10 Februari 2008

"Jika Aku Menjadi" Transtv


Ingin mengetahui bagaimana rasanya menjadi orang miskin yang sebenarnya? Jika itu yang Anda inginkan, rasanya tak perlu sulit untuk mencarinya. Trans TV bakal mengajak para pemirsa menyelami kehidupan 'orang miskin' dalam versi yang sesungguhnya lewat program bertajuk Jika Aku Menjadi (JAM).


Program yang dikemas secara semi-reality show ini hadir setiap Ahad pukul 18.00 WIB. Setiap pekannya acara ini mengudara setengah jam. Pengelola stasiun TV ini mengklaim bahwa tontonan ini merupakan program sungguhan, karena para pembawa acara yang dipilih dari proses casting dan setiap pekannya selalu berganti-ganti, terlebih dahulu melakukan adaptasi selama proses shooting. Adaptasi yang dilakukan para tersebut harus tinggal serumah serta mengikuti aktivitas keseharian orang miskin tadi.


''Proses shooting itu terkadang bisa berjalan 3-4 hari, tetapi untuk daerah yang kami anggap rawan, seperti di tengah hutan, terkadang sehari saja selesai,'' kata Satrio Arismunandar, produser program JAM kepada Republika di Jakarta, Senin (4/2).


Dari proses adaptasi tadi, Satrio mengaku, program ini bisa melahirkan ekspresi dan perasaan para presenter yang sesungguhnya. ''Mereka menangis bukan karena akting, tetapi karena memang merasakan secara langsung bagaimana kehidupan orang-orang gurem itu,'' katanya.


Satrio menjelaskan narasumber yang digunakan di dalam program ini adalah rakyat marjinal yang memiliki profesi gurem. Profesi gurem di sini merujuk pada anggapan di masyarakat umum yang menilai remeh dan tidak mendapat perhatian penuh dari pihak berwenang. Profesi gurem itu di antaranya buruh nelayan miskin yang tidak mempunyai perahu sendiri, nenek yang puluhan tahun jadi pemulung, petani tanpa sawah, atau juga pemain ludruk yang tak pernah lagi mendapatkan order.


Narasumber yang dipakai, lanjut dia, harus memberikan inspirasi bagi para pemirsa. ''Di sini kita tidak memilih pengemis,'' kata dia menegaskan. ''Tetapi yang kita pilih adalah mereka yang mempunyai profesi tertentu, tapi masih dianggap gurem.''



Edukasi
Satrio mengatakan hadirnya program ini sebagai langkah nyata dari pengelola stasiun televisi untuk memberikan tayangan yang bersifat edukatif. ''Disebut edukasi, karena tontonan ini memberikan semangat bagi pemirsa untuk selalu berusaha serta bekerja pantang menyerah, karena hal itu telah ditunjukkan oleh narasumber yang kita tayangkan di program ini,'' paparnya.


Selain itu juga, Satrio mengklaim tayangan ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan solidaritas sosial. Dalam hal ini, solidaritas digalang lewat cara pandang mengajak orang kota -- diwakili para pembawa acara -- yang melihat langsung kehidupan sebenarnya kaum marjinal.


Walau terkesan idealis, ternyata acara ini tetap mampu bersaing dengan program-program mainstream pada slot prime time di pukul 18.00 WIB. Berdasarkan hasil survei lembaga AGB Nielsen, menurut Satrio, JAM mampu meraih rata-rata audience share sebesar 10-11 persen. Pencapaian rapor dari AGB Nielsen itu ternyata membuat program ini mampu nongkrong di daftar empat besar program prime time pada Ahad. Yang membuat istimewa dari hasil itu, karena JAM dikelilingi program sinetron. ''Inilah yang membuat kami gembira, ternyata sebagian besar masyarakat sangat menginginkan program semacam ini.''


Program JAM yang telah tayang sejak 25 November lalu, kata dia, merupakan salah satu in house production alias program buatan sendiri tim kreatif Trans TV. Secara ekonomis, program ini sangat menguntungkan, karena tidak perlu menghabiskan biaya besar untuk setiap produksi per episode.


''Jika rata-rata program sinetron PH (production house) bisa menghabiskan biaya hingga Rp 250-300 juta, maka dengan program in house ini kita hanya membutuhkan sektiar Rp 15-20 juta saja untuk setiap produksi setiap episodenya,'' kata Satrio mengungkapkan.(akb)



sumber: republika, 06 februari 2008

Tidak ada komentar: