03 Februari 2008

SENSASI KUNJUNGAN BUSH

Oleh Teguh Imawan

George W. Bush telah meninggalkan Bogor. Pemirsa televisi kenyang mereguk sensasi. Warga Bogor kembali lega. Ini karena secara faktual, persiapan dan kedatangan Presiden AS George W. Bush yang riuh di layar kaca telah menyiksa warga Bogor secara sosial dan ekonomi.
Secara emosional, kehadiran Bush seperti membangunkan macan tidur. Kehadiran Bush menggugah emosi sebagian umat Islam, khususnya untuk melampiaskan kekecewaan dan kemarahan atas kebijakan politik luar negeri Bush yang dianggap memojokkan umat Islam. Spirit Bush memerangi teroris yang meluluhlantakkan menara kembar WTC dianggap tak lebih sebagai apologi Bush memposisikan kaum muslimin sebagai teroris dan ini amat melukai perasaan umat muslim Indonesia.
Secara visual, sosok Bush memanglah penuh sensasi. Sebagai pucuk pimpinan negeri adikuasa, apa pun gerak dan langkah Bush begitu berharga bagi media massa. Terlebih ketika Bush berkunjung ke negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia (Indonesia).
Sebenarnya, publik Indonesia pernah melihat ketatnya pengamanan pejabat AS yang datang ke Indonesia. Masih segar dalam ingatan bagaimana wartawan kecewa saat meliput aktivitas Menteri Luar Negeri AS Condoliza Rice di Jakarta. Ketika itu, para pengawal Rice dianggap terlalu overacting.

Sensasi
Kunjungan singkat selama 6 jam Presiden Amerika Serikat George W. Bush disambut skeptis oleh masyarakat Indonesia. Secara terbuka, sejumlah pemimpin ormas Islam terbesar Indonesia, NU dan Muhamadiyah, menolak kehadiran Bush. Sedangkan organisasi massa Islam lain cenderung memilih cara keras, seperti demo, orasi, plus “bonus” menyegel restoran waralaba/gedung konjen AS. Politisi parlemen pun ada yang unjuk gigi menolak Bush. Mahasiswa berbagai kota seolah membentuk arak-arakan membakar bendera dan poster wajah Bush.
Yang menarik, dan ini baru terjadi kali pertama, paranormal mendatangi kawasan Kebun Raya untuk ritual menyantet Bush. Sebaliknya, ada pula paranormal yang terang-terangan berjuang menolak santet “kiriman” paranormal sebelumnya. Sebuah pentas eksotik kunjungan pimpinan negara superpower diwarnai “perang santet” paranormal.

Penyosokan
Hingar bingar seluruh fakta lapangan dilayarkan televisi dengan sudut pandang seragam, yakni mengusik kredibilitas dan akseptabilitas Bush. Pertama, sosok George W. Bush sebagai teroris nyata (real teroris) di dunia. Label itu untuk mengkonter sikap Bush yang mereka-reka Usamah bin Laden dan Saddam Husein sebagai gembong teroris. Padahal, hingga kini Usamah belum tertangkap. Saddam Husein terbukti tak memiliki senjata nuklir/senjata kimia. Karenanya, Bush juga dicap penjahat kemanusiaan. Klimaksnya, talkshow televisi meloloskan aktivis ormas Islam menyatakan, Bush haram menginjak tanah Indonesia, tapi halal darahnya.
Kesahihan menolak Bush juga dikembangkan dengan bertolak dari kekalahan Partai Republik yang mendukung Bush di parlemen dan Senat. Kekalahan Bush di pemilu sela ditangkap sebagai tanda Bush ditolak rakyatnya sendiri. Realitas itu dijadikan pijakan membenarkan argumen, menerima kunjungan Bush tidak efektif bagi hubungan AS-Indonesia. Dianalogikan, kini Bush tak ubahnya bebek lumpuh. Justru kunjungan Bush merugikan Indonesia, karena merusak kawasan cagar budaya Kebun Raya Bogor akibat pembangunan landasan helikopter (helipad).
Kedua, biaya penyambutan milyaran rupiah dianggap pemborosan anggaran. Lantas, besarnya biaya itu dikontraskan dengan rusaknya ruas jalan kota Bogor. Belum lagi, beredarnya kabar dimatikannya jalur komunikasi telepon genggam dan internet saat kehadiran Bush. Tak pernah ada liputan yang membuka cakrawala pemikiran, misalnya, dengan menghitung kerugian marerial dan sosial bila Bush diterima di Jakarta.
Ketiga, proses pengamanan dianggap berlebihan. Ketatnya pengamanan, pelibatan agen intelijen AS, besarnya jumlah personel TNI-Polri, serta pemanfaatan aneka peralatan militer merupakan cermin Indonesia tak mampu mengamankan Bush. Tiada wacana wacana pengamanan Bush dilakukan secara proporsional. Statemen pejabat negara menekankan kewajaran menerima Bush dikerdilkan dan tak dikembangkan. Tak ada juga liputan legendaris seputar standar pengamanan kunjungan presiden AS ke luar negeri.
Sebaliknya, tindakan ekstrawaspada petugas keamanan di kawasan lokasi pertemuan Bush dengan SBY tak dimaknai kedisiplinan pasukan pengaman presiden, tapi dinilai sebagai tindak berlebihan (overacting). Mengenai rencana kontinjensi pengalihan rute perjalanan Bush, melalui jalan darat bila jalur udara terkendala cuaca, bukan dibingkai dalam konteks alternatif pengamanan, tapi dianggap langkah antisipasi melawan teroris Noordin M. Top.

Naif
Akhirnya, yang paling naif adalah keberadaan pesawat AWACS tidak dianggap sebagai bagian dari pengamanan pesawat kepresidenan AS, tapi kehadirannya lebih dicurigai memotret potensi kekayaan alam yang melanggar yuridiksi Indonesia. Lantas anggota DPR minta Kepala Staf TNI AU agar armadanya ekstra hati-hati dan tidak mau kalah. Sebuah pernyataan yang menggelikan, mengingat alat utama sistem pertahanan Indonesia masih bergantung pada pasokan AS, termasuk pesawat F16 dan Hercules.
Memang, kunjungan Bush membuat pemirsa televisi dimanja visual nan memikat mata. Ada demo tiada henti, putaran baling-baling helikopter canggih, TNI-Polri repot, gerak-gerik dinas rahasia AS, serta lagak Bush.
Hanya saja, “kesuksesan” layar kaca mereportasekan Bush itu masih mengurung kecerdasan dan menyempitkan sudut pandang pemirsa. Padahal Paul Messaris (2001) menandaskan pendidikan visual melalui televisi tak semata menghadirkan keelokan layar, tapi lebih mengutamakan pemirsa memahami informasi faktual (bukan fiksi), mengembangkan kemampuan berpikir, serta mengeksplorasi visual sebagai jendela fakta demi mengasah kecerdasan spasial dan berpikir analogis.
Kita pun, seolah terpaut sindrom underdog dan terlarut oleh adu liputan ala infotainmen televisi nasional dengan artis tunggal George W. Bush. Sebuah bukti, betapa canggih trik public relations negara adikuasa mempedaya pengelola layar kaca, berikut di dalamnya pemirsa sebagai korban utamanya.—


Jawa Pos, 22 November 2006, halaman opini

Tidak ada komentar: