Oleh Teguh Imawan
Warga Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (TAS) Sidoarjo sedang berjuang menuntut haknya dengan mengusung slogan cash & carry, untuk menandingi opsi tawaran pemerintah berlabel "relokasi plus" sebagai solusi mengakhiri kemelut antara Lapindo dan warga korban luberan lumpur panas.
Slogan warga TAS sebagai refleksi sikap menuntut ganti rugi itu mengingatkan kita pada bunyi iklan penjualan kendaraan bermotor beberapa tahun silam. Bunyi iklan berlabel cash & carry itu menggambarkan betapa praktis, mudah, serta murahnya konsumen membawa pulang sepeda motor ataupun mobil.
Tapi, kini kenyataan memperlihatkan betapa hal yang mudah, gampang, dan praktis itu begitu sulit direngkuh. Pilihan warga yang tampaknya sangat sederhana, "silakan Lapindo bayar tunai dan ambil rumahnya", seperti bertepuk sebelah tangan. Itu karena pemerintah melalui sidang kabinet telah memutuskan skema ganti rugi memakai formula "relokasi plus".
Adu tanding cash & carry versus "relokasi plus" sedemikian itu merupakan duel langsung, head to head, antara apa yang oleh Habermas dalam bukunya Theory of Communication Action, sebagai konflik tiada henti antara tindakan komunikatif dan tindakan strategis.
Tindakan strategis yang asosiatif dengan kapitalisme tak lain merupakan gagasan dominan masyarakat modern yang cenderung membuat kebijakan dengan poros utama mereduksi realitas sosial politik menjadi semata-mata hanya problem teknis, sekaligus membuang jauh dimensi nilai atau moral peristiwa.
Sedangkan tindakan komunikatif adalah lifeworld, dunia nyata, alam praksis yang menganyam manusia, alam, moral sebagai realitas yang dihayati, bukan sekadar objek pasif. Sebuah paradigma yang menghargai bagaimana setiap manusia mampu merekonstruksi identitas diri sendiri.
Bila kerangka pemahaman tindakan komunikatif digunakan untuk memahami slogan cash & carry, maka sikap fenomenal warga TAS itu merupakan manifestasi atau perwujudan dari harapan adanya proses komunikasi yang sehat. Tahapan negosiasi yang di dalamnya, mengandaikan adanya partisipan warga yang bebas untuk melawan argumentasi "relokasi plus" tanpa ketakutan akan intimidasi, tindak kekerasan, dan semacamnya.
Di alam tindakan komunikatif, terkandung adanya komponen, pertama, setiap warga dinilai kompeten berbicara dan bertindak mengambil bagian dalam menentukan sikap skema ganti rugi yang menimpa harta bendanya. Kedua, setiap warga bebas mengekspresikan perilakunya, keinginan, dan kebutuhannya tanpa ada upaya represif melalui cara-cara kekerasan fisik.
Karena itu, sangat disayangkan kalau dalam mengeluarkan aspirasi warga dan aparat kepolisian terjerumus dalam tindakan anarkis. Anomali tindakan tidak hanya ada pada warga korban lumpur yang kehabisan kesabaran, tapi juga melanda politisi atau elite lokal yang cenderung mem-beri "janji-janji manis".
Simbol Ketidakpercayaan
Sejatinya, warga membutuhkan kesadaran elite politik lokal, regional, dan nasional untuk lebih sensitif atas penderitaan mereka. Bahwa cash & carry merupakan simbol puncak ketidakpercayaan warga kepada para perumus dan pembuat kebijakan publik, khususnya dalam menyelesaikan sengketa dengan Lapindo, tak bisa terbantah lagi.
Celakanya, elite politik masih merasa mampu menjadi agen yang efektif meresolusi konflik lumpur panas Lapindo.
Padahal, media melakukan fungsinya dengan baik ketika mempublikasi tindakan komunikatif warga TAS ke ruang publik yang lebih luas. Yang perlu dihindari adalah jangan sampai siapa pun melakukan pembingkaian pemahaman dengan sudut pandang bahwa perjuangan warga TAS dalam konteks teknis belaka, yakni lebih mengedepankan dampak aksi warga terhadap kemacetan lalu lintas, kerugian sesaat aktivitas ekonomi, ataupun sudut kehebohan audio-visual kejadian warga berdemonstrasi an sich.
Kalau itu terjadi, yang mengemuka bukannya proses dialogis dan penghindaran eksploitasi warga korban lumpur, tapi justru tindakan monologis/kekerasan dan represif. Pada akhirnya, semua pihak niscaya gagal menyemai nilai-nilai yang menghargai dan menghormati dialog, independensi, dan kemanusiaan. Sebuah nilai yang telah begitu langka keberadaannya karena digilas pelaku industri yang kapitalistik, yang diwakili Lapindo.
Kapitalisme sendiri cenderung memahami persoalan dari sudut pandang ekonomis belaka, lepas dari tautan etika, moral, nilai yang hidup dan menyelubungi warga. Roh kapitalisme lebih mengedepankan pemikiran bagaimana membebaskan manusia agar hanya melulu mengejar laba, bebas dari tekanan nilai dan negara. Kecuali itu, industri kapitalistik semacam bisnis pengeboran minyak Lapindo memfokuskan pada bagaimana produksi pengeboran minyak ditujukan untuk profit guna penambahan modal.
Spirit pikir kapitalistik itu jelas-jelas mencampakkan nilai dan moral humanistik.
Korban Kuasa
Dengan demikian, cash & carry adalah contoh militansi sekaligus catatan kelam aspek dimensi manusia dalam pembangunan. Sebuah spirit humanistik komunitas warga menderita yang terpasung dan terlindas oleh kri-terium performatif: maximum output with a minimum input.
Itulah gambaran faktual dan konkret, yang disebut Foucault, sebagai kuasa produktif yang bersifat represif. Sebuah pelaksanaan kuasa yang berbalikan arah dengan makna production network. Yaitu, cara pandang yang menekankan kuasa senantiasa menje- lajahi tubuh sosial, lebih dari sekadar represi kekuasaan sekelompok elite, melainkan harus difungsikan dalam relasi-relasi yang tak terhitung banyaknya sehingga semua pihak/institusi/orang terlibat.
Asumsinya, semua orang, sekaligus tak ada seorang pun, adalah korban kuasa. Itu karena setiap orang bisa bergabung ke kelompok dengan wacananya sendiri dengan sukarela, tanpa sedang dikelabui seperangkat gagasan palsu yang dibungkus melalui janji elite seperti relokasi plus atau plus, plus, plus.... –
Suara Pembaruan, 20 Maret 2007, halaman opini
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/03/20/index.html
Warga Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (TAS) Sidoarjo sedang berjuang menuntut haknya dengan mengusung slogan cash & carry, untuk menandingi opsi tawaran pemerintah berlabel "relokasi plus" sebagai solusi mengakhiri kemelut antara Lapindo dan warga korban luberan lumpur panas.
Slogan warga TAS sebagai refleksi sikap menuntut ganti rugi itu mengingatkan kita pada bunyi iklan penjualan kendaraan bermotor beberapa tahun silam. Bunyi iklan berlabel cash & carry itu menggambarkan betapa praktis, mudah, serta murahnya konsumen membawa pulang sepeda motor ataupun mobil.
Tapi, kini kenyataan memperlihatkan betapa hal yang mudah, gampang, dan praktis itu begitu sulit direngkuh. Pilihan warga yang tampaknya sangat sederhana, "silakan Lapindo bayar tunai dan ambil rumahnya", seperti bertepuk sebelah tangan. Itu karena pemerintah melalui sidang kabinet telah memutuskan skema ganti rugi memakai formula "relokasi plus".
Adu tanding cash & carry versus "relokasi plus" sedemikian itu merupakan duel langsung, head to head, antara apa yang oleh Habermas dalam bukunya Theory of Communication Action, sebagai konflik tiada henti antara tindakan komunikatif dan tindakan strategis.
Tindakan strategis yang asosiatif dengan kapitalisme tak lain merupakan gagasan dominan masyarakat modern yang cenderung membuat kebijakan dengan poros utama mereduksi realitas sosial politik menjadi semata-mata hanya problem teknis, sekaligus membuang jauh dimensi nilai atau moral peristiwa.
Sedangkan tindakan komunikatif adalah lifeworld, dunia nyata, alam praksis yang menganyam manusia, alam, moral sebagai realitas yang dihayati, bukan sekadar objek pasif. Sebuah paradigma yang menghargai bagaimana setiap manusia mampu merekonstruksi identitas diri sendiri.
Bila kerangka pemahaman tindakan komunikatif digunakan untuk memahami slogan cash & carry, maka sikap fenomenal warga TAS itu merupakan manifestasi atau perwujudan dari harapan adanya proses komunikasi yang sehat. Tahapan negosiasi yang di dalamnya, mengandaikan adanya partisipan warga yang bebas untuk melawan argumentasi "relokasi plus" tanpa ketakutan akan intimidasi, tindak kekerasan, dan semacamnya.
Di alam tindakan komunikatif, terkandung adanya komponen, pertama, setiap warga dinilai kompeten berbicara dan bertindak mengambil bagian dalam menentukan sikap skema ganti rugi yang menimpa harta bendanya. Kedua, setiap warga bebas mengekspresikan perilakunya, keinginan, dan kebutuhannya tanpa ada upaya represif melalui cara-cara kekerasan fisik.
Karena itu, sangat disayangkan kalau dalam mengeluarkan aspirasi warga dan aparat kepolisian terjerumus dalam tindakan anarkis. Anomali tindakan tidak hanya ada pada warga korban lumpur yang kehabisan kesabaran, tapi juga melanda politisi atau elite lokal yang cenderung mem-beri "janji-janji manis".
Simbol Ketidakpercayaan
Sejatinya, warga membutuhkan kesadaran elite politik lokal, regional, dan nasional untuk lebih sensitif atas penderitaan mereka. Bahwa cash & carry merupakan simbol puncak ketidakpercayaan warga kepada para perumus dan pembuat kebijakan publik, khususnya dalam menyelesaikan sengketa dengan Lapindo, tak bisa terbantah lagi.
Celakanya, elite politik masih merasa mampu menjadi agen yang efektif meresolusi konflik lumpur panas Lapindo.
Padahal, media melakukan fungsinya dengan baik ketika mempublikasi tindakan komunikatif warga TAS ke ruang publik yang lebih luas. Yang perlu dihindari adalah jangan sampai siapa pun melakukan pembingkaian pemahaman dengan sudut pandang bahwa perjuangan warga TAS dalam konteks teknis belaka, yakni lebih mengedepankan dampak aksi warga terhadap kemacetan lalu lintas, kerugian sesaat aktivitas ekonomi, ataupun sudut kehebohan audio-visual kejadian warga berdemonstrasi an sich.
Kalau itu terjadi, yang mengemuka bukannya proses dialogis dan penghindaran eksploitasi warga korban lumpur, tapi justru tindakan monologis/kekerasan dan represif. Pada akhirnya, semua pihak niscaya gagal menyemai nilai-nilai yang menghargai dan menghormati dialog, independensi, dan kemanusiaan. Sebuah nilai yang telah begitu langka keberadaannya karena digilas pelaku industri yang kapitalistik, yang diwakili Lapindo.
Kapitalisme sendiri cenderung memahami persoalan dari sudut pandang ekonomis belaka, lepas dari tautan etika, moral, nilai yang hidup dan menyelubungi warga. Roh kapitalisme lebih mengedepankan pemikiran bagaimana membebaskan manusia agar hanya melulu mengejar laba, bebas dari tekanan nilai dan negara. Kecuali itu, industri kapitalistik semacam bisnis pengeboran minyak Lapindo memfokuskan pada bagaimana produksi pengeboran minyak ditujukan untuk profit guna penambahan modal.
Spirit pikir kapitalistik itu jelas-jelas mencampakkan nilai dan moral humanistik.
Korban Kuasa
Dengan demikian, cash & carry adalah contoh militansi sekaligus catatan kelam aspek dimensi manusia dalam pembangunan. Sebuah spirit humanistik komunitas warga menderita yang terpasung dan terlindas oleh kri-terium performatif: maximum output with a minimum input.
Itulah gambaran faktual dan konkret, yang disebut Foucault, sebagai kuasa produktif yang bersifat represif. Sebuah pelaksanaan kuasa yang berbalikan arah dengan makna production network. Yaitu, cara pandang yang menekankan kuasa senantiasa menje- lajahi tubuh sosial, lebih dari sekadar represi kekuasaan sekelompok elite, melainkan harus difungsikan dalam relasi-relasi yang tak terhitung banyaknya sehingga semua pihak/institusi/orang terlibat.
Asumsinya, semua orang, sekaligus tak ada seorang pun, adalah korban kuasa. Itu karena setiap orang bisa bergabung ke kelompok dengan wacananya sendiri dengan sukarela, tanpa sedang dikelabui seperangkat gagasan palsu yang dibungkus melalui janji elite seperti relokasi plus atau plus, plus, plus.... –
Suara Pembaruan, 20 Maret 2007, halaman opini
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/03/20/index.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar