18 September 2008

Operator Telekomunikasi Mulai Bertumbangan

oleh Moch S Hendrowijono

Ramalan tentang kemungkinan beberapa operator telekomunikasi (seluler) bertumbangan dalam dua tahun ke depan mulai terlihat tanda-tandanya. Paling tidak sudah ada sinyal keengganan pemilik operator meneruskan bisnis ini karena persaingan yang sangat ketat yang menguras energi yang tidak diketahui kapan dan di mana ujungnya.

Bulan lalu media mengungkapkan niatan petinggi PT Global Mediacom, Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo, untuk menjual bisnis di luar bisnis intinya, media. PT Mobile-8 (Fren-seluler dan Hepi-nirkabel tetap-fixed wireless access/FWA) merupakan milik PT Global Mediacom Tbk yang juga punya RCTI, TPI, MNC, dan Global TV sebagai bisnis inti.

Hary Tanoe mengatakan akan menjual 15,58 persen saham Mobile-8 seharga Rp 457,54 miliar sehingga kepemilikan Global di M8 tinggal 51 persen. Walau tidak tegas disebutkan siapa pembelinya, isyarat yang muncul, Hary akan menjual sahamnya kepada PT Bakrie Telecom (BTel).

BTel dan M8 memiliki layanan yang sama, walau BTel belum menjalankan layanan seluler, baru FWA (Esia) di 50-an kota. Pengambilalihan secara bertahap M8 oleh BTel atau mungkin merger keduanya akan memperkuat posisi BTel di industri telekomunikasi dari posisi kelima atau keenam menjadi urutan keempat.

Industri telekomunikasi nirkabel di Indonesia dikuasai tiga operator GSM besar, PT Telkomsel dengan 58 juta pelanggan, PT Indosat dengan 32 juta pelanggan, dan PT Excelcomindo Pratama (XL) 24 juta pelanggan. Mereka menguasai 84 persen pangsa pasar dari 135 juta nomor yang aktif digunakan.

Sisanya yang 16 persen diperebutkan 8 operator, yaitu Indosat (StarOne-FWA), BTel, M8, Hutchison (3), Sampurna (Ceria), Natrindo (Axis), Telkom (Flexi), dan Sinar Mas (Smart). Mereka baru memiliki 21,6 juta pelanggan, 4 juta dikuasai M8, BTel (5,4 juta), Telkom (9 juta), lalu Natrindo 600.000, Hutchison, dan Sinar Mas masing-masing satu juta, StarOne 400.000, dan Sampurna 200.000-an.

Saat ini, dengan tarif yang makin menukik, walau diimbangi belanja modal (capex-capital expenditure) relatif lebih murah, operator dengan pelanggan di bawah 10 juta akan sesak napas. Kecuali bila mereka melakukan penghematan besar-besaran di biaya operasi, misalnya menekan biaya pegawai, transpor, dan sebagainya. PT Telkomsel yang punya pelanggan terbanyak pun mulai memangkas beberapa biaya, termasuk promosi dan entertain.

Industri seluler berbasis CDMA, terutama yang bekerja di frekuensi 800 MHz, dianggap lebih punya masa depan karena capex dan opex (operation expenditure-belanja operasi) mereka jauh lebih murah dibanding operator GSM. Jumlah stasiun pemancar dna penerima (base transceiver station/BTS) mereka jauh lebih sedikit dibandingkan GSM untuk satu wilayah cakupan yang sama, jumlah kanal yang bisa disediakan oleh tiap BTS CDMA 10 kali lebih banyak dibanding GSM, modal perangkat teknologinya yang sangat murah, sepertiga harga di GSM.

Namun, tetap saja, operator yang memiliki pelanggan sedikit dalam waktu dekat akan tumbang juga. Buntut kebijakan pemerintah, mungkin satu operator akan menyusul M8 karena frekuensi yang digunakannya akan diambil balik pemerintah, sementara operator lain harus melakukan terlalu banyak penyesuaian teknis jika akan mengambilalihnya.

Keunggulan belanja operator CDMA, di samping performansi keuangan yang sangat baik dari BTel, membuat investor malah ingin mengakuisisinya, setidaknya oleh Altimo dari Rusia dan PT Telkom, dengan alasan berbeda. Altimo butuh kendaraan untuk mengakuisisi saham PT Indosat, sementara PT Telkom lebih ke keinginan menyingkirkan kerikil yang menancap di sela jari kaki Flexi yang pertumbuhannya terganjal Esia.

Flexi bisa tumbuh pesat jika statusnya tidak hanya sebagai bagian PT Telkom bersama unit usaha lainnya, karenanya tidak lentur dalam menghadapi gejolak pasar. Ini sama dengan StarOne yang dikembangkan setengah hati oleh Indosat karena bagi Indosat, lebih baik membesarkan gajah GSM-nya dibanding membesarkan semut yang tak mungkin menjadi sapi.

Tahun depan, kalau perang tarif tetap berlaku, bukan tidak mungkin beberapa operator kecil harus menjual perusahaannya ke operator lebih besar, atau merger atau lempar handuk, angkat tangan. Dan, sesungguhnya, 11 operator untuk Indonesia sudah terlalu banyak, cukup 5 atau enam saja.

Moch S Hendrowijono Wartawan; Mukim di Cisarua, Bandung

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/18/01295743/operator.telekomunikasi.mulai.bertumbangan

Tidak ada komentar: