Terhitung 1 Mei mendatang, Andy memutuskan mundur dari jabatan sebagai pemimpin redaksi Metro TV. Ke depan, dia akan menjalani bisnis, tidak jauh dari bidang media. Yaitu, mendirikan badan konsultan media.
"Aku pikir, ada menariknya kalau coba pikirkan usaha sendiri. Pamit ke Pak Surya (Paloh, pemimpin Media Group) tentu saja nggak diizinkan. Akhirnya, harus diizinkan juga dengan catatan masih pegang Kick Andy, menjabat advisor di corporate dan Dewan Redaksi diminta tetap juga. Ya sudah, nggak apa-apa," ujar Andy yang pernah dua kali menjadi Pemred Media Indonesia, dua kali menjadi pemimpin redaksi Metro TV, dan menjadi pemimpin umum Media Indonesia tersebut.
Memang pernah berniat menjadi pengusaha? "Tidak pernah. Yang aku tekuni nanti kan sama juga di media. Ya habis mau apa lagi, sudah jadi Pemred berkali-kali, kadang-kadang jenuh juga," ujarnya lantas tertawa.
Tapi, kata Andy, jurnalistik adalah dunianya. Dunia yang menarik dan sangat dicintai.
Kalau dirinya memutuskan keluar dari Metro TV, itu tak lebih dari bagian mengikuti kata hati. Andy mengaku, sebagian besar keputusan dalam hidupnya dilakukan berdasar kata hati. "Biasanya memberikan kebahagiaan. Dan ukuran kebahagiaan itu menjadi penting buat aku. Bukan berarti di Metro TV tidak bahagia. Tapi, mencari sesuatu, tantangan berikutnya dalam hidup ini," tegasnya.
Meninggalkan zona yang sudah nyaman tentu memunculkan risiko tersendiri. "Soal itu, aku sudah siap. Apa pun yang terjadi, aku siap hadapi," katanya mantap.
Lulusan Tehnik yang Cinta Jurnalistik
Berkat acara Kick Andy, nama Andy Flores Noya, 47, melejit bak selebriti. Namun, pria yang khas dengan rambut kribo dan kacamata minus itu tetap lebih senang disebut jurnalis saja.
Orang hebat biasanya memiliki masa kecil yang tidak biasa. Itu bisa dibuktikan pada kehidupan seorang Andy F. Noya. Andy mengaku, saat kecil dirinya adalah seorang yang nyentrik. Penampilannya tidak karua-karuan. Ketika sekolah, dandanannya selalu lain daripada yang lain.
Kadang-kadang rambut kribonya itu dicat kuning, merah, atau warna apa saja asalkan keren. Sepatu yang biasa dipakainya model lars kulit yang dipilox warna-warni. Andy juga sering memakai kalung dengan liontin dot bayi. "Jadi, kalau sedang iseng, dotnya aku empeng. Mungkin, itu karena jiwa seni saya yang terlalu besar," katanya saat berbincang dengan Jawa Pos di kantornya, Jumat (28/3) lalu.
Tak ayal, kelakuannya itu kerap membuat gurunya takjub. "Beberapa guru malah bilang, mau diapakan ya anak ini? Tapi, guruku juga bingung karena aku berprestasi. Aku selalu jadi juara, bahkan juara umum satu sekolah," kenang pria kelahiran Surabaya, 6 November 1960 itu.
Meski prestasi sekolahnya nyaris tanpa "cacat", pendidikan sempat membuat hidup Andy terombang-ambing dalam kebingungan. Setamat SD Sang Timur, Malang, pada 1973, sang ayah, Ade Wilhelmus Noya, memasukannya ke Sekolah Teknik (ST) Negeri Jayapura.
Tamat ST pada 1976, Andy melanjutkan ke Sekolah Teknik Menengah (STM) di Jayapura untuk jurusan mesin. Pada 1979, ayahnya meninggal dunia. Sejak itu, Andy pindah ke Jakarta dan tinggal bersama salah seorang kakaknya. Sekolahnya ikut pindah ke STM Negeri 6 Jakarta.
"Masuk sekolah teknik karena orang tua. Waktu itu kan belum diberi kesempatan memilih. Lagipula, aku belum paham. Saat itu, masuk sekolah teknik supaya cepat kerja dan nggak dibiayai lagi," tuturnya.
Menurut Andy, kondisi ekonomi keluarganya memang tidak terlalu berkecukupan. Ayahnya bekerja sebagai tukang reparasi mesin tik. Ibunda, Mady Klaarwater, bekerja menjahit pakaian.
"Aku pernah merasa ketika remaja dulu, 'iya ya bapakku ini kok cuma betulkan mesin tik, nggak ada bangga-bangganya'. Sementara orang lain bilang bapaknya jadi inilah jadi itulah," kisahnya.
Tapi, lanjut Andy, belakangan dia mulai menyadari bahwa profesi itu tidak membatasi seseorang untuk memberikan nilai dalam kehidupan ini. "Karena aku merasa banyak sekali nilai hidup yang berguna dari orang tua, terutama ayah," ungkapnya.
Enam tahun sekolah teknik ternyata tidak menempa Andy untuk menjadi teknisi. Sebaliknya, bakat terpendam yang tidak dipelajari secara formal semakin terasah. Bakat itu adalah menulis dan menggambar.
Ketika SD, gambar Pangeran Diponegoro dan RA Kartini buatannya sampai dipajang di ruang kesusteran (istilah ruang kepala sekolah, Red.). Guru bahasa ketika itu juga mengatakan Andy pintar mengarang sehingga cocok jadi wartawan.
"Ada dua guru yang mengatakan seperti itu. Guru SD dan ketika ST. Waktu itu suka mengarang dan bikin puisi, katanya aku sebaiknya jadi wartawan. Pikirku waktu itu, wartawan itu apa? Kerjaannya apa?" ujarnya.
Setamat STM, anjuran dua guru itu ternyata makin kuat di pikirannya. Sebenarnya Andy dapat beasiswa jika mau kuliah jurusan teknik mesin karena dia menjadi juara umum di sekolah. Namun, hatinya tidak ke sana.
"Tanpa disengaja aku baca majalah ada tulisan bahwa jika Anda ingin jadi wartawan di Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Red). Nah! Ini sekolah saya. Sebenarnya nyaris tidak diterima karena dari sekolah teknik. Dengan segala cara akhirnya rektornya mengizinkan. Bahkan, masuk semester dua disuruh siap-siap jadi asisten dosen," ungkapnya.
Bakat menulis dan menggambar Andy semakin tersalurkan setelah dia menyandang status mahasiswa. Andy sering kirim artikel, karikatur, dan kartun ke beberapa media dan dimuat.
"Dulu itu kartun dimuat bayarannya Rp 4 ribu, karikatur Rp 15 ribu, dan cerpen Rp 15 ribu. Aku ambil setiap bulan. Kadang juga jual kartu ucapan dari karton aku lukis pakai cat air jual Rp 3 ribu. Lumayan, untuk tambahan karena aku juga dikasih ongkos sama kakak walau tidak banyak," ulas Andy yang bisa melukis karena keturunan ayahnya itu.
Pada 1985, majalah Tempo membuka lamaran bagi para calon reporter untuk proyek pembuatan buku Apa Siapa Orang Orang Indonesia. Andy ikut serta dan sejak saat itu dia kenal lingkungan media tersebut.
"Tiba-tiba waktu di toilet ketemu orang Tempo, namanya Rahman Toleng. Katanya, aku siap-siap jadi wartawan majalah Tempo, Pak Goenawan Muhammad tertarik. Saat itu aku memang produktif dan katanya tulisannya paling bagus," kisahnya.
Tapi, Andy akhirnya memilih jadi wartawan harain Bisnis Indonesia yang baru saja didirikan oleh orang Tempo, Lukman Setiawan. Satu setengah tahun kemudian, dia diajak pindah ke majalah Matra oleh Fikri Jufri sampai 1992. Lalu, di Media Group sampai 16 tahun lamanya. "Kuliah saya nggak tamat. Sejak masuk proyek Tempo, kakak saya sudah nggak mampu lagi biayain," ceritanya.
Terhitung sudah lebih dari dua puluh tahun Andy menjadi seorang jurnalis. Lewat acara Kick Andy, namanya kini makin dikenal. "Tapi, aku terganggu dengan stigma jadi selebriti. Aku tetap jurnalis. Selebriti itu kesannya artis, orang terkenal yang kerja di dunia hiburan," katanya. (sugeng sulaksono/ayi)
Digoda Istri setelah Investigasi "Khusus"
Andy sangat bersyukur mendapatkan pendamping hidup seperti Retno. Menurut dia, perempuan yang telah memberinya tiga permata hati itu berperan besar dalam suksesnya saat ini. Sang istri tak pernah rewel melihat kesibukan Andy yang begitu padat. "Misal saya nggak bisa pulang karena pekerjaan, asal kasih tahu saja, dia paham," pujinya.
Sebegitu besar pengertian Retno, bahkan ketika Andy harus menghadapi pekerjaan yang sedikit "membahayakan", tidak ada masalah yang muncul di antara mereka. Misalnya, cerita Andy, suatu saat dia mendapat tugas melakukan liputan investigasi soal seks di kalangan mahasiswa dan seks di kalangan wanita karir.
Investigasi itu mengharuskan Andy membuat janji dengan seorang perempuan yang menjadi objek berita di sebuah motel. Layaknya pelanggan, Andy harus booking dan membayar "jasa." "Dia (Retno, Red) rileks saja. Paling nyindir, 'kan sudah bayar, masak sih nggak sepukul dua pukul?" cerita Andy lantas tertawa.
Andy menikahi Retno pada Februari 1987. Tanggalnya dia lupa. Dulu, Retno adalah sekretaris di majalah Tempo. "Dia yang menerima surat lamaran saat saya mau masuk proyek buku Tempo. Dia juga yang ngasih surat kalau diterima. Dia yang ngasih honor pertama. Terakhir, aku kawini saja dia," kenangnya.
Meski tidak terlibat di Kick Andy, Retno tidak jarang memberi ide kepada Andy soal siapa yang diangkat di acaranya itu. Ide mendatangkan Dahlan Iskan sebagai penulis buku Ganti Hati dan Andrea Hirata pengarang tetralogi Laskar Pelangi itu salah satu contoh.
"Buku Ganti Hati itu aku beli sudah lama. Lupa tidak dibaca, bahkan tidak sadar beli lagi jadi dua. Setelah ditegur istri, baru ingat. Bukunya bagus. Menghadapi maut, tapi ditulis dengan jenaka," ucap ayah dari Mario Randy Lamas Noya (kuliah fotografi di Malaysia), Parama Marco Randy Noya, dan Marlo Ernesto Randy Noya itu. (gen/ayi)
jawa pos, 30/3/2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar