Republika, Suarapublika, 19/3/2008
Setiap stasiun televisi di Indonesia mempunyai acara kontes-kontesan. Tengok saja Idola Cilik, API, AFI, Indonesian Idol, KDI, dan sebagainya. Sejatinya, tujuan dari acara ini bukan sekedar mencari bibit penyanyi terbaik. Acara ini juga sebagai bentuk bisnis SMS premium. Bisnis ini sangat menggiurkan, lagi pula aman dari jeratan hukum.
Mari kita hitung. Satu kali kirim SMS biayanya Rp 2000. Dari jumlah ini, sekitar 60% untuk penyelenggara SMS Center (Indosat, Telkomsel, dan sebagainya). Sisanya, yang 40%, untuk 'bandar' (penyelenggara) SMS. Siapa saja bisa jadi bandar, asal punya modal untuk sewa server yang terhubung ke internet nonstop 24 jam per hari dan membuat program aplikasinya.
Jika dari satu SMS ini 'bandar' mendapat 40% (artinya sekitar Rp 800), maka jika yang mengirimkan sebanyak 5% saja dari total penduduk Indonesia, bandar ini bisa meraup uang sebanyak Rp 80 milyar. Jika hadiah yang diiming-imingkan adalah rumah senilai 1 milyar, itu artinya bandar hanya perlu menyisihkan 1,25% dari keuntungan yang diraupnya sebagai 'biaya promosi'. Padahal, satu orang biasanya tidak mengirimkan SMS hanya sekali. Masyarakat diminta mengirimkan SMS sebanyak-banyaknya agar jagoannya tidak tersisih, dan 'siapa tahu' mendapat hadiah.
Kata 'siapa tahu' adalah untung-untungan, yang mempertaruhkan pulsa handphone. Pulsa ini dibeli pakai uang. Artinya, kuis SMS adalah judi. Keadaan seperti ini bisa menyesatkan. Kondisi ini sudah sangat menyedihkan, bahkan sangat gawat. Lebih parah daripada zaman Porkas atau SDSB.
Jika dulu orang untuk bisa berjudi harus mendatangi agen, jika dulu zaman jahiliyah orang berjudi dengan anak panah, sekarang orang bisa berjudi hanya dengan beberapa pencetan jari di pesawat handphone.
Rosi Sugiarto, Pondok TK Al Firdaus Jatisari BSB Mijen Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar