26 Februari 2008

RCTI Belum Oke

Perusahaan televisi swasta ini digugat pailit oleh lima ”bekas” karyawannya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung telah memenangkan gugatan mereka.
PERJUANGAN Decquar Juliartono cukup panjang. Selama sembilan tahun bapak tiga anak ini menuntut haknya sebagai karyawan, tapi hingga detik ini yang ia inginkan belum tercapai. Berbagai jalur sudah ditempuh untuk itu: pengadilan, mengadu ke berbagai institusi seperti DPR, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Departemen Tenaga Kerja, hingga presiden. Hasilnya sama. Perusahaan tempatnya dulu bekerja, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), emoh memenuhi keinginannya.
Pria 54 tahun yang biasa dipanggil Toni ini tidak sendirian. Masih ada empat rekannya senasib, yakni Anton Ratumakin, Sonni Ginting, Suharmawaty, dan Yaferina. Lima sekawan inilah yang sejak 1999 hingga kini melawan RCTI. Perseteruan ini berlangsung sejak mereka menolak dipecat dari perusahaan televisi itu pada 1999. ”Pemecatan itu tak sesuai prosedur,” ujar pria yang masuk ke RCTI pada 1988 ini dan bekerja di bagian pemasaran.
Upaya yang dilakukan Decquar dan rekan-rekannya bukan tanpa hasil. Pada tahun 2000, Mahkamah Agung telah mengetukkan palu, memerintahkan RCTI mempekerjakan kembali karyawannya itu. Berpegang putusan tersebut, mereka menuntut perusahaan tetap membayar gaji sejak mereka dipecat pada 1999. ”Tapi, keputusan pengadilan itu tidak pernah dijalankan,” kata Decquar, Selasa pekan lalu.
Inilah langkah baru yang mereka ambil. Lantaran tak ada titik temu antara mereka dan pihak manajemen, kini mereka menggugat pailit PT RCTI. Senin dua pekan lalu, gugatan tersebut mereka daftarkan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Menurut Johnson Panjaitan, kuasa hukum lima karyawan ini, pada tahun 2000 Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan tetap yang memenangkan para karyawan itu. ”Jadi, upah yang belum dibayar kepada karyawan adalah utang perusahaan,” ujarnya. Sementara itu, kata Johnson, salah satu syarat mengajukan gugatan pailit terhadap sebuah perusahaan adalah jika perusahaan itu memiliki utang. Jadi, kliennya memang berhak mengajukan gugatan pailit. RCTI harus membayar take home pay yang terdiri dari gaji pokok plus tunjangan lain yang totalnya, hingga Desember 2007, sebesar Rp 1, 25 miliar untuk lima karyawan itu.
Selain berutang terhadap karyawan, gugatan pailit juga didasarkan pada tidak transparannya RCTI. Ini, menurut Johnson, terlihat saat PT Media Nusantara Citra, ”induk” perusahaan yang menguasai saham RCTI, menjual sahamnya ke publik pada Juni 2007. Dalam prospektus perusahaan tidak dijelaskan perusahaan itu sedang mengalami masalah hukum yang belum rampung. ”Ka-rena itu, Badan Pengawas Pasar Modal harus memeriksa perusahaan ini,” kata Johnson, ”supaya publik yang membeli saham tidak dirugikan.”

***

PERSELISIHAN yang kini masuk pengadilan niaga tersebut adalah buntut dari rasionalisasi yang dilakukan televisi bercogan ”RCTI Oke” itu pada Februari 1999. Dengan alasan diterjang krisis keuangan, televisi swasta pertama di Indonesia ini melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya. Sekitar 158 orang terkena ”program perampingan RCTI”. Tak semua ternyata menerima PHK itu dengan lapang dada. ”Soalnya, PHK dilakukan sewenang-wenang,” kata Johnson.
Kala itu, kata Decquar, PHK dilakukan tanpa ada izin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) Pusat. ”Padahal, menurut aturan tenaga kerja saat itu, jika PHK dilakukan terhadap lebih dari sembilan orang, maka harus seizin P4 Pusat,” kata Decquar. Lembaga P4 sendiri kini bubar dan digantikan Pengadilan Hubungan Industrial.
Pemberitahuan PHK, menurut Decquar, dilakukan individual, lewat surat yang dikirim ke rumah masing-masing. Surat PHK yang diterimanya, misalnya, bertanggal 16 Februari 1999. ”Isi surat menyatakan saya dipecat 17 Februari,” kata ayah tiga anak ini. Kriteria bagaimana yang diberhentikan juga tak jelas. ”Saya bukan orang yang pantas dipecat.”
Sejumlah karyawan yang menolak pemecatan membawa masalah ini ke Kantor Dinas Tenaga Kerja Jakarta Barat dan P4 Pusat. Di sini para karyawan kalah. Pada 9 Agustus 1999, P4 Pusat justru mengeluarkan surat yang ”merestui” keputusan RCTI. Banyak karyawan yang akhirnya menerima putusan itu dan setuju dengan kompensasi yang diberikan RCTI, tapi delapan karyawan yang menolak putusan itu terus berjuang. Mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Tak sia-sia, PTUN Jakarta memenangkan tuntutan mereka. RCTI dinilai tidak bisa membuktikan adanya krisis sebagai alasan pemecatan. Pengadilan juga memerintahkan perusahaan itu menerima kembali kedelapan karyawannya itu. Namun, putusan itu dilawan P4 Pusat. Lembaga ini mengajukan kasasi.
Lagi-lagi, di tingkat kasasi, para karyawan itu memenangkan gugatan mereka. Mahkamah Agung menguatkan putusan PTUN. Baru sekitar dua tahun kemudian, setelah ”ditegur” pengadilan dan Departemen Tenaga Kerja, pada 2003 P4 Pusat mengeluarkan surat keputusan untuk membatalkan keputusan mereka sebelumnya.
Itu bukan berarti semuanya beres. Para karyawan ini juga menuntut gaji mereka selama dipecat. Ini yang membuat perkara ini makin ruwet. Johnson menganggap permintaan itu wajar. ”Karena selama proses hukum berlangsung mereka kan tidak mendapat gaji,” kata Johnson. Kedua pihak beberapa kali mengadakan pertemuan yang difasilitasi Departemen Tenaga Kerja. ”RCTI tetap tidak mau bayar,” kata Johnson.
Sejumlah pengaduan dilayangkan para karyawan ini ke berbagai lembaga, dari komisi tenaga kerja DPR sampai Komisi Nasional HAM. Pengaduan ke Komnas HAM dilakukan pada 2005, saat lembaga ini diketuai Abdul Hakim Garuda Nusantara. ”Saat itu, Abdul Hakim kebetulan jadi kuasa hukum RCTI dalam kasus perburuhan ini,” ujar Decquar.
Pengaduan juga dikirim ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno. Bahkan, karena dianggap tidak menjalankan putusan pengadilan, para karyawan ini juga sempat melaporkan direksi RCTI ke polisi. ”Semua langkah itu mentok,” kata Decquar.
Tuduhan ”tidak menjalankan perintah pengadilan” itu dibantah Sekretaris Perusahaan PT RCTI, Gilang Iskandar. Menurut dia, RCTI telah melaksanakan putusan Mahkamah Agung. ”Putusannya, mereka harus dipekerjakan kembali, dan kami sudah lakukan,” ujar Gilang. Justru, menurut dia, para karyawan itu yang menolak. ”Kami sudah mengundang mereka lima kali.”
Menurut Gilang, perusahaan memang menolak membayar gaji mereka selama di-PHK. Alasannya, ”Dalam putusan pengadilan, tidak ada kewajiban kami membayar sejumlah uang.” Kendati demikian, pihaknya sempat bertemu dengan delapan karyawan itu. Saat itu, ujarnya, perusahaan menawarkan sejumlah ”angka kompensasi”. Ternyata tak semuanya menerima. ”Ada yang menerima dan kemudian bekerja kembali.” Gilang tak mau mengomentari ihwal gugatan pailit yang kini ditembakkan oleh lima bekas karyawan RCTI itu. ”Pokoknya, kami akan patuh pada hukum,” ujarnya.
Abdul Hakim Garuda Nusantara, bekas kuasa hukum RCTI, mengatakan, perusahaan memang tidak bisa memenuhi tuntutan karyawan untuk membayar gaji mereka selama PHK, karena itu bukan putusan pengadilan. Prinsip hukum ketenagakerjaan, ujar Abdul Hakim, sudah jelas. ”No work, no pay. Selama mereka dalam PHK kan tidak bekerja,” ujarnya. Dengan demikian, tak ada utang-piutang antara RCTI dan para karyawan itu. ”Jadi, dasar mengajukan pailit itu tidak ada.”
Rabu pekan ini, sidang pertama gugatan pailit akan digelar. ”Kami akan terus berjuang walau kasus ini sudah berjalan sembilan tahun,” kata Sonni Ginting. Johnson Panjaitan sudah menyiapkan langkah selanjutnya. ”Jika kalah, kami akan membawa kasus ini ke ILO, organisasi perburuhan internasional,” katanya. --Dimas Adityo

http://tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/free/hukum.html

Tidak ada komentar: