10 Februari 2008

Pornografi dan Literasi Media


Oleh: Teguh Imawan



Satu lagi, hasil penelitian yang kian mengukuhkan pandangan bahwa tayangan pornografi memancing tindakan seksual. Penelitian Prof. Rusdi Muchtar MA dan kawan-kawan mengungkapkan, sebanyak 77 persen responden di Kota Palembang, Sumatera Selatan dan 63 persen responden di Semarang, Jawa Tengah menyatakan terpancing hasratnya melakukan tindakan seksual setelah menyaksikan adegan pornografi.
Peneliti juga menegaskan, timbulnya kasus-kasus seputar kehamilan tidak dikehendaki di kalangan remaja, kekerasan seksual, penyakit menular seksual pada remaja, bahkan aborsi, tak lepas dari dampak tayangan pornografi di televisi. Karena itu, orangtua perlu ekstra hati-hati dengan tayangan pornografi di televisi yang bisa memancing hasrat melakukan tindakan seksual. (Kompas, 5 Februari 2008).
Menurut Rusdi, kasus yang cukup serius adalah berhubungan seks di luar nikah. Remaja elite lebih tinggi persentasenya (4 persen) dibanding remaja non-elite (2 persen) sebagai pelaku hubungan seks di luar nikah. Sementara dewasa elite dan non-elite sama-sama 1 persen. Tontonan pornografi juga menyebabkan ketagihan menikmati tayangan porno.


Sumbat
Rekomendasi penting mengantisipasi dampak negatif tayangan porno, sensual, mesum, maupun cabul sedemikian itu adalah perlunya kesadaran bersama untuk menegakkan fungsi sosial televisi, sehingga televisi tidak menjadi sumbat yang gagal mencerdaskan masyarakatnya.
Langkah ini diperlukan terutama ketika penonton dibombardir oleh “kultur konsumtif” yang dikembangkan televisi dengan menekankan aneka macam pesan betapa pentingnya kerja keras dan cepat, belanja apa saja yang penting nyaman, meski kesemuanya itu dangkal kebahagiaan.
Sebagai komparasi dengan penonton yang telah matang kehidupan bertelevisi, Brumberg (1997) menyitir tayangan televisi di Amerika Serikat telah mencekoki aroma seks dalam kehidupan sehari-hari melalui acara-acara yang mengekspolitasi secara ekstrem tubuh perempuan. Akibatnya, banyak orangtua bingung, resah, dan sulit akan gaya hidup gadis remajanya.
Pangkal kesulitan orangtua adalah terletak pada betapa dirinya telah dipinggirkan perannya oleh televisi. Televisi seolah mengambil alih peran dalam membentuk cara pandang realitas sosial. Televisi terus memupuk dan merawat cara berpikir remaja melalui sajian tayangan berbagai tipe acara televisi. Teori kultivasi (Gerbner, Gross, Morgan, & Signorielli, 1994) mengandaikan, televisi merupakan komponen utama dan “guru” yang tiada lelah mendidik remaja. Tak pelak, seluruh keyakinan, nilai-nilai, dan perilaku utama remaja tunduk, takluk, dan luluh di hadapan perspektif dan cara pandang utama televisi.
Riset bertajuk “Girls, Media, and the Negotiation of Sexuality: A Study of Race, Class and Gender in Adolescent Peer Groups" (Durham 1999) kian menegaskan remaja perempuan benar-benar telah “diculik” oleh acara reality show televisi yang menyiarkan tema ganti-ganti pasangan. Setelah menonton acara tersebut gadis-gadis dengan latarbelakang sosial-ekonomi beragam memiliki cara pandang seragam, yakni menganggap normal saja melakukan kehidupan (hubungan) seks dengan berganti-ganti pasangan.
Situasi anomali itu tidak mengherankan bila menyimak kenyataan bahwa hampir 80 persen anak usia 11-15 tahun di Oregon AS menyatakan dirinya memutuskan berhubungan seks setelah mendengarkan lirik lagu dan menonton tayangan video musik.


Manipulasi
Kalau kita kembali ke Indonesia, hasil riset yang menyebutkan tayangan pornografi memancing tindakan seksual perlu dipandang dalam konteks kekerasan media televisi. Layar kaca bisa dianggap sebagai imperialisme kognitif, yakni ketika kekuatan dominan memaksakan cara-cara penghayatan, penilaian, dan tindakan khas mereka kepada siapa yang sebelumnya telah menyusun hubungan dengan realitas secara berbeda-beda.
Dominasi terhadap dunia simbolik ini merupakan penaklukan dunia orang dalam arti sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, sebab manusia hidup dalam dunia citra. Ia tak hanya berpikir dan memahami dunia dengan tayangan acara, tapi juga "membentuk" realitas. Penguasaan dan manipulasi dunia simbolik sangat efektif mengendalikan agenda dan definisi publik tentang realitas.
Ketika televisi dijamuri acara reality show tentang bagaimana mencari pasangan, bagaimana kencan heboh, pacaran dengan anak konglomerat, dan sejenisnya, maka secara tak sadar benak atau kesadaran penonton televisi dibingkai dengan cara pandang virtual tayangan. Ketika cara pandang virtual-imajinatif acara televisi merasuki cara berpikir dalam realtias kehidupan sehari-hari, maka penonton merasa memperoleh pembenaran dengan perilakunya.
Realitas kehidupan seks yang kontroversial senantiasa membelah masyarakat dalam dua kutub wacana. Satu pihak menjadi dominan, sekaligus meminggirkan, meyingkirkan, serta mengubur wacana-wacana lain. Hanya saja, televisi menjadi lebih kuasa mengkategorisasi mana perilaku seks yang baik atau buruk. Kesemuanya itu dikendalikan secara kontinyu melalui acara televisi.


Literasi
Siapa pun akan kesulitan berkonfrontasi dengan acara televisi. Oleh karena itu, perlu upaya media literacy (melek media) untuk mengatasi picture illiteracy (buta media) dan meningkatkan kekritisan masyarakat.
Ada tiga alasan utama urgensi literasi televisi. Pertama, konvergensi media dan teknologi dalam kultur global telah mengubah cara mempelajari dunia, dan kondisi tersebut menantang dasar-dasar pendidikan.
Kedua, bekal pendidikan yang ada selama ini tidak lagi memadai dan kuasa membaca the printed word. Dewasa ini, anak, remaja, dan orang dewasa membutuhkan dua kemampuan sekaligus, yaitu menginterpretasi kritis kekuatan image dari kultur multimedia (termasuk televisi) dan mengekspresikan pikirannya ke dalam bentuk-bentuk media yang beranekaragam.
Ketiga, pendidikan literasi media menyediakan sebuah kerangka dan pedagogi untuk kebutuhan literasi yang baru dan dibutuhkan dalam kehidupan, bekerja, dan berwarganegara di abad ke-21.
Lebih dari itu, literasi media membuka jalan mencetak master keterampilan yang diperlukan untuk proses belajar selama hayat di dalam sebuah dunia yang secara pasti terus berubah.—

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Sebuah blog yang nikmat dinikmati...

Anonim mengatakan...

oh ya, blog ini saya link di blogku. boleh kan mas? salam kenal...

Anonim mengatakan...

mas syaiful,
terima kasih mau ngelink

teguhimawan

Anonim mengatakan...

boleh aja. bebas ngelink