24 Maret 2008

Agnes

Eros Djarot—seperti diakuinya sendiri—adalah orang "jadul" alias "jaman dulu". Untuk album lagu yang tengah digarapnya sekarang, salah satu dari beberapa penyanyi muda yang katanya didapatnya dari hunting adalah finalis Indonesian Idol. "Sampai latihan beberapa kali aku tidak tahu kalau dia Indonesian Idol. Aku baru tahu ketika diberi tahu anakku," katanya tertawa.

Banyak orang dari generasi yang tidak terlalu terikat dengan hiburan televisi seperti makhluk ketinggalan zaman. Dalam sebuah esainya, novelis terkenal Salman Rushdie—ia juga mengaku sebagai eksponen "jadul", tak paham bagaimana orang bisa suka boy band—tetap tak tergerak untuk melirik reality show meski orang di sekelilingnya, baik di Inggris maupun Amerika, ribut membicarakan nama yang melejit dari program itu. Ia bakal tak mengenali tokoh yang diperbincangkan masyarakat tersebut andaikan berpapasan di mal, bahkan seandainya tokoh itu berdiri di depannya—telanjang sekali pun.

Seperti dunia konsumsi, televisi menginfiltrasi kesadaran tanpa terasa, kecuali tiba-tiba kita mungkin merasa "jadul". Siapakah yang terlalu menalar bahwa mal bukan hanya menyajikan pelayanan atas barang dan jasa, melainkan pabrikasi keinginan—manufacturing of wants—kalau meminjam istilah Benjamin Barber dalam bukunya Consumed. Ada generasi yang dari kelahirannya seperti ditakdirkan untuk berbelanja— istilah Barber: "born to shop". Pasar secara hiperbolik bisa digambarkan telah mengorup anak dan menjadikan orang- orang dewasa kekanak-kanakan.

Hampir serupa, televisi—juga dalam proses pabrikasi keinginan—telah berhasil menggeser sejumlah cita-cita. Dulu, orangtua menjual sawah untuk membiayai anak sekolah. Kini, dalam reality show kita melihat pengakuan orangtua disertai linangan air mata penuh harap atas janji dunia perbintangan, menjual sepeda motor bapak untuk membiayai anak mengikuti adu nyanyi di televisi. Telah lahir kasta sosial baru disebut "selebriti" (dalam hal ini ada selebriti senior, yunior, muda, madya, dan seterusnya) yang banyak orang ingin menggapainya.

Televisi telah mengganti realitas lama dengan realitas baru, new virtual realities, yang lebih gemerlap, lebih menyilaukan, lebih menyenangkan. TKW bisa tersia-sia, dan bisa sangat memiriskan nasibnya kalau kita membaca karya Etik Juwita, pembantu rumah tangga asal Blitar yang piawai menulis cerpen. Hanya saja, dalam bahasa gaul kota besar, "Siapa tuh…"

Yang dikenal luas adalah Sandra Dewi, si Mbak Indah dalam sinetron, yang barangkali membuat semua majikan lelaki berangan-angan ingin punya pembantu yang suka membetulkan kerah baju majikan seperti itu. Atau seperti Agnes Monica, si Jelita dalam sinetron dengan judul sama, yang meski digambarkan sebagai gadis miskin, rumahnya berdinding gedek, tetapi rambutnya sangat boleh jadi potongan Lu'vaze. Bahkan kalau Anda lebih cermat lagi, tiap minggu toning rambutnya kelihatan berbeda loch.

Ini semacam kesadaran, seperti bagaimana dulu Amerika menyikapi pengalaman Perang Vietnam. Mereka boleh terpepet di Danang, terusir dari Saigon, tetapi mereka selalu menang di film. Bangsa kalah yang pandai menghibur diri.

Dulu dalam satu sajaknya Rendra pernah menulis, "…gagah dalam kemiskinan". Kini, realitas yang disodorkan televisi: glamor dalam kemiskinan.

Agnes, oh Agnes…. (BRE)

disalin dari kompas 23/3/2008

Tidak ada komentar: