03 Februari 2008

ALIHKAN POS ANGGARAN WARTAWAN KE KORBAN BENCANA ALAM

ANALIS:
ALIHKAN POS ANGGARAN WARTAWAN KE KORBAN BENCANA ALAM


Tekad pejabat pemerintah menghapus pos anggaran wartawan di instansi pemerintah hendaknya jangan hanya "lips service" belaka, namun dapat segera dibuktikan dengan merevisi anggaran di setiap instansi pusat dan daerah. Dalam hal ini, secepatnya Wapres Jusuf Kalla membuat surat edaran menghapus pos anggaran wartawan, kata pengamat komunikasi, Teguh Imawan di Jakarta, Senin.

Pada sisi lain, kata Teguh, di saat keuangan negara tidak menguntungkan dengan banyaknya bencana alam dan musibah, sudah saatnya pemerintah berani mengalihkan pos anggaran wartawan ke lokasi pengungsian. "Saya kira, daerah bencana lebih layak, lebih pantas, lebih prioritas, dan lebih pas menerima bantuan daripada wartawan.

Sekaligus inilah saatnya, wartawan yang sehari-hari meliput penderitaan korban bencana, tak hanya menulis atau meliput saja. Tapi juga memperlihatkan perilaku nyata. Caranya, dengan merelakan saja pos anggarannya dihapus dan dialihkan ke ribuan korban bencana alam," kata Teguh yang juga staf pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta.

Ia mengemukakan hal itu berkaitan dengan dukungan Wapres M Jusuf Kalla atas usulan dihapuskannya alokasi pos anggaran bagi wartawan, dalam melakukan tugas jurnalistiknya di instansi pemerintah pusat dan daerah, yang disampaikan Koalisi Jurnalis Indonesia dan Koalisi Masyarakat Pers Indonesia --yang terdiri dari AJI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Dewan Pers-- saat bertemu di Istana Wapres, Jumat (21/7). Ketua Umum AJI Indonesia, Heru Hendratmoko, mengutip pernyataan Wapres bahwa ia akan melakukan sosialisasi kepada pejabat di pemerintah daerah untuk menghapuskan pos anggaran bagi wartawan tersebut. "Wapres sangat mendukung terhadap apa yang kita sampaikan ini," kata Heru, seperti dikutip dari Media Indonesia On-Line.

Selain untuk menciptakan profesionalisme wartawan dalam hal pemberitaan, katanya, penghapusan pos anggaran khusus itu otomatis akan meringankan beban anggaran pemerintah. Imbauan itu dibuat berdasarkan hasil jajak pendapat di kalangan wartawan, yakni dari 400 responden, 68 persen di antaranya menyatakan pemberian amplop akan mempengaruhi pemberitaan.

Namun demikian, dipahami bahwa kondisi kesejahteraan wartawan Indonesia memang belum memenuhi standar kelayakan. Pasalnya dari standar yang ditetapkan AJI yaitu gaji minimal sebesar Rp3,1 juta, ternyata belum terpenuhi. Setidaknya dari 659 perusahaan pers di Indonesia, baru 30 persennya yang memenuhi kualifikasi tersebut. "Sisanya berdarah-darah," katanya.

Menjaga publik Menurut Teguh, usulan dihapuskannya pos anggaran bagi wartawan di seluruh instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu perlu didukung, termasuk oleh komunitas pers di Indonesia sendiri. Alasannya, pertama, menjaga publik mendapatkan informasi yang benar dan jujur, karena pada hakikatnya, pemberian uang, dana, anggaran, amplop, bantuan, sumbangan, uang saku, uang transport, uang pulsa, uang santunan, atau sebutan lain yang sejenis merupakan bentuk suap secara sangat halus, khususnya dari pihak yang merasa dirugikan bila dirinya diberitakan secara jujur.

"Apabila wartawan tergoyahkan sikap independensinya terhadap narasumber karena faktor pemberian anggaran, maka niscaya fakta media berupa berita, liputan, dan sejenisnya yang seharusnya menjadi cermin bening dari kejadian, peristiwa, atau fenomena menjadi bias," kata peneliti dari KAMELIATV (Komunitas Melek Media TV) Jakarta itu.

Karena bias beritanya, kata dia, maka publik menjadi korban ulah wartawan dan narasumber yang merekayasa berita demi kepentingan finansial belaka. "Dengan demikian, menghapus pos anggaran wartawan merupakan langkah awal melindungi hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur," katanya.

Ia mengemukakan, sebenarnya urusan anggaran wartawan itu adalah murni urusan perusahaan, lembaga, institusi, atau organisasi yang mempekerjakan wartawan. "Jadi, soal anggaran liputan itu kewajiban utama perusahaan media, bukan urusan narasumber. Kewajiban narasumber, baik itu instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, adalah memberi informasi yang benar dan jujur," katanya.

Wartawan adalah mediator antara pejabat dengan masyarakat dan bukan bagian dari aparat pemerintah. Kalau aktivitas wartawan dibiayai oleh instansi, maka ia layaknya pegawai humas dari instansi yang bersangkutan. "Karena telah mengambil posisi layaknya humas, maka informasi atau berita yang direportasekan tak bisa menghindar dari kepentingan pejabat. Dan, dalam banyak kasus, pola kerja wartawan seperti itu merugikan publik pembaca, pendengar, atau pemirsa," katanya.

Ditegaskannya lagi bahwa yang penting dari wacana itu, tekad pejabat pemerintah menghapus pos anggaran wartawan di instansi pemerintah hendaknya tidak hanya "lips service" belaka, namun harus segera ditindaklanjuti dengan bukti. Salah satu wujudnya, secepatnya Wapres Jusuf Kalla membuat surat edaran untuk menghapus pos anggaran wartawan, dan apabila tak melakukan, KPK bisa diminta untuk bergerak.

Bagaimanapun juga, kata dia, pers dan wartawan yang baik memang tak menggantungkan anggaran dari pemerintah. Bahkan, pemberian itu merupakan bentuk pelecehan profesi wartawan, karena pos anggaran itu merupakan bentuk godaan terhadap integritas dan kredibilitas wartawan.

"Karena itu, wartawan sendiri harus rela menerima kenyataan, bahwa semua hal bisa berubah, seperti di alam demokrasi saat ini, yakni tak ada lagi pos anggaran untuk wartawan," katanya. (T.A035/A/S022/B/S022) 24-07-2006 11:08:38 NNNN


Kantor Berita ANTARA, Senin, 24 Juli 2006, Rubrik Nasional

Tidak ada komentar: