09 Maret 2008

Diet itu Bernama Diet Televisi

Orangtua harus memikirkan kegiatan lain guna mengganti aktifitas anak menonton TV

Televisi sudah seperti halnya tembakau: berbahaya. Karena itulah sejumlah elemen masyarakat di Indonesia menggulirkan wacana Hari Tanpa Televisi setiap tanggal 20 Juli, meniru Hari tanpa Tembakau (No Tobbaco Day) yang diperingati saban 1 Juni di seantero dunia.

Namun sejumlah ibu-ibu tak perlu menunggu tanggal 20 Juli. Mereka sejak jauh-jauh hari sudah melarang buah hati mereka bercokol lama di depan layar televisi. Banyak alasannya (baca: Mengapa Diet Televisi). Bukan cuma kebakaran jenggot lantaran waktu belajar anak-anak disita televisi, ibu-ibu ini juga miris melihat isi perut sinetron yang 'berwarna hitam'.

''Sinetron ABG yang sudah nggak ada lucu-lucunya. Isinya cuma marah-marah dan pacaran,'' kata Anna Sari (48), warga Tanjung Barat, Jaksel, seraya menyitir sebuah adegan di mana dua remaja perempuan berkelahi di lorong sekolah, saling dorong dan saling jambak sekadar untuk memperebutkan cowok. Waduuh...

Anna pun mengontrol ketat jadwal menonton televisi dua putri kembarnya, Selena dan Seleta (12). Durasi menonton disunat habis hingga maksimal dua jam sehari, dari pukul lima hingga pukul tujuh malam. Selena dan Seleta juga cuma boleh menonton film kartun, acara musik, atau film-film pilihan. Untuk urusan diet tevisi,''Saya bisa serta merta menjadi diktator,'' kata Anna. Andai anaknya merengek minta nonton sinetron, Anna akan memilihkan sinetron tertentu--meski ia amat jarang mengabulkan. Itu pun Anna akan duduk di samping mereka selama tayangan berlangsung. ''Saya harus jelaskan mana jalan cerita yang baik dan buruk,'' tutur dia.

Diet televisi. Itu pula yang dilakoni Santi Indra Astuti (37) sejak dua tahun ke belakang. Warga Margacinta, Bandung, itu memangkas habis waktu menonton televisi anaknya menjadi maksimal satu jam sehari. Santi--yang menyebut televisi sebagai musuh besar--pun hanya 'menghalalkan' jenis tontonan tertentu saja buat Dianing (12) dan Krisna (7), dua anaknya yang masih belia. ''Diutamakan program untuk anak-anak saja,'' tutur pengamat media dari Universitas Islam Bandung, itu. Tak cukup di situ. Untuk memastikan bahwa kedua buah hatinya berada dalam 'zona aman' saat bercokol di depan layar, Santi selalu mendampingi mereka.

Santi mengeluarkan seluruh jurusnya supaya program diet televisi bagi anak-anaknya sukses. Langkah strategis pertama: Santi hanya menyediakan tak lebih dari satu unit televisi di rumahnya. Lucunya, televisi satu-satunya itu ia letakkan di lokasi paling tidak nyaman di kediamannya, yakni sebuah ruang sempit yang berbatasan dengan ruang tamu-membuat siapa pun tidak betah berlama-lama di situ.

Bukan hanya itu. Santi menaruh rak buku di sebelah kanan dan kiri kotak televisi. Tujuannya?''Supaya anak-anak lebih tertarik untuk membaca ketimbang menonton televisi,'' ujar wanita yang berprofesi sebagai dosen itu.

Tentu saja program diet televisi ini bukannya tanpa kendala. Empat bulan pertama, kata Santi, adalah masa-masa paling berat. Pertahanan kedua anaknya kerap kali bobol dan mereka pun terpaksa 'buka puasa': kembali bercokol di depan layar meski diam-diam. Maklum menonton televisi adalah kebiasaan yang menahun, dalam kadar tertentu sudah seperti makan minum. Tapi segala jurus mesti dikeluarkan. Santi mengajak mereka bertukar pikiran, berdiskusi, dan bernegosiasi. Kesepakatan pun dicapai.

Toh, kecolongan tetap selalu ada. Dianing dan Krisna amat gemar main ke rumah tetangga. Rupanya di sana mereka bisa leluasa menonton televisi, sekaligus main play station. Santi pun memutar otak. Tetapi, kata dia, tak ada jalan lain kecuali menjelaskan kepada tetangganya bahwa ia sedang menerapkan diet televisi terhadap anak-anaknya. ''Awalnya saya berfikir pasti tetangga saya menganggap saya aneh. Tapi, di luar dugaan, beberapa di antara mereka malah ada yang tertarik melakukan hal serupa untuk anak-anaknya,'' cerita Santi.

Sulitnya melarang anak menonton televisi dialami Nita (48), warga Pasar Minggu, Jaksel. Ia bahkan sempat kucing-kucingan dengan putri bungsunya, Ina (8 tahun), yang tak tahan dengan program diet televisi yang belakangan diterapkan ibunya. ''Ada saja akalnya. Nonton televisi tetapi suaranya dikecilin atau pura-pura tidur lantas nonton televisi lagi,'' cerita Nita soal putrinya itu. Saking gemasnya, Nita terpaksa memboyong TV keluarga itu ke kamar tidurnya. Kamar ia kunci.''Atau antena televisi saya umpetin,''ujar dia lagi. Toh, Nita kini mulai menuai hasilnya. Kedua anaknya, Ari (14)dan Ina (12), kini lebih suka membaca atau bermain komputer ketimbang menonton televisi.

Beri alternatif kegiatan

Soal diet TV ini, Santi tak hendak bersikap egois. Ia tetap memberi alternatif kegiatan lain bagi anak-anaknya sebagai pengganti menonton televisi. Lusinan buku dan mainan lucu adalah barang-barang yang ia pilih untuk kedua anaknya. Maka Santi rela rumahnya selalu berantakan dengan buku dan mainan. ''Itu harga yang harus saya bayar,'' papar dia.

Itupula yang disarankan Nina Armando, pengamat komunikasi Universitas Indonesia. Menurut Nina, salah satu alasan anak rajin menonton televisi lantaran mereka tidak tahu mau ngapain. Orangtua, kata Nina, karenanya harus bekerja keras memikirkan kegiatan lain guna mensubtitusi aktifitas anak menonton TV. Kreativitas itulah yang harus dimiliki orang tua. ''Menjadi orang tua memang harus mau capek,'' kata Nina. mg03/mg04/mg05/imy

Wajah tak Ramah Sinetron Remaja
--Motif kekerasan disengaja
--Anak menjadi miniatur orang dewasa dalam melakukan kekerasan --Kartunisasi. Tokoh korban tak pernah hancur. Korban akan kembali tampak segar untuk dianiaya kembali.
--Bullying di sekolah
--Guru tidak berwibawa, kadang karikatural, dilecehkan, galak sekali, dan tidak bijaksana
--Sekolah tempat melakukan kekerasan dan pacaran
--Remaja berseragam dengan make-up dan asesoris berlebihan --Baju seragam pemain perempuan pendek dan ketat
--Anak-anak sudah pacaran. Sementara pacaran remaja cukup berlebihan (excessive)BR> --Setting sekolah: kelas sosial menengah ke atas
--Remaja populer bukan karena prestasi akademis atau karakter tetapi dari penampilan fisik, kekayaan, dan geng.
--Fenomena geng banyak ditampilkan--pintu masuk bullying

sumber: makalah Nina Armando/ http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=326236&kat_id=375

Tidak ada komentar: