12 Februari 2008

MENGUMBAR SISI GELAP ALDA RISMA

Oleh Teguh Imawan

Tewasnya Alda Risma Elfa Riani, populer disebut Alda, memperlihatkan kembali berlangsungnya tarik tambang antara kekuatan mengubur dan semangat mengumbar peristiwa. Pada Selasa Petang, sekira pukul 18.30, pelantun lagu “Aku Tak Biasa” yang populer tahun 1998 ditemukan tewas dengan cara tak biasa. Diduga kuat akibat overdosis (OD) narkoba.
Kematian artis penyanyi ini pun mendapat peliputan yang tak biasa. Ketika keluarga Alda berduka mengubur jenasah dan berusaha menutup aib, justru infotainment mengumbar spekulasi berlebihan.
Rabu pagi, selang sekitar 12 jam setelah teridentifikasi identitas jenasah, benar Alda Risma sang penyanyi. Di saat polisi belum mengeluarkan pernyataan resmi penyebab kematian Alda, sebuah tayangan infotainment telah berani mengembangkan spekulasi berlebihan dan penuh prasangka. Disebutkan oleh presenter infotainment tersebut bisa jadi Alda tewas karena tindak pembunuhan.
Kenyataannya, Ibu Alda (Ny Halimah) sampai prosesi pemakaman, tak sepatah katapun mengeluarkan pernyataan seputar kenyataan tragis yang menimpa putri sulungnya. Kerabat dan famili pun demikian. Hanya adik Alda yang memberi sedikit komentar. Itu pun lebih menekankan ketidakpercayaan kalau kakaknya meninggal karena OD.
Setelah menebar prasangka, tayangan menukik deras menuju fakta. Mulai dari pernyataan narasumber yang relevan, seperti saksi seorang sopir taksi, polisi yang “mengolah” kamar hotel tempat tewasnya Alda, hingga petugas yang mengotopsi mayat Alda. Strategi mengaduk spekulasi dengan fakta itu merupakan upaya untuk meyakinkan pemirsa seolah beritanya memang layak dipercaya.

Gosip
Menyiarkan informasi yang masih dapat dikategorikan sebagai gosip merupakan karakter infotainment televisi Indonesia. Informasi sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya karena tidak disebutkan identitas narasumber/sumber informasi. Presenter dan narator menggunakan kata ataupun istilah untuk mengesankan gosip sebagai fakta, seperti: “konon”, “gosip”, “sas-sus”, “kabar burung”, “rumor”, “kabar santer”, “kabar beredar”, “kabar angin”, “entah siapa yang menghembuskan”, dan sejenisnya.
Padahal, kesemuanya itu hanya karena faktor teknis, seperti kepepet waktu, sehingga tidak memiliki kesempatan menguji akurasi berita ke narasumber, misalnya, menghubungi melalui telpon, alamat, atau situs web secara maksimal untuk mendapat kebenaran, sehingga opini atau klaim satu pihak dibuat tampak seperti fakta yang mapan/kebenarannya tak perlu dipersoalkan lagi.
Kedua, pembawa acara/presenter/host infotainment terkesan mengolok-olok, merendahkan, melecehkan kasus atau seseorang yang diberitakan. Biasanya saat mengantar materi tayangan, ucapan presenter bernada merendahkan objek berita dirancang dengan memilih sisi gelap, miring, dan negatif. Dalam kasus Alda, presenter menonjolkan akhir tragis dari meredupnya ketenaran artis. Dipotret pula momentum kelabu Alda saat dirinya mengendarai mobil mewah produsernya menabrak pembatas masuk jalan tol. Bahkan, penyebab kematiannya ditegaskan sebagai akibat barang laknat.
Secara bercanda, presenter memperagakan kepada penonton lagak, mimik, dan gerakan tubuh untuk meniru sensualitas Alda. Mulai kerlingan mata hingga “kelebihan” bagian tubuh Alda yang dianggap ikon sensualitasnya. Dari segi visual, candaan presenter diperkuat dengan menampilkan gambar closeup (jarak dekat) dan ekstra close up (jarak sangat dekat) menjelajahi bagian-bagian tubuh Alda.
Pada saat program berita melakukan pemburaman (blurr) atas gambar mayat Alda, ada infotainment yang mengambil gambar jarak sangat dekat hanya untuk memperlihatkan adanya bercak-bercak merah di bagian dada atas, mata terselotip, dan cocohan jarum suntik pada jenasah Alda. Pengambilan visual secara detil seperti ini di satu sisi bisa memberi bukti, sekaligus menabrak standar program siaran terhadap penayangan korban tewas yang bisa membuat trauma keluarga.
Variasi gambar mayat Alda sedemikian itu masih dilengkapi pula dengan manipulasi suara,audio, musik, visual untuk mengesankan rasa sedih melalui lirik lagu “Aku Tak Biasa” yang setema dengan peristiwa untuk memancing kesan “kebenaran” peristiwa. Dengan demikian, ada tendensi model penayangan infotainment tak memperhatikan dampak pemberitaannya.

Aib
Ketiga, rendahnya perhatian kepada dampak tersebut telah menjadi kebiasaan buruk infotainment. Fokus liputan hanya membeberkan aib/kejelekan seseorang. Di luar kasus Alda, kecenderungan seperti itu dibangun dengan menggunakan kata/istilah emosional untuk menggambarkan apa yang dialami salah satu pihak, misalnya: label atau julukan “perempuan murahan”, “perempuan penggoda”, “suami takut istri”, “penjahat kelamin”, “wanita perampas suami orang”.
Atau, melaknat sifat orang/pihak, seperti anak durhaka sehingga memancing pihak lain membalas. Serta menampilkan ekspresi teatrikal, seperti, layaknya aktor dalam sinetron seorang ibu menangis meraung-raung, memarahi, menuding, menyumpah, dan mengutuk anaknya.
Kadang juga melibatkan narasumber yang tak relevan, misalnya, soal perkawinan dimintakan konfirmasi, komentar, atau pendapat untuk memaksakan perkawinan terjadi, seperti sopir, pembantu, dukun, paranormal, perancang busana, perias, petugas KUA, pencetak undangan, pengelola gedung tempat resepsi perkawinan untuk “menggebuk” narasumber.

Proporsional
Kembali pada spekulasi berlebihan infotainment menyajikan kematian Alda, tiba saatnya menyuguhkan kematian seseorang (apa pun statusnya) secara proporsional dan menghitung dampak bagi keluarganya. Tidak hitam-putih dan over-sensasional di penggalan kehidupan artis.
Memang, infotainment perlu berani tak lagi mengumbar detik-detik penguburan. Sebuah saat, sisi kelam sosok artis, figur publik, atau tokoh panutan tak pantas dipertontonkan. Karena kalau sudut itu tetap dilanggengkan, maka telah berjajar pengantri berikut rasa was-was keluarganya. Seperti Roy Marten, Zarima Mirafsur, Ibra Azhari, Doyok, Polo, Deri, serta Rivaldo.—

Jawa Pos, 15 Desember 2006, halaman opini

Tidak ada komentar: