12 Februari 2008

LONCENG ETIKA VIDEO MESUM

Oleh Teguh Imawan

Salah satu pernyataan kunci skandal video mesum Maria Eva dengan Yahya Zaini adalah pengakuan Maria Eva yang menyatakan dirinya merekam gambar adegan mesum selama 42 detik melalui kamera video telepon seluler hanya just for fun. Untuk kesenangan! Diakui pula, Maria telah berulang kali mengambil gambar tanpa paksaan. (Pembaruan, 10/12/2006).
Setelah video mesum beredar ke ruang publik, para pihak yang terlibat di dalamnya mulai berdebat melalui jalur hukum untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu dengan kriterium performatif, maximum output with a minimun input (menghasilkan semaksimum hasil melalui ongkos serendah-rendahnya) bagi kedua belah pihak.
Terlepas perjuangan legalitas tersebut, sejalan pemikiran Foucault dalam bukunya History of Sexuality, hingar-bingar wacana video mesum memperlihatkan betapa realitas seksualitas justru menjulang, meskipun mayoritas masyarakat kental dengan moral victorian, sebuah keadaan masyarakat yang begitu menabukan seks.
Pencarian kebenaran pelaku adegan mesum melalui pintu aparat hukum juga memperlihatkan situasi masyarakat kita dewasa ini, laksana era reformasi abad ke-16 Eropa. Zaman itu, orang melakukan hubungan seks yang melanggar norma tidak lagi pergi ke pendeta untuk melakukan pengakuan atas apa yang dilakukan tubuhnya, tapi ia pergi atau dikomentari oleh para pakar (telematika, psikologi sosial, psikiater, atau sosiolog).

Gamang Moral
Dalam masyarakat pemuja "kesucian" seksualitas, alasan pengabadian adegan mesum atas nama kesenangan dipandang sebagai manifestasi kegilaan seseorang (madness). Konsekuensinya, begitu terkuak identitas pelaku adegan mesum adalah pejabat publik, maka serempak DPR dan Partai Golkar mencoba mengucilkan (mengeluarkan status keanggotaan) atas nama menjaga harkat dan martabat lembaga/institusi.
Meski akhirnya tindakan itu tidak sempat dilakukan, karena yang bersangkutan mengundurkan diri.
Hanya saja, sikap DPR dan Partai Golkar mengganjar hukuman terhadap anggotanya yang terlibat adegan mesum tampak canggung dalam konteks menjaga tegaknya moralitas kelembagaan. Karena pada dasarnya, moralitas selain menyasar seksualitas, juga menohok segi kejujuran dan kepantasan.
Bila hendak menegakkan moral lembaga, seharusnya mundurnya pelaku adegan mesum harus dibarengi pemberian sanksi kepada anggota yang berkunjung ke luar negeri tanpa agenda jelas, menerima dana reses tanpa akuntabilitas, membagi voucher Depdiknas secara tak transparan, dan sejenisnya.
Kegamangan DPR dan Partai Golkar merefleksikan betapa institusi negara dan masyarakat lebih mementingkan aspek legalitas belaka. Yakni, hanya mengedepankan tatanan normatif lahiriah masyarakat. Ukuran ketaatan lahiriah dipotret melalui kesesuaian administratif, mekanisme dan prosedur, serta juklak/juknis.
Sementara itu, motivasi batin terdalam yang mendasari seseorang bertindak luput dari sorotan. Padahal, kualitas moral pejabat publik lebih ditentukan segi moralitas (ketakutan pada kebeningan hati nurani), bukan benar-salah versi hukum (yang mudah dibeli).
Jadi, ada faktor pilihan bagi pejabat publik, melangkah menuju sudut moralitas atau sebaliknya. Progesivitas seseorang mengaktualisasikan dorongan memang beragam. Meminjam klasifikasi Kierkegaard (Adian, 2005), orang semula bertindak atas impuls dan emosinya.
Melalui tahap estetik inilah dorongan seseorang lebih bermatrakan sensasi, semua tindakan ditujukan pada kenikmatan sensasionalnya. Pada saat dua orang bermesum ria, mereka sedang berada pada tataran sensasional. Motivasi utamanya, mereguk aneka rasa sensasi, sekaligus melepaskan diri dari pasungan moral sesaat.
Situasi "apa pun boleh" (anything goes) seperti itu menjadi intisari tahap estetik untuk menuju tataran etik yang penuh dengan hamparan, tikungan, cekungan, serta petak-petak moral.
Bila pada tahap estetik, selera seseorang menjadi primadona kehidupan, maka era etik mensyaratkan adanya kepatuhan (bahkan paksaan) nilai-nilai moral sebagai referensi hidup orang per orang.
Karena itulah ketika video mesum terpublikasi melalui media, maka pada detik itu pula adegan selama 42 detik harus tunduk kepada moralitas masyarakat. Bila pada tahap estetik para pelaku adegan mesum hanya mengikuti nafsu-nafsu secara liar kapan saja dan di mana saja saat melejit dorongan melakukan untuk itu, maka seorang pada fase etik harus melakukan pernikahan sebagai bentuk penghargaan moralitas.
Kenyataan memperlihatkan, kehidupan bersandar kode moral semata belum menjamin kesadaran manusia.
Karena keterbatasannya, seseorang niscaya memasuki lorong tahapan religius. Tahapan dimana seseorang mengakui bahwa dirinya adalah serba terbatas dan serba kekurangan. Hanya dengan melempar diri secara total ke dekapan Tuhanlah semua problematika kehidupan teratasi.
Karena itu tidaklah mengherankan bila mengamati perilaku seseorang yang tampak begitu religius kesehariannya setelah ditimpa musibah, kasus, atau pun aib. Mulai dari ritual mengirim doa, sesajen, serta aneka jenis panjatan dan doa bersama.

Lepas Cemas
Dalam kasus video mesum, pilihan melepaskan keanggotan dan jabatan publik merupakan ekspresi puncak seseorang untuk mengkomunikasikan kepada semua pihak bahwa dirinya telah memasuki tahapan religius, mengosongkan nilai-nilai moral, sekaligus menanggalkan kenikmatan sensasional.
Bahwa gerakan maju melewati tiga tahap (estetika, etik, dan religius) acapkali tidaklah eskalatif sifatnya. Lepas tahap ini, ke tahap berikutnya. Terkadang, ketiga tahapan yang kandungannya kontradiktif satu sama lain digamit seseorang dalam satu satuan waktu.
Sehingga pada saat yang bersamaan seseorang bisa hidup dalam tiga tahapan. Akibatnya, seseorang menjadi aktor yang kepribadiannya terbelah (split personality).
Publikasi video mesum musti ditangkap oleh siapa saja yang hidup pada tiga tahapan sekaligus tersebut, sebagai lonceng penanda dan pintu keluar aman agar tak menghadapi "peradilan moral publik".
Dengan demikian, periode "senang-senang" dibatasi oleh etika publik berbenang nilai moral dan religiusitas. Memilih salah satu tahap bagi siapa pun Anda, niscaya terlepas dari jebakan hantu kecemasan tiada tara.—


Suara Pembaruan, 18 Desember 2006, halaman opini
http://www.suarapembaruan.com/News/2006/12/18/Editor/edit01.htm

Tidak ada komentar: