03 Februari 2008

TAYANGAN SAHUR DARI USTAD KE PELAWAK

Oleh Teguh Imawan


Akhir bulan Ramadhan tinggal menghitung hari. Tapi, Ramadan memang bulan penuh berkah. Selain sebagai bulan beramal, Ramadan juga bulan penuh rezeki dan kenikmatan bagi para pelawak, artis, maupun selebritis, karena mereka setiap pagi muncul di layar kaca dalam beragam acara sahur.
Acara Kerajaan Sahur disiarkan Trans TV dan TV7, melibatkan nama kondang dunia hiburan, seperti: Komeng, Nani Wijaya, Okky Lukman, Djojon, Bolot, Mieke Amalia, dan Indra Bekti. RCTI mengandalkan Eko Patrio, Parto, Ulfa Dwiyanti, Tukul Arwana, dan Tesi, menghibur pemirsa lewat Stasiun Ramadan. Raffi Ahmad didapuk SCTV menjadi presenter Sana Sini Sahur. Sementara itu, TPI menggelar Komedi Putarr yang menampilkan Cagur (Wendy, Narji, Denny), Rieke Dyah Pitaloka, Ucok Baba, dan Team Lo.
Indosiar menyajikan acara komedi Ramadhan di Istana dengan mengandalkan Denny Chandra, Taufik Savalas, Sophie Navita, Afdil, Cak Lontong, Desta, Vincent, serta beberapa bintang tamu. Di lain kanal, Metro menayangkan Tafsir Al-Misbah, Spongebob Squarepants dan Dora the Explorer di Global TV, serta Lativi meneruskan reality show mencari ustad favorit (populer) melalui layangan pesan singkat (SMS) pilihan pemirsa.

Ustad Minggir
Ada beberapa karakteristik acara sahur televisi. Pertama, meski berbeda nama acara, semua pengelola televisi hendak menghadirkan ruh tayangan yang sama, menonjolkan unsur hiburan-ringan ketimbang dakwah. Indikasinya dapat ditelisik pada seluruh acara yang mengusung tema komedi, dan menyelipkan dakwah, dibaluri hadiah jutaan rupiah melalui kuis interaktif menjadi menu utama televisi.
Pemeliharaan acara seperti itu merupakan manifestasi dari bagaimana stasiun televisi berebut ketat memperoleh perhatian pemirsa di new prime time, jam tayang utama baru selama bulan Ramadan. Lazimnya, periode menonton utama pemirsa televisi adalah pada pukuk 19.00-21.00, tapi saat Ramadan tiba jam utama menonton televisi mendapat tambahan pada pukul 02.30-04.30.
Alasan stasiun televisi memilih pelawak dan komedian untuk acara-acara Ramadan, acara menjelang buka puasa atau sahur, adalah penyampaian pesan apa pun akan lebih mengena lewat lawak atau komedi.
Dari segi rating tayangan, menarik sekali mengutip pendapat produser acara soal alasan mengutamakan hiburan dan menyelipkan dakwah. Produser mengakui bahwa program tanpa ustad (diganti pelawak dan artis) merupakan strategi jitu menarik pemirsa secara kontinyu, karena bila program sahur yang memakai ustad, kondisi pemirsa akan langsung drop saat sang ustad tampil.
Memang, lain lubuk, lain ikannya. Realitas artis Indonesia menuai extra job berbeda dengan nasib artis Malaysia. Meski serumpun dan muslim mayoritas, saat Ramadan artis Malaysia cenderung memilih beristirahat. Padahal, acara televisi Indonesia bisa 24 jam, maka penghibur layar kaca seolah tak punya waktu untuk memejamkan matanya.
Kedua, keriuhan layar kaca pada saat sahur seolah merupakan slot “balas dendam” setelah menjalankan ibadah puasa. Setelah pagi-siang-sore hari menahan ucapan dan tindakan tak pantas, maka kesemuanya itu “dibayar” lagi melalui kata-kata dan perilaku komedian yang acapkali masih saja tak sopan dan tak pantas pada acara sahur yang dinikmati penonton.
Ketiga, kian maraknya komersialisasi acara Ramadan. Melalui kemasan build in (memasang nama dan merek produk dalam layar kaca) dan pengucapan produk, pengelola acara meneruskan kepentingan pengiklan menaklukkan kesadaran penonton.
Dengan demikian, televisi mengendalikan hasrat konsumerisme penonton. Dalam kehidupan masyarakat modern, segala upaya ditujukan untuk memenuhi hasrat kebutuhan akan kekayaan, kemewahan gaya hidup, dan popularitas.
Pemenuhan hasrat kebutuhan tersebut sejalan dengan etika hedonisme: bahwa segala sesuatu yang menghasilkan kenikmatan adalah baik. Norma dan moralitas dalam masyarakat modern dilanda krisis: diabaikan dan dianggap tidak terlalu penting. Dalam konteks inilah, acara Ramadan menjadi komoditas yang bernilai komersial tinggi.

Konyol
Keempat, berbagai studi, tayangan televisi terbukti mempunyai pengaruh kuat. Dengan melihat, orang menjadi lebih percaya. Apa yang tampak di televisi dianggap sebagai realitas bermakna, memiliki efek segera atau jangka pendek serta jangka panjang.
Menguatnya gaya komedi memaknai Ramadan dapat memunculkan budaya cengengesan, sebuah sikap hidup yang memandang persoalan dengan sudut pandang menggampangkan, atau bahkan meremehkan kandungan religiusitas Ramadan. Dengan demikian, orang akan terbiasa dengan sisi ringan, serba guyon, dan memandang enteng persoalan.
Akibatnya, penonton menjadi tidak peka, permisif, dan toleran terhadap plesetan nilai-nilai keagamaan. Bahkan, karena mengkomedikan makna-makna Ramadan secara berkesinambungan, bisa muncul norma sosial, cara jenaka merupakan metode terampuh, efektif, dan “benar” menyemarakkan Ramadan.
Kelima, tak heran bila masyarakat Indonesia "makin akrab" terhadap berbagai bentuk kekonyolan (wild culture). Secara sadar atau tidak, dalam beberapa kasus menonton di kalangan remaja selama bulan Ramadan, mereka cenderung pindah channel kalau ada ustad di layar. Sebagai gantinya adalah membrowsing banyolan atau cengengesan. Terasa ada pergeseran nilai, kesalehan dan kesantunan bicara dianggap ganjil sebagai acara televisi.
Tekanan rating, sensasionalisme, dan komersialisme acapkali mengondisikan penonton mempersepsi pelawak lebih “mulia” ketimbang ustad. Apalagi, bombardir tayangan layar kaca kian menyuburkan cara cengengesan, sehingga abai esensi puasa, menahan nafsu. Sehingga terlena tertawa berlebihan, mengejar berlebihan hadiah kuis, serta ucapan berlebihan.
Semuanya berpulang kepada kesadaran pemirsa. Ke mana malam Ramadan diorientasikan. Sekaligus “pekerjaan rumah” berat para ustad untuk meracik metode dakwah merangkul umatnya.—


Jawa Pos, 18 Oktober 2006, halaman opini

Tidak ada komentar: