03 Februari 2008

SOLUSI MENYALAHPAHAMI "RATING" TELEVISI

Oleh Teguh Imawan

Opini publik tentang rating acara televisi (TV) selalu dominan diwarnai oleh dua pandangan hipotetis. Bila acara memiliki rating tinggi, maka otomatis acara tersebut dinilai bagus. Sebaliknya, bila tayangan acara divonis jelek kalau capaian angka rating tergolong rendah.
Akibat lebih jauh dari arak-arakan wacana media memuliakan rating membuat sebagian praktisi dan profesional penyiaran, khususnya yang berkubang pada produksi tipe program bergenre non-rating, seperti informasi, menjadi turun pamor dan jatuh "harga bandrolnya" di mata manajemen TV.
Yang paling parah, kalau mereka ini dijangkiti perasaan inferiority complex, rendah diri. Bahkan, stigma tipe program TV tertentu tidak ber-rating telah membuatnya kikuk, gamang, gagap, dan dilalap sindrom under dog. Padahal, rating acara TV sebenarnya merupakan bentuk umpan balik pemirsa TV yang secara teknis dipersembahkan dengan cara mengukur kuantitas atau seberapa banyak jumlah pemirsa menonton sebuah acara televisi.
Sejatinya, kata kunci rating adalah terletak pada sisi kuantitas atau "seberapa banyak" nya itu. Dengan demikian, rating bukanlah parameter menggambarkan aspek kualitas atau seberapa baik-bagus sebuah program acara.
Opini publik mensalahpahami makna rating seperti itu bukanlah tanpa sebab. Salah satu sumbernya adalah karena wacana realitas media cenderung menonjolkan sudut pandang capaian angka rating (pangsa) untuk menilai kesuksesan atau keberhasilan tayanganTV.
Pemberitaan yang tak utuh mengenai makna rating itu bukan karena kesalahan media, tapi lebih karena adanya dominasi cara pikir intelektual organik penyiaran (programmer yang bertugas menyusun jadwal acara siaran sehari-hari) dan praktisi sales-marketing yang berfungsi menjual durasi acara kepada pengiklan.

"Rating"
Dalam banyak kasus, programmer sering mengedepankan pentingnya rating (share) untuk mendongkrak popularitas stasiun TV. Kepentingan divisional itu membuat programmer berpikir amat pragmatis dengan menjadikan angka rating sebagai informasi tunggal memutuskan menetapkan pola acara dalam konteks persaingan dengan TV lain.
Sementara itu, praktisi sales-marketing terkesan maunya adalah bagaimana secara cepat mampu mengejar dan memenuhi target penjualan. Karena tak mau "berkeringat" dan sedikit membuka wawasan menerima kreasi baru program acara, ketika meyakinkan pengiklan agar mau menaruh spot iklan ke acara yang dimaksud, ia hanya mengandalkan semacam benchmark.
Dalam praktiknya, marketing pelit keringat ini tak ada upaya "menjual" konsep kepada pengiklan, tapi cenderung menyebut nama acara yang sudah ada sebagai cara mudah menggambarkan isi acaraya yang ditawarkannya kepada pengiklan.
Perilaku programmer dan sales-marketing "mendewakan" rating seperti itu merupakan potret betapa keduanya hanya memiliki ruang negosiasi yang amat sempit dengan pemilik TV, sekaligus cermin bening keduanya bertekuk lutut dengan kepentingan pengiklan. Salah satu kepentingan utama pengiklan adalah bagaimana caranya spot iklannya sebesar-besarnya ditatap oleh penonton TV.
Demi efektivitas hasil iklan, terlebih iklan yang dikelola agency, spot iklan cenderung ditaruh pada acara yang sukses secara rating, seperti acara yang mampu masuk bertengger pada jajaran 100 acara peraih rating tertinggi (TOP 100).
Perhitungan sedemikian itu merupakan manifestasi efisiensi biaya bisnis. Pengiklan sangat berkepentingan dengan kemampuan menjangkau jumlah pemirsa sebanyak mungkin terhadap materi iklannya yang disiarkan melalui acara TV, sehingga ongkos promosinya itu berpotensi balik dengan jumlah jauh lebih tinggi.
Sebuah mekanisme kerja lazim sebuah logika bisnis industri penyiaran yang mengandalkan rumus cost and benefit. Rumus itu implementasi dari matra efisiensi, selain akselerasi dan persaingan bebas dari spirit mengejar profit dan akumulasi modal. Semangat tinggi itu sendiri tak lain merupakan ekspresi sikap agresif dan eksploitatif paradigma bisnis TV abad industri.

Solusi
Untuk bisa membalik opini publik yang salah tentang rating TV, tapi dipahami sebagai hal yang benar terse- but diperlukan sejum-lah langkah.
Pertama, tentu saja, harus kontinyu, sistematis, dan fokus mewacanakan secara tepat makna rating TV melalui berbagai kesempatan dan medium. Harapannya, counter cara pandang melalui wacana media massa berdaya memutar benak pemahaman publik tentang rating TV.
Kedua, mengajak pro-grammer stasiun TV mau lebih dan lebih mau "beradab", serta lapang dada menerima kehadiran, menafsirkan makna, dan memposisikan acara bergenre non-rating, seperti tipe program informasi, pada slot atau jam tayang yang cukup gampang ditonton pemirsa. Alasan penempatan bukan faktor kalkulasi rating dan iklan, tapi secara tipikal lebih karena dorongan mencerdas-adabkan pemirsa.
Ketiga, menyemangati marketing untuk optimistis bahwa acara non-rating bisa dijual ke pengiklan, asal penjelasannya pas. Upaya akseleratif itu butuh keuletan, ketekunan, kreativitas, serta kerja keras. Kucuran keringat berkurang bila TV menjalin kerjasama sinergis dengan media cetak, radio, on-line, atau aktivitas off air lainnya.
Keempat, intelektual penyiaran dan akademisi mau mengumandangkan pemaknaan rating secara proporsional dan jernih. Tidak mencampur aduk makna rating TV, sebagai tolok ukur kuantitas dan kualitas acara, karena memang rating tidak dimaksudkan memotret kualitas acara. Bila pemahaman pas itu terjadi, maka pengiklan niscaya mau menerima dan kian kreatif menempatkan produk sesuai target audience. Kebiasaan pengiklan menebas bebas acara, bisa beralih ke tebas pilih acara.
Untuk kepentingan mengukur kualitas acara, salah satu formatnya adalah dengan memantau dan mendata isi atau kemasan acara dijadikan perbincangan publik/public discourse (rasan-rasan, Jawa) oleh berbagai komunitas. Mulai angkringan warung kopi, arena seminar ilmiah, hingga ruang media massa. Untuk hal yang terakhir itu, dapat dilihat secara riil, misalnya, apakah dikutip sebagai judul berita/artikel.
Contoh, ketika TV memutar film Ada Apa Dengan Cinta, banyak berita media cetak, statemen narasumber, penyiar radio menggunakan frase "Ada Apa Dengan ..." sebagai judul atau tema pembicaraan. Demikian pula setelah siaran acara, seperti: Who Wants To Be Millioner, Republik BBM, Mendadak Dangdut, dan lainnya.
Asumsinya, acara berlangsung dalam keadaan normal, bukan abnormal seperti adanya tsunami Aceh yang terbukti mampu mengerek angka rating (pangsa) Metro TV. Upaya teknis mengukur kualitas acara TV itu perlu dilengkapi perilaku produser acara TV bergenre non-rating. Misalnya, produser menghindari promosi acara menekankan capaian rating untuk alasan apa pun. Selain menyuburkan kesalahpahaman, argumentasi itu akan menjadi bumerang sendiri ketika acara pindah stasiun televisi.
Bahwa fanatisme menonton pemirsa itu terletak pada acara, bukan stasiun TV barangkali benar. Tapi yang masih menjadi misteri adalah relasi antara sukses acara dengan pilihan stasiun penayang. Karenanya lebih proporsional-elegan bila mengembangkan cara berpikir, rating TV hanya mengukur kuantitas penonton acara, bukan kualitas acara. "Ini untuk itu, bukan untuk ini," kata pelucu di acara televisi.

Suara Pembaruan, Jumat, 22 September 2006, halaman opini
http://www.suarapembaruan.com/News/2006/09/22/index.html

Tidak ada komentar: