31 Maret 2008

Menyoal Artis WNA, Dikejar Aparat Tapi Bebas Kerja

Di luar negeri, tenaga kerja Indonesia tidak mendapat jaminan perlindungan hukum. Mereka seperti "dikejar-kejar" oleh aparat setempat. Di dalam negeri, warga negara asing (WNA) bisa bebas mendapat pekerjaan.

Mencuatnya fakta mudahnya WNA bekerja di Indonesia tanpa izin, tidak bisa dimungkiri terkait dengan kasus artis Rianti Cartwright yang notabene warga negara Inggris. Setelah sekian lama menjadi artis di Indonesia, Rianti baru diketahui hanya memiliki Kartu Izin Tinggal Sementara (Kitas). Pihak imigrasi menyebut Rianti tidak memiliki izin bekerja di Indonesia. Lalu bagaimana dia bisa leluasa jadi artis yang terlibat dalam sejumlah produksi film dan sinetron Indonesia?

Menelisik apakah sese- orang termasuk WNA atau WNI, cara mudahnya adalah dengan mengecek kartu identitas yang dimiliki seseorang. Jika memiliki kartu identitas Indonesia seperti KTP, SIM atau akte, bisa dipastikan orang itu adalah WNI. Kalau tidak ada, maka kewarganegaraannya bisa diragukan.

Untuk kasus artis-artis asing yang bekerja di Indonesia, kewarganegaraannya dapat diketahui saat menandatangani kontrak kerja. Setiap penandatanganan kontrak kerja umumnya menyertakan bukti identitas diri, baik itu paspor atau sebagainya. Lalu mengapa rumah-rumah produksi di Indonesia seperti "kecolongan" saat mempekerjakan artis yang kemudian diketahui WNA?

Status kewarganegaraan artis asing belakangan menjadi penting diketahui sebelum pihak rumah produksi mengajak artis tersebut bergabung dalam film atau sinetron. Sebab, status WNA atau WNI otomatis terkait langsung dengan izin kerja sang artis.

Produser Rumah Produksi MD Entertainment Manoj Punjabi menegaskan pandangan tersebut kepada SP, saat ditemui di kantornya, di MD Entertainment, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (27/3). Manoj yang sukses dengan film romantis religinya, Ayat-Ayat Cinta (AAC) mengaku tidak bermasalah dengan status WNA Rianti Cartwright. Bahkan, pihak MD Entertain- ment justru membantu Rianti mengurus izin kerja khusus selama syuting AAC.

"Pihak MD tahu Rianti itu WNA dari Inggris. Namun, film AAC bukan yang pertama bagi Rianti. Bahkan sebelumnya ia bermain dalam film komedi Jomblo," ujar Manoj.

Khusus untuk film AAC, Manoj menegaskan pemilihan artis apalagi pemeran utama tidak sembarangan. Artis yang terpilih bermain AAC sudah melalui proses seleksi yang ketat, bahkan penulis cerita Habiburrahman El Shirazy ikut menyeleksi para pemain. Jadi, ketika Rianti terpilih menjadi pemeran Aisah, maka masalah izin kerja dan status kewarganegaraanya sudah aman.

Semua surat-surat keterangan status WNA Rianti, dikatakan Manoj diurus langsung oleh pihak legal MD. Biasanya dari pihak manajemen MD menawarkan kepada artis bersangkutan apakah ingin mengurus sendiri atau dibantu rumah produksi.

"Khusus untuk Rianti, MD memberikan bantuan," tambahnya

Ketidaktahuan tentang status WNA sang artis dilontarkan Dini Suryani, humas rumah produksi Sinemart yang pernah menggunakan Rianti Cartwright dalam film Jomblo.

"Untuk kasus Rianti, kami memang tidak tahu kalau dia adalah WNA. Dalam sepengetahuan kami dia adalah WNI, karena sebelumnya ia sudah terkenal dan tidak ada masalah apa-apa dengan imigrasi. Dalam penandatangan kontraknya saat itu, dia diwakili oleh manajernya, sehingga kami tidak tahu secara pasti jika dia adalah WNA," ujarnya.

Menurut Dini, sudah semestinya artis yang berasal dari luar Indonesia memiliki dokumen-dokumen yang sah untuk bisa bekerja di Indonesia dan itu semua menjadi kewajiban pribadi artis dan manajemennya.

Dini mencontohkan kasus artis asing lain yang pernah dikontrak untuk bermain dalam produksi film di tempatnya.

"Kami pernah gunakan Miller (artis asal Malaysia) untuk bermain dalam film kami. Tetapi dia kan jelas, berasal dari Malaysia. Sebelum kontrak ditandatangani semua tahu bahwa dia berasal dari Malaysia. Saat (tanda tangan) kontrak, dia melampirkan semua dokumen-dokumen yang dibutuhkan sesuai hukum di sini," ujarnya.

Lalu apakah Rianti sengaja menyembunyikan identitas kewarganegaraannya, hingga baru sekarang terbongkar. Manajer Rianti Cartwright, Ade, menyebutkan selama ini Rianti selalu melampirkan identitas dirinya untuk penandatanganan kontrak.

"Beberapa kali saya memang pernah mewakili dia dalam penandatanganan kontrak. Tapi di kontrak itu juga disebutkan identitasnya, termasuk nomor paspornya. Mengenai izin kerja umumnya ditangani oleh rumah produksi yang mempekerjakannya," ujar Ade.

Pembinaan

Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) telah mengantongi sekitar 10 nama artis asing yang bekerja di Indonesia.

Artis-artis berdarah campuran yang kerap mengisi layar kaca, dan dikenal publik itu akan mendapatkan pembinaan, belajar dari kisah Rianti Carthwright pemeran di film AAC yang tersandung pada kasus serupa.

"Untuk kasus Rianti Carthwright, artis yang ngetop di film AAC belum final. Kami

(Dirjen Imigrasi) masih terus mengkaji dan mengkoordinasikannya dengan departemen terkait seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sebab awalnya Rianti mengantongi visa kerja dan salah satu orang tuanya berkewarganegaraan Indonesia," ungkap Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian Depkumham Syaiful Rachman kepada SP, Rabu (26/3).

Lebih lanjut katanya, awalnya Rianti punya izin kerja di PT Global TV sebagai Broadcasting Official System Advisor, masa berlaku izin sejak 2007 itu masih berlaku di tahun 2008. Lalu karena aktingnya bagus, diperkerjakanlah oleh perusahaan lain sebagai artis, apalagi film yang dilakoninya menyedot jutaan penonton, bahkan Wapres Jusuf Kalla pun menontonnya.

Syaiful menambahkan selagi pekerjaan artis tersebut tidak membahayakan dan mengancam keamanan negara maka tinggallah langkah penertiban dan wajib menjalani prosedur sesuai dengan UU No 9 Tahun 1992 tentang Imigrasi.

"Bukan berarti karena Rianti sukses membintangi film dan lewat film ada hal positif bagi negeri lantas kasusnya berhenti. Imigrasi akan tetap proporsional. Imigrasi memang punya kewenangan melakukan tindakan tegas dengan deportasi, penangkapan bahkan menyeret ke pengadilan. Tapi tak perlu sampai pengadilanlah," papar Syaiful.

Terkait pembinaan apa yang akan diberikan, Syaiful tak mau menjabarkan lebih lanjut. Namun menurutnya pembinaan tersebut dipastikan aman dan positif. Selain itu, tambahnya setiap pekerja asing yang mencari nafkah di Indonesia membayar pajak 100 dolar perbulannya dan uang tersebut masuk ke negara.

"Sekarang kajilah lagi kalau dihukum keras manfaatnya apa dan kalau dibina apa pula manfaatnya bagi negara. Intinya imigrasi tidak harus selalu keras," ujarnya.

Dalam UU Imigrasi memang disebutkan bagi anak berusia 18 hasil perkawinan warga negara asing warga negara Indonesia bisa memutuskan sendiri status kewarganegaraanya. Status anak sebelum memutuskan mau menjadi warga negara tertentu dianut asas dwikewarganegaraan.

Sayangnya usia Rianti melebihi 18 tahun. Kalau pun nantinya pihak sponsor yang memperkerjakannya mengaku kelalaiannya dan ingin mematuhi peraturan jelas Syaiful, maka pembinaan akan dilakukan. Tidak menutup kemungkinan bagi artis-artis lainnya.

Terkait sanksi deportasi yang disebutkan pada pasal 42 UU Imigrasi, akan diberlakukan pada pekerja yang murni WNA, sengaja bekerja di Indonesia dengan memanfaatkan kemolekan dan fisiknya untuk merambah pekerjaan lain, tutur Syaiful.

Kasus artis WNA seperti Rianti Carthwright adalah yang terkini. Sebelumnya Reynaldi Iskhak yang berdarah indo ini pada pertengahan 2004 lalu berurusan dengan pihak imigrasi untuk kedua kalinya. Hal ini dikarenakan masa berlaku paspornya (Australia) telah berakhir. Pemain film layar lebar yang kondang di era 1990-an itu harus meninggalkan Indonesia.

Penyanyi dan pencipta lagu, Ashraff, kedapatan masih berpaspor India. Ashraf yang kondang dengan lagu ciptaannya berjudul Sharmila ini dideportasi ke Malaysia, negeri yang memberi izin tinggal permanen pada lelaki bernama asli Mukhtaruddin ini.

Keterangan dari Ditjen Imigrasi waktu itu menyebutkan bahwa pria kelahiran Vylathur, Kerala, India itu ditengarai telah menyalahgunakan kunjungannya ke Indonesia. Dalam visa disebut untuk kunjungan sosial budaya tapi ternyata ia bekerja. Ashraff telah mengemas sejumlah album termasuk Sharmila.

Pada kenyataannya kasus pelanggaran aturan keimigrasian tidak sedikit terjadi. Lihat misalnya berbagai pengungkapan atau penggerebekan yang dilakukan petugas kepolisian maupun aparat keimigrasian di sejumlah kawasan hiburan malam di Jakarta. Di sana petugas menangkap WNA perempuan -kebanyakan dari Asia Timur- bekerja sebagai wanita penghibur. [ASR/EAS/U-5/K-11] -- http://www.suarapembaruan.com/News/2008/03/30/index.html

Tidak ada komentar: