03 Februari 2008

"TVRI" MEMBURU CITRA PUBLIK

Oleh Teguh Imawan

Bulan Agustus merupakan bulan televisi di Indonesia. Hampir sebelas stasiun televisi merayakan ulang tahun kelahiran dengan angka berbeda. Sebagai stasiun televisi tertua, pada Agustus 2006, TVRI merayakan ulang tahun ke-44.
Bulan ini pula, Dewan Pengawas (Dewas) TVRI sebagai wakil pihak pemerintah, masyarakat, dan pegawai TVRI merekrut, menseleksi, dan menetapkan personel untuk mengisi posisi kunci lembaga penyiaran nasional milik pemerintah. Bila menilik rumusan persyaratannya, tercium semangat perubahan dalam penyelenggaraan TVRI.
Namun, di tengah upaya menjaring tenaga profesional (berpengalaman dan berkompeten), independen (tak terkait kepemilikan media dan menjadi fungsionaris partai politik), dan berorientasi bisnis, TVRI di mata pemirsa masih ada noda.

Noktah
Noktah politis negatif tampak menganga lebar di tubuh TVRI. Ambisi politis TVRI membuat pemerintah abai kalkulasi fisibi- litas ekonominya. Garin Nugroho (2005:42) mencatat TVRI adalah jabang bayi politik mercusuar Asian Games 1963.
Kemudian Orde Baru menekuk TVRI sebagai agen penerangan. Saat swastanisasi 1990-an, televisi adalah medium hiburan dan informasi, namun tetap dalam perspektif mendukung dan tidak menganggu kekuasaan Orde Baru.
Intinya, sejarah TV Indonesia adalah sejarah penggunaan televisi untuk penegakan kekuasaan, bukan medium pendidikan nilai politik serta medium kampanye partai dalam atmosfir demokratisasi.
Kuatnya pagutan kepentingan politis juga membuat status TVRI gampang beralih rupa. Setiap ganti presiden, status hukum dan orientasi TVRI terimbas.
Seolah TVRI hendak membuat rekor MURI sebagai lembaga penyiaran tersering berubah status dan orientasi. Mulai yayasan, organ Departemen Penerangan, Perusahaan Jawatan, Perseroan Terbatas, hingga TV publik.
Meski status TVRI berubah berkali-kali, persepsi kekuasaan politik tak berubah. Masih segar dalam ingatan, fungsionaris Partai Golkar menegur TVRI.
Pangkal teguran dan kemarahan itu adalah ketika Presiden Megawati menyampaikan pidato tentang supremasi hukum, TVRI menam-pilkan gambar Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung, di persidangan sebagai ilustrasi. Akhirnya, TVRI memohon maaf melalui running text dan tayangan di malam harinya.
Di era pemerintahan SBY, TVRI diposisikan sebagai lembaga pe- nyiaran publik sebagaimana amanat UU Penyiaran. Melalui status TV Publik yang independen, netral, dan tidak komersial, TVRI hendak digugah kembali melayani kepentingan publik.
Jejak rekam TVRI memperlihatkan betapa susahnya membenahi TVRI. Publik tak habis pikir bagaimana mungkin pekerja sarat pengalaman dan profesional penyiaran yang pada masa awalnya ingin berebut memimpin TVRI, kenyataannya "lempar handuk".

Tantangan
Siapa pun anggota Dewas niscaya tercenung jika menerawang masa depan TVRI. Khususnya saat menghitung faktor 10 televisi swasta nasional yang telah menguasai pasar pemirsa.
Melihat ketatnya persaingan televisi, tak ada pilihan lain bagi TVRI kecuali mencari terobosan alternatif. Tanpa langkah itu, mustahil rasanya TVRI bisa bertahan di palagan penyiaran.
Singkat cerita, napas hidup TVRI amat sangat bergantung pada kemampuan Dewas memahami problem mendasar yang membelitnya. Selain pada keberanian Dewas mengambil keputusan manajerial. Tanpa langkah itu, segala kekuatan dan peluang yang tersisa pada TVRI akan jalan di tempat.
Problem mendasar dan besar Dewas TVRI - sebagaimana stasiun penyiaran milik pemerintah seperti ABC, BBC, dan NHK di Australia, Inggris dan Jepang- adalah meyakinkan kepada siapa saja, bahwa perlu dibedakan antara pemilikan dengan penyelenggaraan siaran.
Pemilikan tidak berarti mencampuri oto- nomi penyelenggaraan siaran.
Memang, menjadikan seluruh modal dan aset milik pemerintah menjadi milik swasta, pasti mengundang tanda tanya besar.
Tapi kalau yang dimaksud adalah menggunakan sistem manajemen ala swasta, yaitu berdasarkan prinsip modal dan aset, serta target ekonomi yang dikaitkan pertanggung jawaban atau akuntabilitas, semua kalangan tentunya akan mendukungnya.
Jadi, mekanisme pengelolaan TVRI tidak lagi bersandar pada kewenangan dan kekuasaan birokrasi. Tapi lebih ke sisi menghadapi masa depannya, dalam konteks "gelora jaman" kemajuan masya- rakat, dan persaingan dengan televisi swasta domestik dan manca- negara.
Jauh-jauh hari, Ashadi Siregar (1994) mengungkapkan, kalau mau jujur, sebenarnya belum ada transparansi pendanaan TVRI. Publik masyarakat tak pernah diinformasikan tentang total pendapatan TVRI dan rasio yang digunakan untuk penyelenggaraan produksi dan siaran selama beriklan.
Padahal, TVRI pernah mempunyai aneka sumber dana, yaitu iklan dan sponsorship, iuran masyarakat, dan APBN. Dari ketiga sumber ini, hanya APBN yang memiliki akuntabilitas internal (inspektorat departemen penaung) dan eksternal (BPKP, BPK, KPK). Sementara dana dua sumber lain- nya digunakan tanpa akuntabilitas eksternal.
Hanya melalui transparansi pendapatan dan penggunaan dana, masyarakat dapat menilai sejauh mana kontribusinya dalam siaran yang ditontonnya.
Pengelola TVRI sendiri dapat memaksimalkan dana yang diperolehnya untuk peningkatan program siaran. Karena itu, mengalirnya dana masyarakat ke sektor dan kepentingan lain, perlu diamati bersama-sama.
Dalam transparansi itu distribusi dana untuk stasiun TVRI di seluruh Indonesia pun dapat dijalankan dengan rasional.
Di luar dana, persoalan lain yang jauh lebih penting adalah soal otonomi penyelenggaraan TVRI. Bagi institusi media, sikap otonom lebih besar bobotnya ketimbang aspek dana.
Melalui otonomi ini dapat diproyeksikan hubungan lebih erat dengan publik pemirsanya. Artinya, TVRI harus menjadikan pe- mirsa (bukan birokrasi) sebagai "majikan".
Bila orientasinya jelas, maka langkah operasional bagian program acara, marketing/iklan, teknik, dan unit pendukung siaran lain gampang menjabarkan. Tetapi, tanpa penjabaran terintegrasi kinerja TVRI kian terpuruk.
Karena itu, publik telah bosan mendengarkan komitmen, janji, mimpi, atau angan-angan belaka, tapi lebih mendambakan implementasinya, terobosan manajerial organisasi, serta susunan pola acara siaran yang kompetitif.
Inilah saat point of no return bagi TVRI. Bila gagal meyakinkan publik mengenai penyelengga- raan siaran secara transparan dan otonom, maka tamatlah riwayat TVRI.
Inilah momentum Dewas mandi keringat membenahi TVRI agar tak bersimbah darah dari cengkeraman kooptasi politik, serta lolos gencetan kepentingan bisnis sesaat dan sempit.
Inilah kesempatan emas Dewas menahan longsornya citra kelam TVRI. Sekaligus momentum mendongkrak komposisi, strategi, dan kualitas program. Serta kesempatan mengerek billing penjualan iklan dan "merawat" karyawan, maupun menajamkan segmen dan jumlah pemirsa.
Kalau tidak, sekali lagi, perubahan orientasi ke TV publik hanya sebatas slogan belaka, belum merambah ke perubahan citra publik.


Suara Pembaruan, 24 Agustus 2006, halaman opini
http://www.suarapembaruan.com/News/2006/08/24/index.html

Tidak ada komentar: