03 Februari 2008

JURNALISME LUMPUR PANAS DI LAYAR KACA

Oleh Teguh Imawan


Hampir sebulan banjir lumpur panas PT Lapindo Brantas Inc. di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur memperlihatkan, betapa pemberitaan televisi menjadi memihak kepentingan pemiliknya. Televisi seolah lupa posisi dan fungsinya sebagai ruang terbuka para pihak menumpahkan pandangan dan pendapat, sekaligus meninggalkan kepentingan publik luas.
Program acara berita di antv yang biasanya begitu terbuka mengupas dan menguliti peristiwa tampak kikuk saat memberitakan luapan, dan banjir lumpur panas akibat semburan ladang gas yang dibor oleh perusahaan pengeboran milik Keluarga Bakrie, dimana Menko Kesra Aburizal Bakrie termasuk di dalamnya.

Perangai Televisi
Pertanyaan menariknya adalah, bagaimana “retorika” televisi saat memberitakan kasus publik yang merugikan kepentingan pemiliknya, tapi sekaligus merugikan publik luas?
Dalam kasus semburan, luapan, dan banjir lumpur panas Lapindo, banyak pihak merasa dirugikan secara material dan spiritual. Semburan lumpur panas sejak 29 Mei 2006 telah memaksa 5.200 warga mengungsi. Tak kurang rumah warga di empat desa di dua kecamatan terendam lumpur. Aliran lumpur telah menggenangi areal beradius 1,5 km itu juga meluberi areal subur persawahan, menghentikan operasional lebih 10 pabrik, dan fasilitas umum lain.
Ribuan buruh praktis menganggur dadakan. Pengusaha mengaku rugi sebesar Rp 1 Miliar rupiah per hari sebagai akibat ditutupnya jalan tol Gempol-Surabaya. Jalan tol urat nadi ekonomi Jawa Timur itu ditutup karena sebagian ruasnya tergenang lumpur panas.
Yang paling mengkhawatirkan adalah keterangan ahli lingkungan ITS yang menyebutkan bahwa lumpur panas sangat membayakan kesehatan karena kandungan kimiawinya bisa menimbulkan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Dalam kurun waktu tiga minggu, ratusan warga dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara karena terkena ISPA.
Bagaimana derita ribuan warga akibat luapan lumpur panas dikamerakan antv? Selama hampir sebulan pasca semburan lumpur panas, berita antv bernama Topik Pagi, Topik Siang, Topik Petang, dan Topik Malam sangat jarang sekali memuat liputan lumpur panas. Sebaliknya, pemberitaan televisi swasta lain meluap-luap, dalam arti menyajikan banyak berita, mengangkat pendapat berbagai pihak, serta memberi durasi waktu cukup panjang (satu segmen acara berita).
Ketika memuat liputan lumpur panas, berita antv cenderung hanya memberi akses kepada pernyataan pihak Lapindo, sekaligus meluputkan kenyataan derita warga akibat luapan lumpur panas. Antv jarang sekali menempatkan lumpur panas sebagai headline (pembuka segmen). Antv menjadikan headline lumpur panas pada saat Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Nirwan Bakrie datang ke lokasi pengungsian. Peristiwa itu dijadikan pintu masuk menggambarkan bertanggungjawabnya Keluarga Bakrie. Ditonjolkanlah, Nirwan memberi uang santunan kepada warga melalui pemda Sidoarjo.
Fakta lapangan yang berlangsung penuh emosional itupun dikemas secara “dingin”. Caranya, hanya menampilkan kutipan ucapan Wakil Presiden dan Nirwan Bakrie. Fakta yang sama itu tampak lain ketika tampil di layar televisi lain, misalnya RCTI. RCTI menekankan lagi-lagi warga hanya menerima janji-janji. Ketika warga meminta janji tersebut dituangkan secara tertulis, Wakil Presiden dilaporkan menjawab secara diplomatis.

Fakta Sama, Layar Beda
Yang perlu dicatat, antv cenderung membelokkan fokus kasus, dari derita warga dilumat lumpur panas ke putusnya ruas jalan tol. Sorotan liputan diarahkan pada upaya tentara membangun jembatan Bailey yang lamban karena peralatan terbatas dan badan jalan digenangi lumpur. Lumpur menggenangi jalan tol sebagai akibat dari adanya warga yang menjebol tanggul penahan lumpur panas. Akibatnya, kesemuanya itu arus lalu lintas menjadi macet. Namun, kemacetan lalu lintas di ruas jalan tol itu menguntungkan pedagang makanan dan minuman asongan, karena omset jualannya meningkat lebih 100 persen.
Betapa sudut pandang liputan televisi sangat kontras dapat dlihat dengan cara membandingkan kandungan isi berita pemberitaan televisi milik pihak terlilit kasus dengan televisi lainnya.
Contohnya, fakta lapangannya sama: situasi pengungsian warga yang rumahnya dilumat lumpur panas, edisi 23 Juni 2006. Fakta berita televisi menampilkan sudut pandang berlawanan: Seputar Indonesia RCTI, tayang pukul 17.30-18.00, melaporkan secara live menilai jatah lauk pauk makan warga kurang layak karena tak cocok untuk anak-anak. Dengan mewawancarai langsung salah satu warga diungkap pula betapa air bersih sulit didapat sehingga mandi hanya sekali sehari. Pun demikian soal tiadanya aliran listrik ke kios. Padahal, kios itu dijadikan tempat warga untuk tidur di malam hari hanya beralas tikar. Akibatnya banyak warga yang kepanasan dan tak bisa tidur malam karena tak bisa memasang kipas angin.
Sebaliknya Topik Petang antv, tayang pukul 18.30-19.00, menayangkan betapa lokasi pengungsian sudah tidak ada masalah. Hal itu dibuktikan dengan mengutip pengakuan seorang perempuan menyebutkan warga bisa makan tiga kali sehari. Lauk pauk mencukupi, bahkan menunya seperti empat sehat lima sempurna. Air bersih tersedia dan mencukupi. Itu semua mungkin karena PT Lapindo telah membuat dapur umum, dan untuk masalah kesehatan telah didirikan klinik kesehatan.

Petik Pelajaran
Tampak sekali corak fakta media di tayangan tayangan seputar realitas banjir lumpur panas diwarnai adu liput dan adu luput. Mengamati isi berita dua televisi swasta tersebut, tampak antv terjerembab ke posisi humas Lapindo, sekaligus menjauhi kepentingan publik luas. Fakta sosial lumpur panas tidak ditelisik sebagai menu utama topik berita di pagi, siang, sore, maupun malam hari. Sehingga pemirsa yang telah memberikan waktu tidak tahu mata rantai peristiwa secara utuh.
Lantas pelajaran berharga apa yang bisa dipetik dari sikap layar kaca seperti itu? Pertama, dalam mengikuti informasi kasus, pemirsa perlu melihat lebih dari satu saluran televisi yang masing-masing berbeda pemilik. Sehingga berpeluang memperoleh keberagaman sudut pandang peristiwa.
Kedua, dunia televisi Indonesia memperoleh satu kasus lagi, betapa pengelola televisi belum bisa lepas dari cengkeraman kepentingan pemilik yang berlawanan arus dengan kepentingan publik luas. Inilah makna diversity of ownership televisi berpeluang memperkaya sudut pandang liputan sehingga memungkinkan pemirsa memperoleh informasi yang lengkap, utuh, dan benar.
Ketiga, independensi dan profesionalitas jurnalis televisi mendapat tantangan besar. Karenanya, diperlukan keteguhan sikap, penguatan pegangan pada kode etik, sekaligus rumusan regulasi televisi yang memungkinkan melarang/minimal mengurangi campur tangan pemilik terhadap otonomi pemberitaan.—


Koran Tempo 30 Juni 2006, halaman pendapat

Tidak ada komentar: