Oleh Teguh Imawan
Mengenaskan. Istilah itulah yang pantas disematkan untuk mewakili perasaan sebagian besar masyarakat menilai politisi. Rasa kecewa luar biasa itu merupakan klimaks dari lelahnya menanti kehadiran alam politik yang cerah.
Alih-alih menuju terang benderang, justru sinar politik diwarnai dengan pelaku politik yang menyebalkan harapan masyarakat.
Bahkan, wajah politisi Indonesia saat ini jauh lebih buruk dibandingkan dengan wajah politisi era 1950-an. Kesimpulan tersebut terungkap melalui kolokium bertema "Moralitas Politik Indonesia: Wajah Politisi Jelang 2009" yang diselenggarakan Keluarga Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia. Makna kesimpulan ini berarti memperlihatkan arah politisi bergerak mundur, bukan maju.
Buruk rupa paras politisi sedemikian itu ditandai dengan, pertama, maraknya money politic (politik uang) yang beredar manakala sedang diselenggarakan pemilihan kepala daerah/pilkada serta pemilihan jabatan ketua umum partai po- litik.
Kedua, sikap dan perilaku politik yang inkonsistensi dan oportunistik. Tiada kepaduan sikap antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan telah menjadi santapan sehari-hari masyarakat, sebagaimana dapat disaksikan melalui tayangan pemberitaan ataupun talkshow televisi.
Janji-janji politik dengan gampang diingkari, dilupakan, bahkan dibenarkan dengan berbagai dalih dan apologi.
Sedangkan kesan oportunistik sangat gambang terlihat ketika politisi gampang berpindah dukungan dan dengan ringan langkah berpindah keanggotaan partai politik. Dengan demikian, publik dapat merekam secara tegas betapa politisi lebih berorientasi pada diri sendiri daripada institusi demokrasi.
Ketiga, politisi juga masih tak bisa beringsut dari jeratan mengutamakan kepentingan kelompok. Arak-arakan protes kelompok masyarakat terhadap kebijakan pemerintah melegalkan pemberian uang negara secara tidak patut ke politisi merupakan pertanda pekatnya nurani politisi akan penderitaan rakyat bawah.
Keempat, jagat politik masih diramaikan dengan kehadiran politisi instan, politisi karbitan, atau politisi dadakan. Politisi macam itu merupakan buah buruk dari relasi keluarga, sanak-kerabat, maupun kroni yang masih kokoh lestari hingga dewasa ini.
Mentah Kepribadian
Kehadiran politisi dadakan didorong dan dikembangkan oleh pola pikir politisi yang memandang lembaga politik (DPR, DPRD, DPD) sebagai arena mencari uang, pasar politik, maupun perusahaan aspirasi belaka. Tiada sama sekali dalam pikiran mereka segi moralitas, etika, ataupun adab politik.
Kuartet ciri politis wajah buruk itu memperlihatkan kepada bangsa ini betapa perubahan zaman melalui reformasi politik belum menghasilkan sistem politik yang demokratis.
Indikasi kasat mata dapat dipantau dari mentahnya kepribadian politik, perilaku politik, serta padunya antara kata dan perbuatan.
Padahal, demokrasi politik yang sehat membutuhkan kematangan pribadi, buah karya, serta integrasi antara kata dengan perbuatan para politisi.
Karakter politisi yang cerdas tanpa hati nurani lebih berbahaya karena bisa membuat kejahatan yang lebih dahsyat. Terceraiberainya kata dan perbuatan hanya akan menyungkurkan ke telaga dusta alias dunia kebohongan.
Dusta politik inilah yang secara terang-terangan menyumbat potensi politisi memiliki cara pandang visioner. Konsekuensi dari tumpulknya kemampuan menetapkan strategi visi, menginventarisasi potensi, serta menyinergikannya membuat politisi tampak layu jiwa kepemimpinan. Dengan demikian, modal politisi berupa integritas dan konsistensi menguap cepat manakala jabatan dan kedudukannya lepas.
Bahaya besar dominasi politisi buruk rupa ini terletak pada fakta betapa lemah dan melencengnya agenda politik yang diusung. Loyonya agenda itu terbaca dengan mudah manakala politisi melesatkan persoalan-persoalan yang tidak terkait (relevan) dan bukan kepentingan fundamental sebagaian besar rakyat. Problem banjir besar Jakarta tidak memperoleh respon setimpal di kursi parlemen daerah-nasional.
Menghebatnya problem kerusakan lingkungan alam, merebaknya pengangguran, kemiskinan, penyimpangan birokrasi, serta aneka macam penyakit cenderung didiamkan.
Namun, manaka ada sisi gangguan keuangan pribadinya selaku anggota parlemen -sebagaimana PP 37/2006 soal ketentuan pengembalian rapelan uang komunikasi intensif--, maka berduyun-duyunlah semua melakukan unjuk kekuatan ke hadapan pusat kekuasaan di Jakarta.
Moral politik berorientasi kepada kepentingan pribadi dan kelompok seperti itu hanya kian mengukuhkan gambaran betapa politisi hanya menjadikan dukungan rakyat pemilihnya sebagai faktor pembenar menimba kekayaan dari "pasar modal demokrasi".
Tawaran
Disadari atau tidak, moral politisi miskin orientasi kepentingan masyarakat luas telah menyuburkan perilaku imoral dalam bernegara yang hanya menodai spirit menumbuhkan demokrasi sejati.
Pertanyaan mendasarnya adalah, setelah mampu memotret wajah politisi, yang ternyata benar buruk rupa, lantas apa yang bisa ditawarkan untuk membasuh daki pemburuknya?
Kelompok Lingkar Muda Indonesia (2006) pernah menawarkan perlunya dekonstruksi dan revitalisasi komponen vital keindonesiaan.
Dua poin relevan adalah, pertama, pemimpin dan segenap aparat lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif di antaranya mulai tidak menjadikan birokrasi, parlemen, dan pengadilan sebagai lahan korupsi untuk memperkaya diri, kelompok, dan partai.
Kedua, para pemimpin ormas, kelompok profesi, mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya, di antaranya menjadikan diri sebagai penjaga cita-cita reformasi dan kekuatan yang berpihak kepada rakyat lemah.
Masalahnya, ajakan normatif kepada politisi berada pada dinamika politik dalam era virtualitas. Sebuah situasi dan kondisi yang selalu dihuni oleh dualisme politik.
Baku sodok antara normatif versus real politik, teori versus pragmatis, moral-etika versus pertarungan kekuatan dengan motif konflik kepentingan. Berkutat pada dualisme politik bisa saja membuat politisi yang tak visioner dan tercerahkan terjepit dalam lintasan, peleburan cakrawala, pencampuran berbagai bidang kehidupan. (Piliang, 2005).
Di era virtualitas, dualisme politik terdiskualifikasi sehingga moralitas menjadi wilayah yang samar. Momen kebenaran diganti momen citra, sehingga politik terperangkap di dalam permainan bebas citra semata. Arena politik pun kehilangan fondasi.
Penciptaan citra dan manipulasi bahasa visual dilakukan demi kekuasaan murni dengan menyembunyikan kebenaran itu sendiri. Peran ideologi sudah menjadi pengemasan melalui tanda dan citra, untuk akhirnya mandiri terlepas dari dunia nyata.
Dengan demikian, panorama politik kian susah mendeteksi dini dan menangkap isyarat kejahatan politik dan segala bentuk kekerasan politik yang ditimbulkan. Pendek kata, tahu- tahu wajah politisi menjadi penuh bopeng.
Ini karena bombardir pemberitaan media massa seputar politisi tak berbanding lurus dengan keampuhan mengungkap sisi "selingkuh politik dengan ekonomi" (politisi melakukan politik uang), "selingkuh politik dengan etika" (politisi mudah janji, lincah mengingkari; lain kata, lain perbuatan), "selingkuh politik dengan ruang publik" (politisi mengutamakan kepentingan kelompok), maupun "selingkuh politik dengan ruang privat" (munculnya politisi dadakan, anak-kerabat politisi).
Akhirnya, politisi berwajah buruk merupakan manifestasi betapa mayoritas elite politik gagal menangkap pancaran nilai hakiki demokrasi. Sekaligus cermin berantakannya komunikasi antar generasi politisi tahun 1950-an dengan 2.000-an yang patut dijadikan pelajaran berharga.—
Suara Pembaruan, 19 Februari 2007, halaman opini
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/02/19/index.html
Mengenaskan. Istilah itulah yang pantas disematkan untuk mewakili perasaan sebagian besar masyarakat menilai politisi. Rasa kecewa luar biasa itu merupakan klimaks dari lelahnya menanti kehadiran alam politik yang cerah.
Alih-alih menuju terang benderang, justru sinar politik diwarnai dengan pelaku politik yang menyebalkan harapan masyarakat.
Bahkan, wajah politisi Indonesia saat ini jauh lebih buruk dibandingkan dengan wajah politisi era 1950-an. Kesimpulan tersebut terungkap melalui kolokium bertema "Moralitas Politik Indonesia: Wajah Politisi Jelang 2009" yang diselenggarakan Keluarga Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia. Makna kesimpulan ini berarti memperlihatkan arah politisi bergerak mundur, bukan maju.
Buruk rupa paras politisi sedemikian itu ditandai dengan, pertama, maraknya money politic (politik uang) yang beredar manakala sedang diselenggarakan pemilihan kepala daerah/pilkada serta pemilihan jabatan ketua umum partai po- litik.
Kedua, sikap dan perilaku politik yang inkonsistensi dan oportunistik. Tiada kepaduan sikap antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan telah menjadi santapan sehari-hari masyarakat, sebagaimana dapat disaksikan melalui tayangan pemberitaan ataupun talkshow televisi.
Janji-janji politik dengan gampang diingkari, dilupakan, bahkan dibenarkan dengan berbagai dalih dan apologi.
Sedangkan kesan oportunistik sangat gambang terlihat ketika politisi gampang berpindah dukungan dan dengan ringan langkah berpindah keanggotaan partai politik. Dengan demikian, publik dapat merekam secara tegas betapa politisi lebih berorientasi pada diri sendiri daripada institusi demokrasi.
Ketiga, politisi juga masih tak bisa beringsut dari jeratan mengutamakan kepentingan kelompok. Arak-arakan protes kelompok masyarakat terhadap kebijakan pemerintah melegalkan pemberian uang negara secara tidak patut ke politisi merupakan pertanda pekatnya nurani politisi akan penderitaan rakyat bawah.
Keempat, jagat politik masih diramaikan dengan kehadiran politisi instan, politisi karbitan, atau politisi dadakan. Politisi macam itu merupakan buah buruk dari relasi keluarga, sanak-kerabat, maupun kroni yang masih kokoh lestari hingga dewasa ini.
Mentah Kepribadian
Kehadiran politisi dadakan didorong dan dikembangkan oleh pola pikir politisi yang memandang lembaga politik (DPR, DPRD, DPD) sebagai arena mencari uang, pasar politik, maupun perusahaan aspirasi belaka. Tiada sama sekali dalam pikiran mereka segi moralitas, etika, ataupun adab politik.
Kuartet ciri politis wajah buruk itu memperlihatkan kepada bangsa ini betapa perubahan zaman melalui reformasi politik belum menghasilkan sistem politik yang demokratis.
Indikasi kasat mata dapat dipantau dari mentahnya kepribadian politik, perilaku politik, serta padunya antara kata dan perbuatan.
Padahal, demokrasi politik yang sehat membutuhkan kematangan pribadi, buah karya, serta integrasi antara kata dengan perbuatan para politisi.
Karakter politisi yang cerdas tanpa hati nurani lebih berbahaya karena bisa membuat kejahatan yang lebih dahsyat. Terceraiberainya kata dan perbuatan hanya akan menyungkurkan ke telaga dusta alias dunia kebohongan.
Dusta politik inilah yang secara terang-terangan menyumbat potensi politisi memiliki cara pandang visioner. Konsekuensi dari tumpulknya kemampuan menetapkan strategi visi, menginventarisasi potensi, serta menyinergikannya membuat politisi tampak layu jiwa kepemimpinan. Dengan demikian, modal politisi berupa integritas dan konsistensi menguap cepat manakala jabatan dan kedudukannya lepas.
Bahaya besar dominasi politisi buruk rupa ini terletak pada fakta betapa lemah dan melencengnya agenda politik yang diusung. Loyonya agenda itu terbaca dengan mudah manakala politisi melesatkan persoalan-persoalan yang tidak terkait (relevan) dan bukan kepentingan fundamental sebagaian besar rakyat. Problem banjir besar Jakarta tidak memperoleh respon setimpal di kursi parlemen daerah-nasional.
Menghebatnya problem kerusakan lingkungan alam, merebaknya pengangguran, kemiskinan, penyimpangan birokrasi, serta aneka macam penyakit cenderung didiamkan.
Namun, manaka ada sisi gangguan keuangan pribadinya selaku anggota parlemen -sebagaimana PP 37/2006 soal ketentuan pengembalian rapelan uang komunikasi intensif--, maka berduyun-duyunlah semua melakukan unjuk kekuatan ke hadapan pusat kekuasaan di Jakarta.
Moral politik berorientasi kepada kepentingan pribadi dan kelompok seperti itu hanya kian mengukuhkan gambaran betapa politisi hanya menjadikan dukungan rakyat pemilihnya sebagai faktor pembenar menimba kekayaan dari "pasar modal demokrasi".
Tawaran
Disadari atau tidak, moral politisi miskin orientasi kepentingan masyarakat luas telah menyuburkan perilaku imoral dalam bernegara yang hanya menodai spirit menumbuhkan demokrasi sejati.
Pertanyaan mendasarnya adalah, setelah mampu memotret wajah politisi, yang ternyata benar buruk rupa, lantas apa yang bisa ditawarkan untuk membasuh daki pemburuknya?
Kelompok Lingkar Muda Indonesia (2006) pernah menawarkan perlunya dekonstruksi dan revitalisasi komponen vital keindonesiaan.
Dua poin relevan adalah, pertama, pemimpin dan segenap aparat lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif di antaranya mulai tidak menjadikan birokrasi, parlemen, dan pengadilan sebagai lahan korupsi untuk memperkaya diri, kelompok, dan partai.
Kedua, para pemimpin ormas, kelompok profesi, mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya, di antaranya menjadikan diri sebagai penjaga cita-cita reformasi dan kekuatan yang berpihak kepada rakyat lemah.
Masalahnya, ajakan normatif kepada politisi berada pada dinamika politik dalam era virtualitas. Sebuah situasi dan kondisi yang selalu dihuni oleh dualisme politik.
Baku sodok antara normatif versus real politik, teori versus pragmatis, moral-etika versus pertarungan kekuatan dengan motif konflik kepentingan. Berkutat pada dualisme politik bisa saja membuat politisi yang tak visioner dan tercerahkan terjepit dalam lintasan, peleburan cakrawala, pencampuran berbagai bidang kehidupan. (Piliang, 2005).
Di era virtualitas, dualisme politik terdiskualifikasi sehingga moralitas menjadi wilayah yang samar. Momen kebenaran diganti momen citra, sehingga politik terperangkap di dalam permainan bebas citra semata. Arena politik pun kehilangan fondasi.
Penciptaan citra dan manipulasi bahasa visual dilakukan demi kekuasaan murni dengan menyembunyikan kebenaran itu sendiri. Peran ideologi sudah menjadi pengemasan melalui tanda dan citra, untuk akhirnya mandiri terlepas dari dunia nyata.
Dengan demikian, panorama politik kian susah mendeteksi dini dan menangkap isyarat kejahatan politik dan segala bentuk kekerasan politik yang ditimbulkan. Pendek kata, tahu- tahu wajah politisi menjadi penuh bopeng.
Ini karena bombardir pemberitaan media massa seputar politisi tak berbanding lurus dengan keampuhan mengungkap sisi "selingkuh politik dengan ekonomi" (politisi melakukan politik uang), "selingkuh politik dengan etika" (politisi mudah janji, lincah mengingkari; lain kata, lain perbuatan), "selingkuh politik dengan ruang publik" (politisi mengutamakan kepentingan kelompok), maupun "selingkuh politik dengan ruang privat" (munculnya politisi dadakan, anak-kerabat politisi).
Akhirnya, politisi berwajah buruk merupakan manifestasi betapa mayoritas elite politik gagal menangkap pancaran nilai hakiki demokrasi. Sekaligus cermin berantakannya komunikasi antar generasi politisi tahun 1950-an dengan 2.000-an yang patut dijadikan pelajaran berharga.—
Suara Pembaruan, 19 Februari 2007, halaman opini
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/02/19/index.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar