03 Februari 2008

SMS TV DAN KEMATIAN SOSIAL

Oleh Teguh Imawan


Kini, slot malam dan dini hari televisi sarat tayangan tipe program acara kuis SMS (short message service) berhadiah. Nama acara dan jenis permainan beragam, namun hakekatnya sama. Yakni, pihak televisi sedang "menarik" uang penontonnya. Produser acara memeras kreativitas untuk mengemas acara kuis semenarik mungkin. Sehingga, penonton yang tak waspada menjadi "terlena" mendamba hadiah, dan televisi bertindak selaku "bandar"nya.
Meski nama acara berlabel kuis, toh tak terlihat upaya "mencerdaskan" penontonnya, karena soal sangat gampang ditebak jawabannya. Kesannya, soal hanya sekadar "formalitas" belaka, dan yang penting bagaimana menyedot SMS penonton sebanyak-banyaknya.
Kehadiran acara kuis SMS TV dapat disaksikan di layar kaca TPI, Global, RCTI, dan Lativi. TPI menyiarkan Iseng-iseng, Klop di Global, Goyang Pol di RCTI, serta Bolam tampil di Lativi.

Karakteristik
Ciri umum kuis SMS, pertama, materi soal kuis gampang ditebak, tapi besar uang hadiah, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Tarif SMS sekali kirim sebesar Rp 2.000 untuk setiap SMS. Itulah kategori tarif premium, karena nilainya enam kali lipat dibanding tarif SMS biasa sebesar Rp 300 per SMS.
Gampangnya jawaban pertanyaan kuis juga karena adanya faktor petunjuk (clue) dari presenter kepada penonton. Bahkan, presenter acara (secara sengaja) berlagak keceplosan bicara sebagai "modus" membocorkan jawaban.
Contoh, pada permainan "Siapa Dia" Goyang Pol RCTI. Penonton diminta menjawab nama orang (Pebulutangkis Taufik Hidayat) yang wajahnya ditutup dengan 9 kotak. Dalam waktu 20 menit, sebelum gambar wajah Taufik Hidayat jelas terlihat, presenter Arie Untung memberi tiga petunjuk. Yakni: ia pemain bulutangkis kelas dunia, ia bukan Taufik Savalas, dan ia mungkin senang menonton sinetron Hidayat, eh Hidayah.
Soal gampang serupa terlihat dalam Klop Global. Kepada penonton ditanyakan: "Pelantun lagu dangdut "Selamat Malam". Disediakan dua pilihan jawaban, yaitu Evita Peron dan Evi Tamala. Presenter memberi petunjuk kalau penyanyi itu dari Tasikmalaya. Nah, saat mengeja kota TA-sik-MALA-ya, presenter memberi tekanan dan menggiring benak penonton ke TAMALA. Pun demikian, saat Peggy Melati Sukma memandu Iseng-Iseng TPI. Ketika meminta penonton menebak nama bunga dengan hadiah Rp 15 juta, ia memberi petunjuk, nama bunga tersebut terdiri dari suku kata AL-EM-IT. "Kira-kira nama belakangnya artis senior Rima...ehh, bocor deh," ceplos Peggy.
Kedua, besar uang hadiah dinaikkan secara bertahap. Eskalasi pemberian hadiah ini merupakan kiat untuk mengisi durasi siaran selama 60 menit hingga 120 menit atau dua jam. Uang hadiah diberikan ke penonton setiap 20-30 menit sekali.
Syarat menerima hadiah uang adalah mampu menjawab benar pertanyaan. Penonton yang di telepon presenter disaring melalui acak PIN. Dengan demikian, faktor keberuntungan sangat menentukan dalam acara kuis TV.
Ketiga, acara kuis SMS ini memiliki potensi besar menangguk uang. Produser Iseng TPI mengungkapkan, dalam setengah jam bisa menerima 190.000 SMS. Kalau dikonversi ke uang, jumlah SMS itu senilai Rp 380.000.000 (Rp 2.000 X 190.000 SMS), atau Rp 760 juta per jam. Melihat total uang itu, total hadiah kuis yang disebut-sebut besar itu (Rp 10-40 juta) sebenarnya terbilang kecil.
Salah satu komponen kunci sukses acara kuis SMS terletak pada siapa presenternya. Terlebih dalam kultur penonton televisi Indonesia yang masih kental budaya panutan. Posi- si presenter layaknya SMSgetter (penangguk SMS), mengambil analogi votegetter oleh artis saat coblosan pemilu.
Masuk akal bila produser kuis SMS memasang presenter dikenal penonton seperti presenter infotainment, penyanyi, atau artis. Sebut saja, Arie Untung membawakan acara Goyang Pol RCTI, Melly Zamri (Klop Global), Peggy Melati Sukma (Iseng-Iseng TPI), Tessa Kaunang dan Iwa K (Bolam Lativi).
Selama membawakan acara, presenter berada di layar dan produser di balik layar. Keduanya berjuang menggaet SMS sebanyak-banyaknya. Produser mendesain acara semenarik mungkin, dan presenter berulang-ulang mengingatkan penonton mengetik kata tertentu untuk dikirim ke nomor tertentu.
Aneka macam teknik retorika disajikan presenter mengisi durasi siaran. Bila presenternya perempuan, maka gaya merajuk dan merayu dominan, di samping menyemangati penonton mengirim SMS. Corak itu mengingatkan pada iklan partyline di media cetak. Kesamaan lain adalah seolah mau "membuka mata" penonton dengan mengenakan busana "terbuka" ala you can see atau sejenisnya.
Semua presenter, pria atau wanita, sama-sama bersudut pandang konsumtif ketika menggiring penonton membayangkan untuk apa uang hadiah digunakan. Misalnya, berganti-ganti mewarnai rambut, membeli pakaian, membeli sepeda motor, mentraktir teman, dan sejenisnya.
Ada presenter yang berusaha melenakan daya kritis penonton dengan mengandaikan dirinya sebagai mesin ATM. Sebagai ATM, agar uangnya keluar, penonton perlu mengirim SMS yang diibaratkan sebagai penggeseknya. Hal sama juga ditempuh memberikan gambaran betapa zaman telah berubah. Mendapatkan uang jutaan tak perlu kerja kerja berjam-jam. Itu cara kerja kuno, dan yang modern adalah cukup kirim SMS saja, jutaan rupiah di kantong.

Kematian Sosial
Tampak sekali, kuis SMS bergelimang uang dan acara kian canggih menundukkan dan melenakan daya kritis penonton. Semangat utama televisi lebih didasarkan kalkulasi keuntungan finansial. Di sisi lain, aroma eksploitatif itu bertemu dengan penonton permisif karena canggung hidup dalam kemajuan teknologi informasi dan komuni- kasi.
Kemutakhiran zaman itu, membuka ruang baru bernama ruang sosial virtual/artifisial, dan bukan ruang sosial nyata (real). Kuis SMS merupakan salah satu petak dalam ruang sosial virtual. Sebuah arena masyarakat menjalankan aktivitas sosial dalam wujudnya yang artifisial.
Kondisi kehidupan seperti ini membuat orang menghabiskan waktu dalam realitas virtual, bukan realitas nyata. Sehingga, muncul persoalan mendasar berupa lemahnya kontrol sosial, moral, dan kultural di dalamnya. Sebagaimana disebut Yasraf Amir Piliang (2004: 114), ketika dalam sebuah ruang sosial, seperti televisi, tidak ada lagi kontrol sosial oleh negara, institusi agama, atau masyarakat, maka yang terbentuk adalah kematian sosial.—

http://www.suarapembaruan.com/News/2006/08/04/index.html

Tidak ada komentar: