12 Februari 2008

MAKNA BAHASA TERANG SBY

Oleh Teguh Imawan


Setelah dua tahun menjalankan pemerintahan, akhirnya Presiden SBY “buka kartu”. Presiden merasa dirinya telah tiba saatnya memasuki tahun ketiga kekuasaannya dengan melakukan tindakan konkret (bukan wacana), langsung (tidak melalui birokrasi berbelit), dan memakai bahasa terang (bukan citra) dalam mengelola bangsa dan negara. Di balik tekad itu menyeruak semacam pengakuan sekaligus penegasan bahwa mulai 2007 ini, SBY merasa perlu menjalankan roda kekuasaan melalui bahasa lugas, jelas, dan tak multi tafsir sehingga bisa dilihat rakyat.
Pilihan seperti itu mengisyaratkan pula adanya kegalauan betapa komunikasi presiden dengan rakyat tidak sesuai yang diharapkan. Bisa jadi, selama dua tahun berlalu, banyak sekali pemikiran, tindakan, dan perbuatan SBY yang salah dimengerti, rumit dipahami, dan sulit ditangkap rakyat selaku pemegang saham langsung atas terpilihnya SBY menjadi presiden.

Politik Wacana
Istilah bahasa terang tersebut mengingatkan kita pada sikap Confusius (1551-479 SM). Saat itu Confusius (Khonghucu) ditanya, “apakah yang pertama-tama akan ia lakukan jika ia harus mengelola sebuah negara?”
Jawabnya, “Tentulah meluruskan bahasa!”
Orang yang bertanya tadi menjadi heran, “Mengapa?”
“Jika bahasa tidak lurus, apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan, maka apa yang seharusnya diperbuat tetaplah tidak dilakukan. Jika tetap tidak dilakukan, moral menjadi merosot. Jika moral merosot, keadilan pun akan tidak jelas arahnya. Jika keadilan tak tentu arah, rakyat hanya akan berdiri dalam kebingungan yang tak tertolong. Maka dari itu, tidaklah boleh ada kesewenang-wenangan dengan apa yang dikatakan (bahasa). Inilah yang paling penting di atas segala-galanya,” jawab Confusius.
Apa yang dipaparkan Confusius itu memang sangat relevan hingga kini. Bagaimanapun, sebuah kata mempunyai beribu makna, dan pilihan makna itu sangat bergantung pada “siapa” yang memaknainya, sehingga, menjadi tidak aneh, kalau apa yang dikatakan tak selalu apa yang seperti dimaksudkan. Jadi, setiap “siapa” dapat menciptakan kata berdasar kepentingan masing-masing. Dan setiap “siapa” senantiasa berjuang mengalahkan “siapa-siapa” lainnya dalam mengendalikan atau menafsirkan makna kata.
Itulah yang tenar dikenal dengan politik wacana, yang menurut Confusius sebagai manifestasi kesewenang-wenangan terhadap apa yang dikatakan. Buah buruk dari politik wacana adalah lahirnya kekerasan bahasa/simbolik (dalam istilah Confusius: keadilan menjadi tak jelas arahnya).

Sisi Negatif
Sisi negatif wacana sedemikian itu merupakan dampak dari cara pandang pemakai bahasa dengan muatan kepentingan tertentu. Melalui wacana, seseorang dapat menguak, menekankan, menonjolkan, memperjelas, mempertegas, dan memaksa pihak lain melihat sisi kontrakdiktif realitas sosial yang tersamar. Pengetahuan manusia sendiri pada dasarnya tak dapat lepas dari subjektivitas indinvidu, sehingga cenderung menangkap realitas berdasar perspektifnya sendiri.
Masalahnya, pengetahuan yang telah tercemar oleh kepentingan, perasaan, dan aneka subjektivitas lainnya acapkali secara sadar atau tidak dipakai untuk “menipu” orang untuk kepentingan pribadi. Dalam palagan politik, hampir semua praktik penggunaan bahasa ditujukan untuk mempertahankan, menambah, atau merebut kekuasaan.
Dalam pertarungan bahasa, bangsa Indonesia telah begitu merasakan betapa maraknya pernyataan dan sepinya kenyataan. Ada semacam arak-arakan wacana terhadap beberapa fakta kontroversial dua tahun terakhir. Misalnya, peristiwa berdimensi hak asasi manusia melalui ikon kematian aktivis Munir tanpa ada kejelasan siapa pembunuhnya. Realitas mengenaskan soal molornya kompensasi dan derita warga yang permukimannya diluberi lumpur panas Lapindo. Juga kontroversi pengutipan angka jumlah penduduk miskin di Indonesia dan melambatnya laju perburuan koruptor yang terkesan tebang pilih.
Yang termutakhir dan masih segar dalam ingatan, bagaimana jagat politik dipanaskan dengan perdebatan soal pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Percepatan Program Reformasi (UKP3R). Meski hampir semua kekuatan politik sepakat bahwa program reformasi belum memuaskan, tetapi begitu presiden membentuk unit kerja untuk mempercepatnya para elite politik tampak buas membahasnya.
Problem mendasar bukanlah pada segi komunikasi politik pemerintah (Presiden SBY), namun di balik onggokan masalah kontroversial itu, siapa yang menangguk untung, dan siapa berada pada posisi merugi?
Melihat gunungan perang kepentingan di balik peristiwa kontroversial, maka solusi tak cukup lagi secara kosmetik, public relations instan, semacam menaiki kendaraan golf berdua (SBY-JK). Toh, kenyataannya, model komunikasi temporal-parsial terbukti gagal meredam kesan tidak tegas, karena telah diolah secara penuh semangat oleh “siapa-siapa” dalam panggung politik. Banyak sekali “siapa-siapa” lain yang mampu membelokkan maksud sejati yang diungkapkan melalui bahasa bersayap berlandaskan asumsi, kerangka pikir, dan rasionalitas tertentu.

Kekerasan Bahasa
Benarlah apa yang diungkapkan Norman Fairclough (1995) bahwa wacana sebagai representasi fakta, pengaturan pihak yang terlibat, serta relasinya senantiasa diiringi beroperasinya ideologi, pemaknaan yang melayani kekuasaan (meaning in the service of power). Lazimnya, kepentingan/ideologi seseorang menyusup dalam wacana/bahasa untuk memproduksi dan mereproduksi relasi kekuasaan yang tak seimbang alias dominasi.
Kalau kita kembali lagi ke pernyataan SBY untuk menggunakan bahasa terang mendatang, berarti ada semacam upaya SBY memompa kekuatannya sekaligus melawan dominasi lawan politik (againts fight back). Biasanya, bahasa terang cenderung menanggalkan dan meninggalkan dimensi kekerasan simboliknya. Esensi bahasa bahasa terang adalah tiada lagi manipulasi fakta melalui bahasa.
Ada beberapa cara mengenali berlangsungnya kekerasan bahasa di pentas masyarakat. Pertama, stigmatisasi/labelisasi adalah penggunaan kata atau istilah ofensif (dicapkan/dilabelkan) kepada seseorang/kelompok/tindakan sehingga melahirkan pengertian lain dari keadaan sesungguhnya, misalnya, provokator, politisi poligami, antek kapitalis/komunis, ekstrem kanan, ekstrem kiri, anti-pembangunan, dan mbalela.
Kedua, eufemisme adalah menghaluskan fakta melalui kata/kalimat sehingga maknanya berbeda dari sesungguhnya. Misalnya, rawan gizi untuk kelaparan; pra sejahtera untuk miskin, menaikkan harga menjadi disesuaikan; suap menjadi sumbangan yang tak diminta, buruh menjadi pekerja.
Ketiga, disfemisme adalah mengasarkan/mengeraskan fakta melalui kata/kalimat sehingga maknanya berbeda dari sesungguhnya, misalnya, penjarah intelektual, preman politik, politisi karbitan. Keempat, pemakaian jargon, adalah kata atau istilah khas yang digunakan sebuah kelompok masyarakat tertentu, yang kemudian dipakai dalam konteks ideologi kekuasaan dan diadopsi masyarakat luas, misalnya di-BKO-kan (dibawah koordinasi operasikan); satu untuk semua dan semua untuk satu, dan aman-terkendali.
Akhirnya adalah penggunaan slogan/semboyan, istilah atau kalimat pendek yang maknanya mudah diingat dan memberi semangat dan membawa efek menggerakkan (me-mobilisasi) dukungan. Misalnya: bersama kita bisa, jer basuki mawa bea, pembangunan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Melihat panjangnya rangkaian kekerasan bahasa, kini kita hanya bisa menanti. Apakah bahasa terang benar-benar berlaga atau gamang berpentas pada tahun 2007. Time will heal, hanya sang waktu yang mampu menjawabnya.—


Suara Pembaruan, 4 Januari 2007, halaman opini

Tidak ada komentar: