Sinetron remaja sarat kekerasan. Anak-anak dan remaja membeo kekerasan dari sinetron.
Aksi saling dorong, saling pukul, dan saling jambak berseliweran di ruang tengah kediaman Santi Indra Astuti (37 tahun) di kompleks Margacinta, Bandung, malam itu. Duel antaranggota keluarga? Bukan. Hiruk pikuk itu sesungguhnya berlangsung dalam sebuah kotak bernama televisi. Dan, panggung kekerasan di layar kaca itu bernama sinetron remaja.
Santi jengah. Inilah yang kemudian membikin dia melakukan langkah radikal dua tahun ke belakang. Ia memberlakukan sebuah diet unik untuk kedua anaknya: Diet televisi. Program diet ini membatasi durasi anaknya menonton televisi, menjadi maksimal satu jam sehari--itu pun mesti ia dampingi.
Bukan cuma itu, Santi juga sengaja memboyong kotak televisinya ke tempat yang tidak nyaman, pada sebuah ruangan berukuran sempit yang terletak beberapa jengkal dari ruang tamu. Maksudnya,''Supaya anak-anak nggak betah berlama-lama di situ,'' ujar dia. Kepada Republika, Santi, yang dosen komunikasi Universitas Islam Bandung, menyatakan: saat ini televisi adalah musuh besar yang harus dihindari.
Tak sedikit Santi-santi lainnya di negeri ini. Mereka adalah ibu-ibu yang mulai melek media. Mereka adalah ibu-ibu yang terusik kesadarannya oleh pameran kekerasan di layar kaca. ''Kekerasan dalam sinetron memang sudah kelewat vulgar,''tutur Yeti (41), warga Depok. '' Takut ditiru anak-anak,'' lanjut ibu empat anak ini.
Yeti masih ingat betul soal perilaku berangasan Hani (9), putri ketiganya, yang ia duga akibat 'over dosis' menonton sinetron. Suatu waktu, lantaran sedang jengkel, sang bocah itu sekonyong-konyong membentak Yeti dengan gaya yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. ''Ngapain lu?'' kata Yeti menirukan Hani yang saat itu mengomelinya sembari bertolak pinggang. Yeti kontan bingung: dari mana gerangan si upik belajar perilaku kasar model begini? Sejak saat itu Yeti mulai memangkas jam menonton televisi Hani. Kebetulan putri ciliknya itu maniak sinetron.
Banjir kekerasan di layar kaca.
Itulah temuan para peneliti dari 18 perguruan tinggi (PT) di Indonesia tentang sinetron, khususnya sinetron remaja. Hasil riset yang dipublikasikan akhir Februari lalu itu bagai membenarkan kecemasan para ibu-ibu soal wajah garang sinema elektronik--disingkat sinetron--yang sejatinya telah berlangsung bertahun-tahun. Inilah riset massif pertama soal sinetron remaja, melibatkan 67 periset dari pelbagai PT di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, menganalisis isi 92 judul sinetron remaja sepanjang 2006 hingga 2007, meliputi 362 episode dengan total durasi 464 jam.
Para akademisi ini menghasilkan kesimpulan suram. Kekerasan, menurut mereka, telah menjadi porsi utama dalam plot dan adegan sinetron remaja, bukan lagi semata bumbu untuk memunculkan kontras dan konflik. ''Kekerasan adalah inti cerita itu sendiri,'' tutur Nina Armando, salah satu tim peneliti, dalam ekspose hasil riset tersebut di Universitas Paramadina, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Hampir separuh kekerasan yang berseliweran di layar kaca (44,52 persen) merupakan kekerasan psikologis. Kekerasan ini tecermin lewat perilaku mengancam, memaki-maki, mengejek, melecehkan, memarahi, memelototi, dan membentak. Porsi terbesar kedua ditempati kekerasan fisik (22,82 persen). Selanjutnya adalah kekerasan relasional (9,87 persen). Ini sejenis kekerasan yang mengakibatkan rusaknya hubungan antarkarakter atau antarkomunitas, tecermin lewat perilaku seperti menggunjing, memfitnah, atau menyebar desas-desus--wanita adalah pelaku utama.
Perlu dicermati bahwa seabrek kekerasan ini tidak muncul sekonyong-konyong. Riset menunjukkan 90 persen dari kekerasan telah direncanakan oleh pelakunya alias disengaja, menguatkan tesis bahwa kekerasan adalah nyawa dari sinetron itu sendiri. Kekerasan bahkan hadir dalam bentuknya yang 'mutakhir'. ''Kekerasan telah diglamorisasi. Violence is glamorized,''tutur Nina Armando. Artinya, kekerasan dihadirkan sebagai sesuatu yang keren, sesuatu yang positif, bukan sesuatu yang perlu diberi ganjaran.
Siapa pelaku kekerasan? Kebanyakan remaja (51 persen). Siapa korban kekerasan? Kebanyakan juga remaja (66 persen). Soal subjek dan objek kekerasan, menurut Nina Armando, yang penting digarisbawahi justru fakta bahwa kekerasan bukan cuma berlangsung antarteman. Dalam kadar yang besar, kekerasan justru terjadi antaranggota keluarga. Ini yang gawat.
Layar lebar secara vulgar memamerkan kekerasan yang terjadi antara ibu ke anak, suami ke istri, tante ke keponakan, atau kakak ke adik. Kekerasan domestik ini diumbar secara jor-joran, ditampilkan secara terus menerus tanpa ada konsekuensi negatif, dan pada akhirnya menjadi 'sesuatu yang biasa' dalam hidup sehari-hari. Inilah 'racun' berbahaya itu.
Nina mengingatkan bahwa media memiliki peran strategis dalam menamamkan nilai-nilai (cultivation). Media berfungsi sebagai sarana pembelajaran sosial (social learning) yang ampuh, di samping sekolah formal. Maka, bombardir kekerasan keluarga lewat media, disadari atau tidak, akan mempengaruhi pandangan orang tentang bagaimana seharusnya sebuah keluarga. Dan, kotak televisi mengajarkan bentuk keluarga yang serba 'sumbing', di mana toleransi tak lagi menjadi kata penting, di mana yang kuat boleh menindas yang lemah. ''Bukankah ini sosialisasi kekerasan dalam rumah tangga?,'' tanya Nina.
Para pekerja sinetron sendiri menolak disebut meracuni masyarakat dalam karya-karyanya, apalagi secara sistematis ingin mengguncang nilai-nilai keluarga lewat sosialisasi kekerasan. Menurut Helmi A Muchtarsum, line producer rumah produksi Lunar, sinetron sebetulnya tidak lebih dari potret kehidupan masyarakat yang dituangkan ke layar kaca. Sinetron, kata dia, dibuat berdasarkan realitas sosial yang ada--sinetron karenanya tidak mengada-ngada.
Diakui Helmi, banyak sinetron yang secara logika tidak masuk akal. Namun, setiap sinetron selalu memiliki pesan moral. ''Yang baik pasti memang, yang jahat akan kalah,'' tuturnya. Unjuk kekerasan dalam sinetron pun bukannya tanpa maksud. Dengan cara inilah, menurut Helmi, si baik dan si jahat hadir secara kontras sehingga dapat diperbandingkan. Sebab, pada akhirnya, fragmen-fragmen kekerasan itu ditujukan untuk memunculkan empati terhadap tokoh yang teraniaya.
Misalnya adegan anak-anak dikurung di kamar mandi. Selain memang kerap terjadi di masyarakat, pemunculan adegan seperti ini, menurut Helmi, adalah untuk mengingatkan orang tua supaya jangan meniru hal tersebut. ''Sedih kan melihat orang diperlakukan seperti itu,'' kata dia. Pada intinya, Helmi menegaskan lagi, selalu ada pesan yang baik pada setiap sinetron.
Tapi Nina Armando sangsi terhadap argumentasi ini. Persoalannya, kata dia, banyak anak dan remaja belum bisa berpikir kritis. Karena itulah Nina menyarankan supaya orang-orang di balik sinetron saja yang berbenah diri. Mereka mesti menguasai pemahaman psikologis dan sosiologi komunikasi supaya mengerti potensi dampak tontonan terhadap khalayak muda. Lebih jauh,''Produksi tontonan untuk anak dan remaja selayaknya melibatkan para ahli yang kompeten,'' tuturnya.
Apa pun sengkarut kata yang terjadi, nalar para ibu-ibu ini sudah berteriak. Televisi, bagi mereka, jelas bukan lagi benda yang cukup ramah untuk buah hati mereka. Nita (48 tahun), warga Pasar Minggu, Jaksel, misalnya, lebih suka menyuruh Ari (14), putranya yang kelas 3 SMP, untuk main bola bersama teman-teman kompleksnya. ''Ketimbang nonton televisi nggak karuan.'' mg03/mg04/mg05/imy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar