21 September 2008

Tonton dengan Hati - Andy Noya, Kini Menjadi Diri Sendiri

Minggu, 21 September 2008 | 03:00 WIB

Berbagai komentar di internet tentang tayangan Kick Andy membuat mata Andy F Noya berkaca-kaca. "Apakah betul Kick Andy memberi pengaruh sebesar itu pada penonton?" tulis Andy dalam bukunya, Andy's Corner, terbitan Bentang dan Metro TV.

Ada penonton bernama Herry Candi, warga Barru, Parepare, Sulawesi Selatan, yang menempuh jarak 40 kilometer naik motor tiap pekan untuk menonton Kick Andy. Sinyal televisi tidak tertangkap baik di Barru sehingga ia terpaksa menonton di warung-warung di kota terdekat. Di sana, Kick Andy dimulai pukul 23.00 dan selesai sejam sesudahnya. Karena untuk pulang terlalu lelah, Herry menumpang tidur di pom bensin yang dilalui. Ia melakukan itu lantaran merasa hidupnya lebih berguna sesudah menonton Kick Andy.

"Banyak tanggapan positif, terutama saat kami menghadirkan orang-orang kecil dengan kisah hidupnya. Sebaliknya, banyak pula yang mencerca. Saat kami menghadirkan Xanana Gusmao dan Mayor Alfredo, misalnya, protes datang dari pendukung keduanya. Juga saat kami mengundang Sobron Aidit sebelum meninggal, banyak SMS pro-kontra masuk. Makanya kami sering bilang, tontonlah Kick Andy dengan hati, bukan dengan otak," papar Andy.

Cerita menyentuh muncul dari seorang guru dan kepala sekolah yang terpaksa memulung barang bekas untuk biaya pengobatan istrinya yang menderita kanker otak. Kisah mengharukan datang dari Sugeng yang cacat. Ia membantu sesama orang cacat dengan membuatkan kaki palsu.

"Hidupku jadi lebih berarti ketika bisa menjadi jembatan yang menghubungkan mereka dengan para dermawan," tutur Andy, yang bersama timnya kemudian mendirikan Kick Andy Foundation.

Program pertama KA Foundation adalah gerakan 1.000 kaki palsu bekerja sama dengan Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Gerakan yang terinspirasi dari cerita Sugeng ini berhasil mengumpulkan donasi lebih dari Rp 1 miliar. ia bersama tim juga mendirikan Kick Andy Enterprise yang dikelola Media Group dengan saham patungan antara Metro TV dan KA Foundation.

Sekarang Andy masih sangat bersemangat. Namun kelak, ucap Andy, ia harus berhenti. Ia ingin mewujudkan mimpinya menjadi penulis. Hanya penulis.

Pada umur berapa? "Aku sedang berunding dengan istri," jawabnya.

Pada hari tua, ia ingin tinggal di Batu, Malang, tempat ia menghabiskan masa kanak-kanak. Kerinduan akan masa kecil itu kerap muncul manakala membayangkan sawah, pohon, dan bambu.

"Tapi istri malah ingin tinggal di apartemen. Perempuan sulit dimengerti, ya? Ha-ha-ha."

Ha-ha-ha... (IVV)




Andy Noya, Kini Menjadi Diri Sendiri
FOTO-FOTO: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images
Minggu, 21 September 2008 | 03:00 WIB

Susi Ivvaty

Susah-susah mudah mewawancarai Andy Flores Noya. Sempat ia menolak. Bukan karena wartawan kok menanyai wartawan. "Nanti over expose," katanya beralasan. Ketika akhirnya bersedia ditemui, Andy menjelaskan mengapa ia tidak mau terlalu banyak dipublikasikan. "Aku menjadi makin terkenal, tapi malah 'menderita'."

Andy memberi gambaran, betapa kalau sedang berkunjung ke daerah untuk memandu program Kick Andy off air, ia menjadi bak selebriti. Banyak orang minta foto bersama dan tanda tangan. Jika ia sedang ingin menyendiri sambil membaca buku di kafe, ada saja orang yang mendekat dan menyalaminya. Ketenaran mendadak itu tak lain berkat Kick Andy, program talk show di Metro TV yang dipandunya sejak 20 Maret 2006.

"Jujur itu bukan diri sendiri karena aku sebenarnya enggak suka terkenal. Aku ini hidup dalam kontradiksi. Aku sebenarnya introvert, suka menyendiri, baca buku, menulis, tetapi sebagai host Kick Andy, aku harus banyak omong," tutur campuran Belanda (dari ibu) dan Papua (dari ayah) ini.

Memang kalau sedang memandu Kick Andy, Andy seakan tak terbendung. Pertanyaan-pertanyaannya kerap membuat orang terperangah. Orang bilang, pertanyaannya pedas. Belakangan Andy menyadari, pertanyaan pedas itu justru memberi karakter pada Kick Andy.

Pada episode "Aa Gym", misalnya, Andy melempar pertanyaan, "Anda, kan, meminta orang untuk menjaga hati, tapi mengapa Anda tidak menjaga hati istri Anda (dengan berpoligami)?" Atau pertanyaan untuk Harmoko, "Anda seperti Brutus, bagaimana bisa Anda menusuk Pak Harto dari belakang". Kepada Sri Sultan HB X, Andy menanyakan mengapa hak istimewa sebagai sultan untuk beristri lebih dari satu tidak dimanfaatkan, padahal banyak orang yang tidak memiliki keistimewaan itu justru melakukannya. Semua pertanyaan mereka jawab seraya tersenyum.

Andy jadi teringat ketika pada suatu waktu bos Media Group Surya Paloh berujar setengah bertanya kepadanya. Waktu itu ia masih menjabat Pemimpin Redaksi Media Indonesia. "Kamu itu kalau bicara nyelekit, tapi mengapa orang-orang enggak marah".

Sulit menjawab pertanyaan itu karena, kata Andy, ia sendiri pun kadang bertanya. "Aku hanya meyakini satu hal. Selalu tak ada niat jahat di balik pertanyaan-pertanyaanku. Tak ada agenda apa pun. Aku sama sekali tak berpolitik," tegasnya.

Berdiri sendiri

Wawancara dengan Andy di gedung Metro TV sore pekan lalu membuat beberapa teman heran, "Lho, Andy Noya kan sudah tidak di Metro TV". Andy terkekeh mendengarnya. "Aku juga sering ditanya," ujar Andy, yang sore itu menutup rambut kribonya dengan topi lantaran sedang berantakan.

Ceritanya, sejak tiga tahun lalu Andy sudah berniat undur diri dari Media Indonesia dan Metro TV, tapi waktu itu Surya Paloh berberat hati. Tahun ini, hasrat Andy sudah bulat. Ia bermaksud mengurus majalah Rolling Stone yang ia dirikan bersama Eddie Soebari dan Ratna Monika, yang selama ini ia abaikan. "Sudah saatnya saya berdiri sendiri," kata Andy, yang Mei 2008 ini secara resmi mengundurkan diri.

Andy terinspirasi buku Who Moved My Cheese? (1998), yang pesan moralnya lebih kurang: jangan merasa mapan dan nyaman di satu tempat. Berada terus-menerus di comfort zone itu berbahaya. Dua kurcaci di labirin penuh keju, seperti digambarkan dalam buku, memaksa Andy merenung. Kurcaci pertama selalu bekerja mencari keju di tempat lain sementara kurcaci kedua berleha-leha di tumpukan keju sampai menyadari keju telah habis.

"Aku ini beruntung di Metro TV. Aku mau jumpalitan, bikin apa saja pasti dikasih sama Surya Paloh. Dulu waktu masih di Media Indonesia, aku bilang mau keluar karena ingin masuk ke industri TV. Surya Paloh lalu bikin TV. Di sini, aku diberi kebebasan," terang Andy.

Sambungnya, "Tapi sekarang, to be or not to be, aku harus keluar. Aku ingin jadi bos juga, ha-ha-ha. Jadi tikus tapi kepala, daripada macan tapi ekor melulu."

Sewaktu masih terikat pekerjaan di Media Indonesia, Andy kerap merasa bersalah ketika meninggalkan kantor, karena itu berarti meninggalkan tanggung jawab. Namun sekarang, Andy lebih bebas menentukan waktu dan—yang pasti—tidak lagi mengenakan seragam. Kini, selalu ada jam-jam santai untuk membaca buku atau duduk sambil menyeruput kopi.

Andy juga menjadi lebih produktif menulis, kegiatan yang ia gandrungi sejak bangku sekolah dasar. Setiap kali menulis artikel atau buku, ia selalu teringat Bu Anna, guru SD-nya yang 34 tahun lalu pernah berkata, "Kamu cocok menjadi wartawan", sehingga ia terus terinspirasi.

Agustus 2008 ini, buku yang ia beri judul Andy's Corner terbit. Buku ini membahas pengalamannya menjadi host Kick Andy sekaligus curahan perasaannya selama memandu program.

Lantas, bagaimana dengan status di kantor Metro TV? "Itu dia komprominya," sahut Andy. Rupanya, Andy diizinkan keluar dari Metro TV asalkan: 1. Kick Andy tetap jalan, 2. Andy Noya tetap duduk di Dewan Redaksi Media Group, 3. Andy Noya menjadi corporate advisor Media Group.

O… pantesan. "Iya. Senin aku di Rolling Stone dan Metro. Selasa full di RS. Rabu full di Metro. Jumat full di RS. Sabtu-Minggu urusan keluarga, ha-ha-ha."

Bukankah itu ibarat kepala dilepas, tapi ekor ditarik? "Ah… tetap aku kini lebih menjadi diri sendiri. Aku sudah menemukan lentera jiwa," tandas Andy.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/21/01311722/tonton.dengan.hati

Tidak ada komentar: