03 Februari 2008

MENGHARAMKAN “REPUBLIK INFOTAINMENT”

Oleh Teguh Imawan

Ulama NU mengambil sikap tegas. Infotainment difatwa haram, karena tayangan tersebut digolongkan ghibah, bergunjing. Khususnya mempergunjingkan menggunjingkan rumah tangga (artis, selebritis, narasumber).
Infotainment dipandang lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Ajaran agama menekankan, rahasia rumah tangga orang boleh dibuka karena ada alasan untuk kepentingan umum. Isi infotainment selama ini oleh ulama dipertanyakan kemanfaatannya bagi umum/publik.
Padahal, berdasar tolok ukur rating, acara infotainment merupakan andalan televisi menyedot jumlah penonton. Karena ditonton, televisi menggeber produksinya sehingga infotainment telah menjadi konsumsi publik sehari-hari. Dalam lima tahun terakhir, tak kurang telah tayang sekitar 120 judul acara infotainment. Ada yang sukses, tapi banyak pula yang terkubur.
Dalam bulan Juni-Juli 2006, tercatat sekitar 30 acara infotainment hadir di layar kaca. Sehari saja, penonton bisa melihat 18 sampai 25 tayangan infotainment di televisi, kecuali TVRI dan Metro TV. Tak salah bila disebut, penonton bak hidup di negeri “Republik Infotainment”.

Legitimasi
Pertanyaan sosiologi televisinya adalah, mengapa infotainment begitu merajalela? Di bawah tekanan pengelola televisi agar infotainment menggaet rating setinggi-tingginya, produser infotainment mau melakukannya. Segala cara ditempuh untuk menyajikan tayangan eksklusif demi memenangkan persaingan. Dalam hal ini, supremasi visual peristiwa menjadi poin emas meraih keunggulan.
Sementara itu, narasumber memekik karena dilanggar privasinya. Ada artis-selebritis gerah dan gelisah dengan ekspos pada hal-hal yang dianggap wilayah pribadinya. Sehingga mencuat wacana memprotes legitimasi awak production house infotainment meliput, mewawancarai, dan mengorek-ngorek kehidupan pribadi artis.
Seolah tak mau repot, ada pengelola televisi mengambil jalan pintas, dengan memproduksi sendiri (in-house) infotainment. Dengan begitu, pasokan acara akan tersedia bila production house karena alasan tertentu tak bisa memproduksi infotainment. Soal legitimasi menjadi jelas ketika organisasi wartawan PWI mengakui keberadaan awak pekerja infotainment dan bisa menjadi anggotanya.
Produser infotainment tetap memandang, bahwa artis-selebritis itu telah menjadi milik masyarakat (public figure). Sehingga, tiada lagi area pribadinya yang luput dari liputan dan sorot kamera. Sepribadi apa pun persoalan artis-selebritis, otomatis kesemuanya itu dianggap menjadi milik bersama.
Pengelola infotainment mengaku tidak mengada-adakan isu, alias tetap berpedoman pada fakta. Bahwa ada seorang pemain sinetron yang kini menjadi anggota DPR, misalnya, pernah menelepon langsung ke pihak infotainment untuk menginformasikan perihal masalahnya dengan istri yang dikenal sebagai penyanyi.

Memergok
Masalahnya, panasnya suhu persaingan infotainment antar televisi memompa semangat kerja produsernya untuk berjuang habis-habisan mempersembahkan tayangan tereksklusif. Citra eksklusif digeggam bila visual tayangan tidak dimiliki oleh infotainment pesaingnya.
Patokan itu melecut tingkat persaingan memburu artis maupun selebiritis kian tajam. Terlebih ketika standar layak tayang materi infotainment adaalah visual yang memiliki “power stoping”, membuat penonton terperangah karena “keributan” gambarnya.
Visual eksklusif tersebut menjadi pengerek gengsi wartawan infotainment. Dirinya merasa sempurna menjalankan tugas wartawan televisi, yakni memperoleh visual peristiwa secara eksklusif. Sebuah ikon prestatif seorang wartawan televisi.
Spirit menghadirkan visual eksklusif wartawan infotainment memunculkan teknik liputan dengan gaya memergoki narasumber, atau jurnalisme kepergok. Tujuannya, adalah mendapatkan rekaman visual eksklusif, baik dengan “mengintip” dalam arti sesungguhnya, maupun kamera tersembunyi (hidden camera).
Bila dipandang perlu, wartawan mendirikan tenda di sekitar rumah artis untuk tempat tidur dan menunggui narasumbernya. Berita hasil memergok itu akan dieksploitasi habis-habisan. Jurnalisme kepergok membuat standar layak muat berita infotainment berubah.
Kasus pacaran, kawin, cerai, selingkuh, dan pisah ranjang turun bobotnya, dan tak lagi dianggap kelas A-1 (andalan merenggut pemirsa). Padahal, sebelumnya tema percintaan dan kisruh rumah tangga bisa ditayangkan berseri-seri layaknya sinetron.
Kasus perceraian artis, cek-cok keluarga, dan perebutan anak misalnya, digeber habis-habisan. Kisah mereka disorot detail hingga ke wilayah yang sangat pribadi, termasuk urusan di kamar. Jika selebriti yang bercerai tersebut mempunyai anak, akan muncul ”episode” lebih panjang. Informasi dikembangkan ke anak-anak mereka, misalnya, soal perwalian.
Cerita makin seru jika pihak keluarga artis yang berseteru ikut terlibat. Tak peduli bapak, mama, mertua, kakak, teman dekat, atau tetangga. Semua bisa digali untuk mengolor-olor episode.
Ketika infotainment telah menerjang norma dan bermetamorfosis kemasannya pada tingkat lanjut (memergok) demi eksklusifitas berita, maka fatwa haram infotainment dapat dipahami sebagai upaya antisipatif dan melindungi komunitas warga NU dari gempuran isi siaran televisi yang dinilai belum (tak) menghormati norma dan adab pemirsanya. —

Jawa Pos, 31 Juli 2006, halaman opini

Tidak ada komentar: