27 September 2009

Menonton Kejujuran Srimulat

Srimulat di Global TV, dari kiri ke kanan, Doyok, Tessy, Kadir, dan Polo.

FRANS SARTONO DAN BUDI SUWARNA

Kelompok dagelan Srimulat tampil tetap di Global TV sejak awal Juli lalu. Di tengah tontonan lawak televisi yang makin maraksaat ini, Srimulat disodorkan dengan lanskap dan cerita yang katakanlah modern. Namun, lawakan Tarzan dan kawan-kawan tetap bergaya panggung yang justru menjadi kekuatan mereka.

Mamik dan Nunung duduk di kabin pesawat, sementara dua pramugari, Tessy dan Catherine Wilson, berjalan mondar-mandir. Mamik menjelaskan kepada Nunung, "Ini pramugari, nanti dia yang njelasin pakai bahasa Inggris, lho."

Tessy lalu bicara menjelaskan tata cara penyelamatan, tetapi ternyata dia menggunakan bahasa Madura. Sementara bahasa Inggrisnya hanya sebatas ladies and gentlemen yang terus diulang-ulang.

Pesawat yang membawa Presiden BenJovi dan Ibu Negara Jujuk itu dibajak Kadir dan kawan-kawan. Belakangan, pilot Tarzan masuk dengan menenteng kemudi pesawat. "Maaf, pesawat tak jadi terbang karena setirnya lepas...."

Itu adegan Srimulat di Global TV. Mulai 3 Oktober ini mereka akan tampil setiap hari Minggu pukul 12.00. Sebelumnya mereka tampil setiap Kamis malam. Srimulat tampil dengan sisa-sisa laskar kawakan, seperti Tarzan, Tessy, Mamik, Nunung, Jujuk, dan Kadir.

Kabin pesawat lengkap dengan kursi dan bagasi kabin merupakan "panggung" baru Srimulat.

Di Global, Srimluat memang ditempatkan di lanskap modern. Mereka, misalnya, tampil dengan setting bank, lobi gedung bioskop, laboratorium, dan bahkan luar angkasa.

Lanskap baru itu, menurut Sujaedi, produser acara Srimulat di Global, diharapkan bisa menarik penonton baru Srimulat yang kurang terbiasa dengan format panggung. Kiat lain adalah dengan menggandeng bintang tamu seperti Catherine Wilson, Alice Norin, Cut Meymey, sampai Fla "Tofu" Priscilla.

Sekadar pembanding, kita ingat lanskap konvensional Srimulat yang berupa ruang tamu dengan sofa dan meja. Kemudian sebagai adegan pembuka muncullah seorang pembantu dengan kain lap di pundak. Ia biasanya bermonolog ngerasani majikan.

Adegan khas Srimulat itu kemudian menjadi semacam pakem pentas komedi Srimulat yang dirintis almarhum Teguh. Ketika sering tampil di TVRI sejak pertengahan era 1970-an, tradisi panggung itulah yang dibawa Srimulat. Gaya panggung penuh improvisasi spontan semacam itu pula yang diusung Srimulat saat manggung di Indosiar pada pertengahan 1990-an.

Improvisasi

Meski berada di lanskap nonkonvensional, awak Srimulat tetap tampil dengan mengandalkan improvisasi spontan. Global memang menginginkan Srimulat tampil dengan model tersebut. Pihak Global menanggap itu sebagai kekuatan Srimulat yang layak dicatat oleh media televisi.

"Srimulat tidak berangkat dari naskah, tapi hanya garis cerita yang lalu dikembangkan dengan improvisasi," kata Sujaedi.

Global membiarkan awak Srimulat melawak dengan tradisi panggung. Mereka bebas mengalir spontan, tanpa intervensi ketat. "Kami tidak meng-cut (menghentikan adegan) sama sekali. Kami biarkan mereka mengalir seperti tayangan live. Kalau kita cut, mereka bisa kehilangan mood," kata Sujaedi.

Di panggung yang katakanlah modern itu, sebenarnya Srimulat tetap mengandalkan tabiat panggung. Akan tetapi, mereka sadar akan perlunya penyegaran bahan lawakan.

"Sekarang ini kita enggak bisa lagi tampilkan lawakan (lelaki) bersalaman berlama-lama dengan cewek. Lha wong sekarang ini cium pipi istri orang saja sudah biasa. Sekarang ndekep lama-lama baru dianggap lucu," kata Tarzan.

Ketidakmampuan berbahasa Inggris juga merupakan bahan lama yang masih digunakan Srimulat. Tessy, misalnya, sebagai pramugari menjelaskan penggunaan sabuk pengaman sebagai prosedur wajib "transportasi" yang diucapkannya sebagai "amputasi".

Tarzan sebagai tokoh profesor yang bekerja di laboratorium mengaku tidak menguasai istilah-istilah ilmiah. Bagi Tarzan, profesor itu identik dengan intelektualitas. Di panggung Srimulat, intelektualitas dan juga bentuk kemodernan lain dipanggungkan dengan bahasa Inggris.

"Kami tidak menguasai (bahasa Inggris), maka saya awur-awuran saja. Kami sebenarnya malu untuk menutupi ketidakmampuan itu. Kalau mampu, mungkin (lawakan) kami akan lebih hebat lagi. Jadi, ini kekuatan itu ada pada jam terbang saja," kata Tarzan.

"Ketidakmampuan" itu, menurut Tarzan, dalam dunia lawak tidak identik dengan kebodohan. Ia pernah tersinggung ketika seorang tokoh teater mengatakan bahwa sukses Srimulat di Jakarta era 1980-an itu karena orang Jakarta yang sibuk butuh hiburan dengan menonton kebodohan.

Menurut Tarzan, itu bukan kebodohan, tetapi kejujuran. Kemampuan awak Srimulat dalam menjadikan keterbatasan kemampuan menjadi bahan banyolan adalah suatu kecerdasan panggung. Tampaknya, bahan banyolan semacam itu yang akan dieksploitasi Srimulat versi pentas Global. "Kami ingin jadi tontonan yang tak bikin bodoh orang," kata Tarzan.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/27/03022386/menonton.kejujuran.srimulat

Tidak ada komentar: