinsip itu pula yang kental mewarnai visi Naveen dalam menjalankan BMI perusahaan yang dipercayakan keluarga Bhakti kepadanya sejak empat tahun silam.

Ketika itu, lewat salah seorang rekannya, Naveen diperkenalkan kepada Hary Tanoesoedibjo CEO dan sekaligus pemegang saham Grup Bimantara, yang kini juga menjabat sebagai direktur utama PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Mulanya tidak ada hal istimewa yang mereka bicarakan pada saat pertama kali bertemu. Namun, pada pertemuan kedua, mulailah muncul pemikiran-pemikiran untuk membuat bisnis bersama-sama. "Kami merasa cocok. Pada satu sisi beliau merupakan sosok yang cukup ambisius, dan di sisi lain beliau juga melihat saya sebagai seorang muda yang ambisius, akan tetapi membutuhkan support yang besar," ungkap Naveen.

Dari pertemuan itu, Naveen menawarkan proposal untuk mendirikan perusahaan periklanan yang sifatnya berkelompok atau grup. Konsep ini ia tawarkan karena melihat kecenderungan perusahaan periklanan di Indonesia yang sifatnya masih menyebar. "Bayangkan jika ada beberapa perusahaan iklan menjadi satu, ia akan tumbuh menjadi kekuatan yang begitu besar," kata Naveen.

Dengan konsep seperti itu pula, maka Naveen pun mengomandani BMI yang awalnya bergerak di bisnis advertising. Kepercayaan yang diberikan oleh pemegang saham kepada pria berdarah India ini tentu saja tidak disia-siakan. Naveen mengaku, ia tidak ingin mengecewakan orang yang telah memberikan kepercayaan kepadanya. "Itu sebabnya, bukan berarti setelah mendapat modal saya lantas berleha-leha. Akan tetapi sebaliknya, sejak awal sampai hari ini pun saya beserta seluruh karyawan terus bekerja keras. Kami memang menjadikan kerja keras sebagai modal utama," aku Naveen.

Meski sebagian besar waktunya tersita habis untuk mengembangkan BMI, Naveen mengaku tetap menangani pekerjaannya dengan rileks. Ia menganggap pekerjaan yang kini dilakoninya bukanlah suatu beban berat, tetapi justru sebaliknya, merupakan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi sudah sejak lama ia memang menyukai bidang advertising.

Berbekal pengalamannya menangani bidang advertising plus ambisinya yang tinggi untuk terus meningkatkan kinerja perusahaan, saat ini Naveen berhasil mengembangkan BMI menjadi memiliki enam anak perusahaan, yang masing-masing berlabel Mediate, Lemonade, Max, Pink, Ideasphere, dan Cross Media Service. Selain enam anak perusahaan, yang masing-masing terdiri dari lima biro iklan dan satu perusahaan content, baru-baru ini BMI juga telah mengakuisisi sebuah perusahaan periklanan, yakni PT Optima Media Dinamika. BMI juga berencana mendirikan satu perusahaan lagi.

Keberhasilan pria yang punya hobi olahraga, khususnya lari pagi, fitness, dan wind surfing, ini dalam mengembangkan perusahaannya, ia akui, selain karena kerja keras dan semangat yang tinggi, juga sangat terbantu dengan era kapitalisme. Kondisi ini, menurut dia, membuat dirinya merasa bisa lebih maju dan bergerak ke depan. "Saya anggap karier juga sebagai journey dalam kehidupan yang harus terus dilewati. Jika tahun ini saya mempunyai tujuh perusahaan, maka tahun depan bisnis saya harus tumbuh lebih baik lagi, baik secara vertikal maupun horizontal," tandasnya. Itulah sebabnya pada 2005 ini ia menargetkan peningkatan keuntungan BMI bisa mencapai 60%-70% dari tahun sebelumnya.

BMI Sekelas Walt Disney

Ambisi itu membuat Naveen makin kreatif mencari ide-ide baru yang lebih segar untuk melebarkan sayap bisnis BMI. Bahkan untuk keperluan itu, untuk mencari inspirasi, tak jarang ia mesti bepergian ke luar negeri, seperti ke Kairo, New York, atau Peranci. Semua itu agar ia mendapatkan pelajaran dan pengalaman berharga yang kelak bisa diadopsi perusahaannya.

"Sudah saatnya kami memancing di laut, bukan lagi di kolam," tegas Naveen. Itulah sebabnya ia tidak ingin berhenti hanya mengelola satu bidang usaha, tetapi mulai meluaskan usahanya menjadi sebuah perusahaan yang bergerak di bidang media entertainment. Pasalnya, seiring dengan perkembangan zaman, Naveen mengamati bahwa iklan tidak lagi dikemas dalam hitungan detik, tetapi bisa berkembang dalam hitungan jam, bahkan hitungan hari, yang dikemas dalam bentuk program atau event-event tertentu. Dari fenomena itulah Naveen "menyulap" BMI yang tadinya hanya memiliki satu divisi usaha, yakni advertising, kini mulai merambah ke beberapa area lainnya, yaitu pembuatan content, produksi program acara, termasuk pembuatan merchandise, program-program yang berkaitan dengan media telephony, seperti premium call, SMS, dan sebagainya.

Untuk merealisasikan ambisinya itu, Naveen pun mulai mengakuisisi 8-9 program acara dari Perancis yang kelak ia racik ala Indonesia. Ia pun telah menyiapkan tim-tim kreatif yang secara khusus membuat program-program yang bisa diekspor ke luar negeri. Hasilnya? Ia mengklaim, sebuah perusahaan media entertainment asing terkemuka, 20th Century Fox, mulai melirik program yang ditawarkan BMI. Dari sana, kepercayaan dan ambisinya untuk terus menelurkan kreativitas-kreativitas baru pun makin meningkat. "Kreativitas itu sifatnya borderless, tanpa batas, asal ada upaya untuk mengembangkannya. Pokoknya kami akan all out untuk fight,"
tekad Naveen.

Meski ambisinya menggebu-gebu, dalam perjalanannya sebagai seorang CEO, Naveen pun kerap menghadapi problem yang dirasanya cukup berat, yakni masalah komunikasi. Kelihatannya memang cukup sederhana, tetapi nyatanya komunikasi memegang peranan sangat penting dalam bisnis. "Bayangkan jika terjadi lack of communication, banyak hal yang tadinya bukan problem malah berubah menjadi problem. Jadi, bagaimana caranya untuk membangun komunikasi yang lancar adalah tantangan yang saya rasakan," kata Naveen, yang gemar membaca buku-buku best seller, utamanya buku-buku biografi dan autobiografi orang-orang ternama ini. Dan satu hal lagi yang ingin ia hilangkan adalah masalah birokrasi. "Sering birokrasi malah menjadi hambatan dalam berkomunikasi," keluh Naveen.

Walaupun semua itu membutuhkan waktu dan upaya yang lebih keras lagi, pria yang masih lajang ini memiliki optimisme yang tinggi bahwa suatu hari kelak perusahaannya bakal sejajar dengan perusahaan-perusahaan media entertainment kelas dunia, seperti Walt Disney, Warner Bross, atau 20th Century Fox.

Keseriusan Naveen dalam mengejar ambisinya itu ia tunjukkan dengan merekrut SDM-SDM andal pada bidangnya. Dan sebagai pemimpin, tugas utamanya adalah memberikan kepercayaan, motivasi, dan menjadi fasilitator bagi para bawahannya. "Pada dasarnya kompas ada di tangan saya. Arah perusahaan juga ada di tangan saya. Akan tetapi, bagaimana pergerakan-pergerakan yang terjadi di dalamnya adalah tanggung jawab mereka," kata Naveen.

Naveen memang berusaha menempatkan diri sebagai pemimpin yang memberikan kepercayaan penuh kepada bawahannya. Bahkan, ia memberi kebebasan kepada pemimpin di masing-masing anak usaha untuk menciptakan kultur yang dianggap paling pas dengan kondisi yang ada. "Asalkan kami memiliki satu visi dan motivasi yang sama untuk terus fight dan growth, meski secara mikro kami memiliki kultur yang berbeda-beda," terangnya.
Bagi Naveen, semangat kerja yang tinggi adalah modal penting guna mengejar target yang telah dicanangkan. Dan, sebagai pemimpin, ia pun memiliki tanggung jawab untuk terus memupuk dan memelihara semangat kerja di lingkungan perusahaannya. "Saya tidak ingin ada karyawan yang memiliki kinerja kurang perform. Oleh karena itu, saya berusaha untuk selalu menyeimbangkan antara punishment dan reward," tandasnya. Namun, sebaliknya, jika dirinya sendiri yang dinilai kurang perform, dengan tegas Naveen menyatakan bahwa "kursinya" siap diambil alih oleh siapa pun yang memiliki kinerja lebih baik ketimbang dirinya.

Sikapnya itu tak lepas dari obsesi yang ingin ia capai baik dalam berkarier maupun dalam kehidupannya sehari-hari. Apa pun yang ia lakukan, Naveen selalu berambisi untuk menjadi nomor satu dan terbaik di bidangnya. Itulah sebabnya ia tak pernah lelah untuk senantiasa mempelajari hal-hal baru, termasuk mempelajari
berbagai macam bentuk kesenian. Mulai dari seni lukis, seni musik, sampai opera, kini sedang ia pelajari dengan sungguh-sungguh. "Saya suka opera, bukan saja untuk kesenangan, tetapi juga untuk mengabsorpsi hal-hal berharga yang didapat dari cerita opera itu," ungkapnya. Dan bagi Naveen, justru proses belajar itulah yang memegang peran penting untuk memperkaya wawasannya.
ADE RACHMAWATI DEVI

Piyama Keberuntungan

Siapa sangka sukses yang diraih Naveen berawal dari sepotong piyama (baju tidur) yang dikenakannya belasan tahun yang lalu? Sambil tergelak ia pun menceritakan kejadian menarik yang justru menjadi momentum perubahan hidupnya.

Beberapa lama selepas Naveen menamatkan kuliahnya di India, ia tidak lantas mendapatkan pekerjaan yang cocok. Hari-hari ketika ia 'menganggur" hanya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya hura-hura saja. Pergi ke pesta-pesta malam, clubbing bersama teman-temannya, adalah aktivitas yang tak pernah sekali pun ia lewatkan. Sampai suatu hari, pada pagi hari sepulang ia dari sebuah pesta, seorang temannya yang memiliki sebuah biro iklan mengajak Naveen untuk ikut meeting dengannya. Tentu saja Naveen menolak ajakan itu. Pasalnya, dia masih kelelahan dan belum sempat beristirahat karena "bergadang" semalaman.

Namun, tak patah arang, temannya terus-menerus memaksa Naveen untuk ikut meeting menemani dirinya. Bahkan Naveen tak diberi kesempatan untuk sekadar mandi. "Meeting nya tidak formal kok, hanya bersama teman-teman saja," rayu sang teman ketika itu.Akhirnya Naveen pun menyerah. Dengan pakaian tidur, alias piyama, yang masih melekat di badannya, ia pun menuruti ajakan sang teman menghadiri meeting "informal".
Akan tetapi, betapa terkejutnya Naveen ketika dirinya ternyata dibawa masuk ke sebuah perusahaan yang cukup ternama di kota itu. "Di dalam ruang meeting telah hadir sekitar 20 eksekutif dengan pakaian formal yang menunggu kedatangan kami. Bayangkan!" seru Naveen. Saat itu Naveen mengakui perasaannya sungguh tidak karuan malu, bingung, marah, dan kaget, semuanya bercampur aduk. Seakan mengetahui apa yang dirasakan Naveen, sang teman lantas menenangkannya. Dia pun lantas memperkenalkan Naveen sebagai seorang creative director nya, dan ketika itu ia diminta untuk tidak berkomentar apa pun. Cukup mengangguk-anggukkan kepala atau menggeleng-gelengkan kepala saja.

"Atas rekayasanya sendiri, ia memperkenalkan saya sebagai creative director nya yang sangat berbakat, sudah berpengalaman menangani bidang advertising di New York. Padahal saya tidak punya pengalaman apa pun dalam bidang itu," ungkapnya, tergelak. Bualan sang teman ternyata membuahkan hasil yang manis. Naveen pun keheranan ketika para eksekutif yang hadir itu begitu percaya akan kehebatan dirinya. "Sejak kejadian itu saya berpikir bahwa image seseorang bisa menjadi kekuatan yang luar biasa untuk bisa mempengaruhi persepsi orang lain," ujarnya. Dan sejak saat itu pulalah Naveen memutuskan untuk benar-benar terjun ke dunia advertising, yang kini mengantarkannya ke salah satu puncak karier. "Pakai piyama saja bisa meyakinkan 20 orang, apalagi kalau pakai jas," ujarnya sambil terbahak.
ADE

http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=4144&cid=4&x=televisi



Makin Tinggi, Makin Tajir
Jum'at, 11 Februari 2005 15:05 WIB - wartaekonomi.com

Pemilik PH berlomba membuat tayangan yang makin spesifik agar mampu menjaring penonton dan mendapat rating tinggi. Makin tinggi rating, makin besar fulus nya.

Ada rating, ada iklan. Ada penonton, tentu saja ada fulus. Dua kata sakti ini tak pelak masih jadi pegangan para pengelola stasiun TV, pemilik rumah produksi (PH), dan pemasang iklan. "Korelasi positif antara keduanya tak bisa diganggu gugat," ungkap pengamat pertelevisian Ade Armando, yang diamini oleh para pelaku industrinya. Sebut, misalnya, stasiun TV swasta nasional pertama, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), yang menempatkan urusan rating sebagai salah satu syarat saat menerima sodoran program dari pemilik PH. "Mereka harus bisa meyakinkan bahwa karyanya menghasilkan rating," ungkap Teguh Juwarno, head of public relations department RCTI.

Maklum, urusan rating erat kaitannya dengan napas bisnis TV. Hingga kini, lanjut Teguh, pengiklan memang selalu menunggu hasil rating tayangan. Sebab, sistem rating memang menunjukkan jumlah penonton yang menyaksikan sebuah tayangan atau program. Makin tinggi rating menunjukkan makin besarnya jumlah penonton yang menyaksikan tayangan tadi. Maka, makin panjang pula deretan pemasang iklan yang bersedia menempatkan produk dan mengguyurkan uang ke sana. "Apalagi kalau acara tersebut ditayangkan pada jam prime time, pasti nilai iklannya tinggi. Pemasang iklan akan tanya berapa rating nya," imbuh Coco Nino, PR Trans TV.

Ujungnya, tak cuma stasiun TV yang kebanjiran iklan, rumah produksi pun bisa kejar tayang untuk memasok program tadi. Dan, produsen pun bisa makin "kipas-kipas" kalau tayangan tadi berada pada saat prime time. Sebab, saat itulah calon pembeli produknya dipastikan terus menatap layar kaca. Sayangnya, membuat program yang mendatangkan uang tak semudah membalik telapak tangan. Tak cuma pihak stasiun TV yang mesti pintar menebak selera penontonnya, pemilik PH juga mesti kreatif mencari bentuk tayangan baru yang diminati oleh penonton. Misalnya, membidik tayangan non-drama.

Inilah yang belakangan ditunjukkan oleh beberapa pemilik PH. Sebut, misalnya, PT Triwarsana yang dikomandoi oleh Helmy Yahya, yang belakangan makin mengokohkan posisinya sebagai pemasok tayangan non-drama, khususnya kuis dan reality show. Berbekal pengalaman "tandem" dengan "Ratu Kuis" Ani Sumadi, kini Helmy makin yakin untuk terus memasok tayangan reality show ke pasar. Setidaknya, 10 reality show bakal digelarnya tahun 2005 ini.

Optimis? Kelihatannya begitu, mengingat beberapa produk Triwarsana cukup menjanjikan rating yang tinggi. "Bisa dilihat bahwa acara produksi kami rating-nya bisa menembus 'Top 10'," ungkap Helmy. Pendapatnya tak dibantah Teguh, yang menyebutkan bahwa tayangan Bedah Rumah dan Uang Kaget yang diproduksi Triwarsana sanggup meraih audience share sebesar 39%. Padahal, pada jam yang sama, tayangan ini mesti bersaing dengan tayangan dari 10 stasiun TV lainnya. "Biasanya memperoleh 20% saja sudah bagus," ungkap Teguh.

Kabar bagus lainnya, banyak pihak, termasuk pengamat, punya keyakinan bahwa tayangan reality show bakal memiliki umur panjang dengan bentuk kemasan yang lebih variatif. Ade Armando mengisyaratkannya sebagai tayangan yang lebih eksplisit, lebih dewasa. "Lebih berani masuk ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tabu," cetusnya, Hanya, tampaknya jalannya masih panjang mengingat bahwa hingga kini masyarakat sendiri belum menunjukkan sikap matang sebagai penonton.

Hal itu tak dibantah oleh Teguh, yang mengatakan bahwa tayangan drama, semisal sinetron, serta tayangan infotainment, memang masih mencengkeram kuat benak penonton. "Sinetron masih perkasa," tandas Teguh. Ini pun tampak dari data yang dikeluarkan oleh Nielsen Media Research (NMR). Dari hasil riset di delapan kota besar di Indonesia, mulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Makassar, dan Denpasar, misalnya, diperoleh hasil bahwa sinetron yang ditayangkan pada prime time masih meraup uang paling besar dari para produsen, khususnya produsen makanan.

Sebut, misalnya, Bawang Merah Bawang Putih, sinetron yang ditayangkan RCTI setiap Selasa mulai pukul 19.00 hingga 20.00, yang meraih peringkat pertama dalam urutan lima besar program sinetron. Tayangan ini meraup 479 spot iklan dalam empat episode terakhirnya di tahun 2004. Risetnya sendiri berlangsung pada Januari hingga Desember 2004. Pemasang iklan terbesar dalam tayangan ini adalah produsen makanan.

Raupan iklan juga diperoleh oleh berbagai tayangan infotainment. Hasil riset yang sama menunjukkan bahwa program Silet (RCTI), yang menduduki peringkat kedua dalam "Top 5" tayangan infotainment, meraup 136 spot iklan dalam empat episode terakhirnya. Pengiklan terbesar tayangan ini adalah produsen minuman. Padahal, selain Silet, stasiun TV ini juga menempatkan Kabar Kabari, yang menduduki posisi ke-5 dengan raihan 100 spot iklan dari produsen toiletries dan kosmetik. Hasil yang sama tampaknya diperoleh tayangan kuis yang juga mulai meraup iklan cukup meyakinkan (lihat tabel).

Bagaimana dengan perolehan iklan untuk tayangan reality show? Data satu bulan saja, yaitu Desember 2004 yang juga dibesut NMR, pun menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan pengelola stasiun TV. Tontonan bertajuk Bedah Rumah yang ditayangkan RCTI, misalnya, menurut data ini mampu meraup iklan sebesar Rp1,47 miliar. Atau, tengok juga Uang Kaget, masih di stasiun TV yang sama, yang berhasil meraup Rp1,87 miliar. Bahkan, tayangan sejenis bertajuk Tolooong yang digelar di SCTV mampu menyedot iklan senilai Rp2,56 miliar. Jadi, ini memang soal kepekaan membaca selera penonton yang terus berubah dari hari ke hari.
GENUK CHRISTIASTUTI, HENDARU, DAN ADE RACHMAWATI DEVI
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=4139&cid=24&x=televisi


Bimantara Citra Ekspansi Bisnis Suratkabar

Senin, 31 Januari 2005 09:07 WIB - wartaekonomi.com
Bambang Hary Tanoesoedibjo, direktur utama PT Bimantara Citra Tbk menyatakan ekspansi bisnis akan dilakukan dalam suratkabar. Langkah ini didahului dengan pembentukan PT Media Nusantara Informasi melalui PT Media Nusantara Citra (MNC) sebagai anak perusahaan. MNC menyertakan saham 99,99% di Media Nusantara Informasi.
“Media Nusantara Citra telah menandatangani akta pendirian Media Nusantara Informasi dihadapan notaris saut Hendri Budi SH pengganti Sugito Tedjamulja 25 Januari 2005, “ katanya.
Penyertaan saham MNC dalam Media Nusantara Informasi, dikemukakan Bambang, tidak menyalahi peraturan Bapepam. Walaupun MNC bergerak di bidang multimedia dan komunikasi. MNC telah mempunyai tiga stasiun televisi yaitu TPI, RCTI, dan Global TV. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=4066&cid=2&x=televisi




Pergantian Logo Tidak Ubah Program Berita SCTV

Sabtu, 22 Januari 2005 08:43 WIB - wartaekonomi.com
Karni Ilyas, direktur pemberitaan PT Surya Citra Televisi (SCTV) menyatakan format program-program berita tidak berubah dengan rencana pergantian logo perusahaan. Program berita Liputan 6 tetap menjadi salahsatu unggulan acara SCTV.
“Namun rating Program Ibu Pertiwi Berduka sebagai acara pemberitaan bencana gempa dan tsunami Aceh dapat mengalahkan Liputan 6 kemarin. Acara tersebut masuk rating tertinggi dalam 100 program berita yang ditayangkan televisi lokal, “ katanya kepada wartawan dalam jumpa pers Seminar Visi Indonesia 2020 bekerjasama UNSFIR dan SCTV pada 25 Januari 2005 Kamis (20/1) siang
Walaupun demikian Program Ibu Pertiwi Berduka tidak diteruskan SCTV. Karena, acara ini dinilai hanya menampilkan penderitaan rakyat Aceh. SCTV menghadirkan Program Bangkit Dari Titik Nadir pengganti acara tersebut. “Kami tetap menghadirkan wajah Aceh berisi kebudayaan Aceh dalam program Potret, “ ucapnya.
Karni melanjutkan program televisi akan berubah sesuai dinamika masyarakat. Hal ini akan terjadi juga dalam program pemberitaan televisi. “Tayangan berita televisi akan dinamis, “ ujarnya.
Menyoal pergantian SCTV akhir Januari 2005, dikemukakan Karni sebagai sesuatu yang biasa terjadi dalam perusahaan. Pasalnya, pergantian logo perusahaan selalu terjadi tiap dua tahun di luar negeri. “SCTV belum berganti logo setelah 14 tahun, “ jelasnya.
Pada hal lain, SCTV bermaksud menyelenggarakan Seminar Visi Indonesia 2020 bekerjasama UNSFIR dan SCTV di Jakarta pada 25 Januari 2005. Hal ini bentuk sumbangan pemikiran strategi perekonomian jangka panjang kepada pemerintah oleh SCTV. Seminar tersebut akan membahas Tantangan Strategi Pembangunan, Aspek Pembiayaan Pembangunan, dan Pengembangan Kelembagaan Pemerintah.
Menurut rencana seminar akan menghadirkan Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri negara perencanaan pembangunan nasional/kepala Bappenas, Mubyarto dari PSEG-UGM, dan Anggito Abimanyu mewakili Departemen Keuangan. “SCTV tidak sekedar sebagai institusi bisnis saja, melainkan memiliki tanggungjawab sosial juga, “ papar Iskandar Siahaan, kepala litbang SCTV. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=3997&cid=2&x=televisi





Memburu Dahlan Iskan
Rabu, 10 Juli 2002 17:03 WIB - wartaekonomi.com
Mengejar narasumber, benar tugas wartawan. Namun, ada yang unik dengan narasumber yang satu ini. Paling tidak itulah pengakuan Ferdinand Lamak yang kami tugasi mengejar Dahlan Iskan, pendiri dan pemilik Grup Jawa Pos.
Setelah mengontak sekretarisnya ke markas utamanya di Graha Pena, Surabaya, akhirnya Ferdi (begitu kami memanggilnya di kantor) mendatanginya. Sesampai di Surabaya, sang sekretaris meminta Ferdi menunggu. Untungnya Ferdi tidak menyia-nyiakan waktu. Sebelum bertemu Dahlan, dia pun mengadakan pengecekan lokasi JTV yang menjadi objek pembicaraan dalam Liputan Sampul kali ini. Tentunya sambil mencari informasi tambahan.

Ternyata setelah tengah hari, sang sekretaris mengabarkan bahwa Dahlan telah berangkat ke Jakarta menghadiri diskusi SPSI. Tanpa pikir panjang, Ferdi pun mengejarnya ke Jakarta lagi. 'Setengah mati mengetahui keberadaannya. Soalnya, dia tidak pernah mau pakai handphone,' ujar Ferdi.

Dasar manusia aneh! Akhirnya, Ferdi bertemu dia di Jakarta. Namun, dia mengaku tidak punya waktu khusus karena harus kembali ke Surabaya. Karena itu, wawancara pun dilakukan dalam perjalanan ke Bandara Soekarno-Hatta dan selama menunggu take-off. 'Dia pun tidak mau saya ajak ke kafe agar lebih nyaman. Eh, malah minta duduk di lantai saja,' tutur Ferdi. Ferdi mengakui Dahlan orang aneh. 'Bayangkan, seorang pengusaha sekelas dia, bepergian hanya membawa tentengan plastik kresek. Setelannya pun hanya sepatu kets,' ungkap Ferdi.

Itulah Dahlan Iskan, yang kami jadikan cover story edisi ini. Di satu sisi, Dahlan mendapat penghargaan prestisius dari Ernst & Young Indonesia sebagai Entrepreneur of The Year 2001 dan bahkan menjadi wakil Asia untuk Entrepreneur of The Year 2001 dunia. Di sisi lain, dia pun dituding oleh Ditjen Postel sebagai pemilik stasiun teve illegal karena JTV-nya tidak memiliki izin frekuensi yang harus didapat dari Ditjen Postel. Padahal Dahlan telah mendapatkan izin dari Pemda Jawa Timur.

Kisah perjalanan Dahlan di dunia penyiaran inilah yang kami angkat menjadi Liputan Sampul kali ini. Gagal mendapatkan lisensi untuk televisi berjangkauan nasional, Dahlan banting setir dengan menggarap teve lokal. JTV dan Riau TV adalah dua dari delapan stasiun teve lokal yang dia angankan. Namun, akankah angan-angan ini bisa terwujud setelah JTV disegel oleh Polda Jawa Timur?

Inilah tantangan buat Dahlan sekaligus bagi semua operator teve lokal yang hanya mengandalkan izin pemda. Karena itu pula kami mengangkat topik ini jadi sebuah liputan sampul. Selamat menikmati.
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=129&cid=6&x=televisi




Lab TV UI, Antara Lab dan Stasiun Televisi

Jum'at, 17 Mei 2002 16:49 WIB - wartaekonomi.com
Walau belum sehebat televisi komersial, lahirnya teve kampus yang bermodalkan kreativitas mahasiswa cukup menarik, untuk disimak. Saat ini, Lab TV UI ikut meramaikan siaran audiovisual.
Seakan tak mau kalah dengan berbagai daerah yang melahirkan teve local, kalangan Universitas Indonesia pun masuk ke dunia pertelevisian. Saat ini kampus yang bersiaran local baru Universitas Indonesia. Tiga kampus lainnya mengudara di siaran kabel. Dari segi program, baik Lab TV UI, Widya Mandala Televisi (WMTV) di Surabaya, Ganesha TV milik ITB Bandung, maupun Universitas Ahmad Dahlan (TV UAD) di Yogyakarta lebih memfokuskan diri pada siaran pendidikan. 'Kami menayangkan hasil kerja mahasiswa program D3 dan S1 UI, kata Victor Manayang, ketua jurusan Ilmu Komunikasi UI. Saat ini, menurut Victor, pihaknya sedang mereview kembali siaran mereka. 'Yang paling penting, kami mengaitkan siaran ke kurikulum,'tambahnya. Bedanya, hanya UI yang masuk ke siaran local, sementara yang lain berada di saluran kabel dan internet. Kini mahasiswa yellow jacket sudah bisa menyaksikan rekan-rekannya lewat televisi. Teve yang mengudara selama dua jam itu dipancarkan dari channel 24 UHF di kawasan Depok.

Sekalipun berbicara tentang pendidikan, Victor mengaku pihaknya tidak menyiarkan pendidikan secara formal. 'Kami mengemasnya dalam bentuk dialog, jadi lebih mudah diserap,'ujarnya. Bicara soal investasi awal, teve yang memiliki dua studio ini, menurut Victor, tidak sampai menghabiskan dana Rp 1miliar. Maklum saja, pihak Rektorat UI memang tidak mendanai semuanya, mereka banyak mendapat dukungan dana dari pihak luar. Untuk urusan transmitter, misalnya, TV UI mendapatkannya dari Trans TV dan Indosiar. 'Transmitter pertama dari Trans TV, sementara yang kedua ini kami dapat dari Indosiar,'katanya. Saat dihampiri Warta Ekonomi, TV UI memang sedang tidak siaran. Mereka masih menunggu transmitter baru dari Italia. Kerja sama ini, kata Victor, berkat hubungan baik yang telah lama terjalin antara UI dan kedua teve tersebut. Buat Indosiar dan Trans TV, pembelian transmitter itu lebih sebagai bentuk tanggung jawab social dari suatu perusahaan. Saat ini, menurut Victor, Indosiar dan Trans TV memang sangat membantu operasional mereka. 'Mereka melihat teve kampus sangat penting,'tambahnya. Kedekatan Trans TV bisa jadi karena Ishadi S.K dan Riza Primadi selama ini mengajar di kampus kuning itu. Tak hanya itu, TV UI samapi sekarang masih menyurati banyak industri agar mau mensponspori siaran mereka. Ke depannya, teve dengan logo Makara UI ini memang diharapkan dapat hidup mandiri. 'Kami diharapkan mendanai sendiri operasional,'kata Victor. Sekalipun harus independen, TV UI sejauh ini belum berencana menarik pengiklan. 'Kami mungkin underwriting atau kerja sama dengan perusahaan yang mau mensponsori siaran kami,'ujarnya. Mengenai SDM, pihak UI mengaku belum melakukan perkerutan khusus sebagai penyiar. Mereka umumnya diambil dari D3 Ilmu Komunikasi UI. 'Saat ini fakultas lain juga banyak yang ingin terlibat dalam siaran,'kata Victor. Masalahnya adalah dari segi izin siaran. TV UI sejauh ini belum mengantongi izin resmi dari pemerintah. Hal itu bukan karena mereka tak mau mengurusnya, melainkan masih terjadinya dualisme regulasi penyiaran. 'Sampai saat ini kan belum ada UU Penyiaran, kami sendiri masih terlibat dengan penggodokan RUU itu,'kata Victor. Ia menilai, dengan adanya dualisme itu, pihaknya sulit untuk menempatkan TV UI, masuk ke teve publik atau intern kampus, menteri Perhubungan, yang saat ini masih merupakan otoritas tertinggi untuk frekuensi, malah menyarankan agar UI tidak menyebut dirinya sebagai TV UI, 'Kami diminta menyebut diri sebagai Lab TV UI,'ujarnya.


http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=75&cid=2&x=televisi













Teve Lokal, Semarak Teve Lokal dari Amuntai hingga Siantar
Jum'at, 17 Mei 2002 16:55 WIB - wartaekonomi.com

Hadirnya televisi lokal ikut mengubah cara pejabat memimpin dan mengelola birokrasi. Di Pematang Siantar, misalnya dialog wali kota dan anggota DPRD disiarkan langsung oleh stasiun televisi local. Di Amuntai, jam siaran teve lokal tergantung pada jam berapa sang bupati tiba di rumah. Bali dan Surabaya masing-masing punya gaya pula. Sayang, izin frekuensinya masih diperdebatkan.
Revolusi tak hanya datang dari internet. Ia pun bisa mucul dari hadirnya stasiun-stasiun televisi local, di daerah-daerah yang justru jauh dari Jakarta. Ia membuat banyak hal berubah, termasuk praktek bisnis pertelevisian termasuk praktek bisnis pertelevisian maupun birokrasi pemerintahan. Bangkitnya semangat daerah untuk berotonomi, mendorong maraknya stasiun televisi dengan jangkauan local di banyak kota. Tak hanya kalangan pengusaha, pemerintah daerah dan kalangan perguruan tinggi kini turut membuat siaran sendiri. Kehadiran stasiun tevel local itu bukan tanpa halangan, karena sampai saat ini regulasi izin frekuensi masih diperdebatkan. Pemerintah sendiri sejauh ini, tampaknya masih malu-malu untuk mengambil tindakan berarti. Hal itu tampak dari sikap pemerintah yang membiarkan beberapa teve local mengudara, padahal mereka hanya mengantongi izin pemda setempat. Masih digodoknya RUU Penyiaran yang baru juga berdampak pada Universitas Indonesia. Mereka harus menyebut diri mereka Lab TV UI. Padahal mereka sudah mengisi channel 24 UHF di udara Depok. Apalagi sejauh ini belum ada alokasi izin frekuensi khusus untuk lembaga nonkomersial dan edukasional seperti di Amerika. Menurut ketua jurusan Ilmu Konunikasi FISIP UI, Victor Manayang, berkebangnya teve di Amerika, di antaranya karena perguruan tinggi di sana diberi izin khusus tersebut. Sebenarnya pembahasan mengenai izin khusus bagi lembaga penyiaran komunitas sempat muncul ke permukaan. Hal itu dibahas pada rancangan undang-undang (RUU) yang kini masih dibahas di DPR. Pada Pasal 18 RUU Penyiaran itu disebutkan, 'Lembaga penyiaran komunitas adalah lembaga penyiaran berbentuk badan hukum bersifat tidak komersial, jangkauannya terbatas, untuk melayani kepentingan komunitas tertentu.' Sayangnya, dalam RUU Penyiaran yang diajukan pemerintah tersebut, pasal tentang lembaga penyiaran komunitas malah dihapuskan. Alasannya, pemerintah khawatir perbedaan agama, budaya, dan suku dapat menimbulkan masalah SARA jika setiap komunitas bebas bersiaran.
Lain lagi dengan Kelompok Jawa Pos (KJP), yang sebelumnya sudah mengudara lewat Riau TV (RTV) dan Jawa TV (JTV). Saat ini ke-6 teve local yang sedang mereka proses juga memiliki kendala perizinan. Sekalipun begitu, menurut Alfian Mujani, direktur keuangan JTV, mereka tetap jalan terus. 'Kalau nanti tidak diizinkan, hal itu bisa menyinggung rasa keadilan masyarakat daerah,' katanya. KJP sendiri, kata Alfian, ingin agar urusan izin ini dapat segera diselesaikan. 'Kami agak tidak sabaran, apalagi menggodok peraturan biasanya kan lambat,'ungkapnya. Menurut dia, selama ini penggodokan RUU paling cepat makan waktu satu tahun. Di samping itu, masih diperlukan waktu untuk penerapannya di lapangan. Melihat sudah terlanjurnya teve milik KJP mengudara, Alfian menilai pemerintah pusat sebaiknya mengeluarkan izin sementara. Dengan begitu, tambahnya, teve local tetap bisa mengudara sampai UU yang baru keluar. Sejauh ini, kata Alfian, operasi KJP masih sesuai dengan prosedur yang ada dan tidak memakai kekuatan surat kabarnya. KJP memang sudah kepalang tanggung untuk menghentikan siarannya. Pasalnya, media pimpinan Dahlan Iskan ini menanam investasi yang cukup besar, itu belum termasuk untuk teve local baru yang masih dalam proses. Rata-rata sekitar Rp50miliar per stasiun teve local,'kata Alfian.

Lain halnya dengan RTV, yang meramalkan dalam 3-5 tahun ke depan masih berupaya mencapai titik impas. Oleh karena itu, kata Mafirion, direktur operasional RTV, pihaknya sedang bersaing keras dalam menarik iklan. Selain melayani pemasangan iklan, mereka juga menjual spot tayangan pada perusahan yang ingin profilnya ditampilkan. Potensi iklan RTV dari perusahaan di Jakarta yang memiliki target di Riau mencapai 30%, berbeda dengan JTV yang 90% iklannya berasal dari Jakarta. Masih besarnya sumbangan iklan dari Jakarta, menurut Alfian, tidak perlu dikhawatirkan. Ia menuturkan, Koran Jawa Pos saat pertama terbit juga 70% iklannya didapat dari ibukota. 'Maklum saja, masyarakat di Jawa Timur belum familier pasang iklan di teve, 'ujarnya. Terlepas dari urusan investasi, saat ini Dahlan Iskan dikabarkan sedang mengusahakan izin siaran televisi nasional. Menurut sumber Warta Ekonomi, dalam waktu dekat KJP akan diberi izin teve swasta nasional. 'Kalau itu terlaksana, KJP akan konsentrasi di Jabotabek bekerja sama dengan teve local yang sudah ada,'ujar sumber itu. Menurut rencana, KJP akan memanfaatkan stasiun transmisi TVRI dan menerapkan manajemen KJP di sana. Bahkan nama untuk teve local ini pun sudah direncanakan. KJP berniat menamai teve local Semarang dengan nama Sentral TV, yang kalau di Indonesiakan artinya 'Jawa Tengah'. Sayangnya, TVRI Semarang mungkin terhambar regulasi internal mereka,'katanya.
Bali TV lain lagi. Menurut dirutnya, Satria Narada, pembangunana Bali TV murni untuk melayani masyarakat Bali. Pembangunan Bali TV yang berada di channel 23, ia pandang sebagai usaha social bagi orang Bali. Saat ini Bali TV lebih banyak diisi dengan program acara mengenai adat budaya, dan agama orang Bali. Sisi religius memang tampak dari proses persiapan Bali TV. Kalau teve pada umumnya hanya mempersiapkan SDM dan dana, Bali TV yang memiliki SDM 100 orang ini sangat serius dalam meminta dukungan dari para tokoh Hindu di Bali.
Sementara itu, JTV menawarkan program mistik dalam acaranya. Acara yang bernama Mak Bongky ini merupakan salah satu unggulan JTV. Seakan memenuhi keinginan masyarakat Jawa Timur yang menyukai mistik, Mak Bongky berisi konsultasi paranormal dengan pemirsanya dan dikemas dengan gaya humor. Agar biaya produksinya bisa dihemat, baik RTV, JTV, maupun Bali TV memproduksi sendiri acara mereka.
Kalau TV nasional umumnya hadir lebih dari 15 jam per hari, teve local kebanyakan bersiaran tidak sampai 10 jam. Bahkan hanya ada yang dua jam saja, itu pun belum pasti setiap hari. Bali TV, misalnya. Teve ini rencananya akan akan mengudara selama delapan jam dalam dua sesi. Pada pagi hari, teve yang diresmikan 26 Mei mendatang ini akan mengudara selama enam jam, sementara sore harinya dalam dua jam. Sebelumnya, RTV juga dipancarkan dalam dua sesi. Pagi pada pukul 07.30-09.30 dan malamnya pukul 18.00-21.30. Sementara itu, 'saudaranya', JTV mengudara utuh dari pukul 17.00-24.00.

Ide Bupati dan Walikota
Kalau teve milik Dahlan Iskan munculnya teratur, TV Siantar malah sebaliknya. Pasalnya, teve ini tujuan awalnya adalah merelai siaran teve nasional yang tak tertangkap oleh antenna biasa. 'Saya tak ingin warga ketinggalan informasi,' ujar Marim Purba. Maklum saja, untuk menikmati siaran dari berbagai teve swasta, warganya harus membeli antenna parabola atau alat digital yang harganya Rp4-7 juta. Nilai yang terbilang sangat tinggi untuk kebanyakan penduduk di sana. Marim menuturkan, TV Siantar yang ia pimpin melakukan relai antara pukul 06.00 dan pukul 24.00. Dari waktu tersebutlah, 90% merupakan relai, sisanya berisis berita pembangunana daerah. Terkadang TV Siantar juga menyiarkan dialog antara Marim dan Ketua DPRD atau pejabat setempat. 'Kalau soal jam siaran, tergantung operator, tapi umumnya pagi sampai malam hari,'ujar Marim. Pada awalnya Marim ingin agar TV Siantar menjadi asset pemerintah kota. Sayangnya, niat tersebut ditolak DPRD. Padahal pada 17 Mei lalu, pemerintah dan DPRD sempat melakukan rapat untuk mendanai teve tersebut. Marim dan beberapa temannya lalu merakit sendiri alat transmisi. Alat ini, menurut dia, terdiri dari beberapa komponen impor dan local yang menghabiskan dana sekitar Rp 500 juta. Keterbatasan dana dan SDM, membuat teve ini harus mengirit-irit dana yang berasal dari para donatur.

Serupa dengan TV Siantar, Amuntai Televisi (Amteve) juga lahir dari ide pejabat pemda setempat. Bertempat di dalam kompleks Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, gedung Amteve dulunya merupakan gudang milik Pemda. Di dalam mantan gudang inilah dioperasikan ruang siaran, pasca produksi, dan peralatan pemancar. Menurut Nuralim Priswantara, pengelola Amteve pada sebuah workshop audio-visual bagi LSM di Bandung, semuanya berawal dari keinginan Bupati Amuntai, Suhaelin Muchtar. Kurangnya SDM berkualitas membuat siaran perdana Amteve yang tidak melalui proses editing tampil buruk. Saat itu, kata Nuralim, gambar yang tampil, selain miring, juga bergoyang. Apalagi saat itu Amteve juga tak melakukan editing terlebih dahulu. Dalam hal membuat logo Amteve, Nuralim mengaku ia tidak melakukan pemikiran mendalam. Maklum saja, saat itu Bupati hanya meminta logonya berwarna cerah dan identik dengan Amuntai. Karena penduduk Amuntai mayoritas beragama Islam, ia lalu memasang gambar kubah mesjid sebagai logo Amteve. Untuk menayangkan siaran, teve yang letaknya di pedalaman Kalimantan Selatan in imemakai fasilitas TVRI. Sementara itu, untuk saluran, mereka memakai channel 7 UHF milik TPI. Anehnya, Nuralim mengaku tidak tahu persisi apakah mereka telah mendapat izin dari TPI mengenai hal itu. Teve local ini hanya mengudara selama dua jam sehari yaitu pada pukul 19.00-22.00 WITA. Jam tayang ini pun bisa berubah setiap waktu, tergantung jam berapa Bupati tiba di rumah. Kecuali saat pertandingan bola berlangsung, Nuralim mengaku tidak berani mematikan relai tersebut. Program yang tampil di Amteve, diantaranya, Mimbar Agama Islam, Warta Banua, Dunia Anak-anak, Negara Dipa, dan Info Kesehatan. Uniknya, property studio yang mereka pakai tidak pernah diubah, hanya selembar layar berwarna biru yang menghiasi setiap siaran.

Soal bahasa yang digunakan dalam bersiaran, kalau JTV memakai logat Jawa Timur, Bali TV malah berencana hadir dalam tiga bahasa, yaitu Indonesia, Bali, dan Inggris. 'Untuk bahasa Inggris, kami memiliki Bali Channel yang berisi tempat wisata, adat, dan budaya Bali,' ujar Satria Narada. Di luar masalah pengelolaan SDM dan dana, nasib stasiun teve local saat ini sangat tergantung pada UU Penyiaran yang baru.
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=74&cid=2&x=televisi

Tidak ada komentar: