08 Juni 2008

Saatnya Menilai Televisi dengan "Rating" Kualitas

DAHONO FITRIANTO & SUSI IVVATY

Prihatin terhadap sistem "rating" kuantitatif sebagai patokan menilai program televisi, beberapa organisasi independen membuat metode survei lain, yakni menilai kualitas acara televisi. Hasil survei menunjukkan, program yang paling banyak ditonton bukanlah yang bermutu terbaik.

Survei bertitel Rating Publik "Menuju Televisi yang Ramah Keluarga" ini dilakukan Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi (SET) didukung Yayasan TIFA, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), The Habibie Center, dan London School of Public Relations.

Koordinator survei Agus Sudibyo menegaskan, meski sama- sama menggunakan kata rating, metode ini bukan dimaksudkan untuk menandingi sistem yang diselenggarakan lembaga riset AGB Nielsen (yang menjadi patokan stasiun TV selama ini). "Metodenya jauh berbeda," ungkap Agus.

Survei rating publik ini dilakukan dengan menyebar kuesioner dan rekaman kepada 220 responden, masing-masing 20 responden di 11 kota, yakni Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Denpasar, Batam, Pontianak, dan Palembang. Responden dipilih menggunakan metode sampel kuota dan dari kalangan pemerhati televisi di setiap kota.

"Respondennya harus orang- orang yang paham dan bisa menilai secara kritis program acara televisi. Jadi, tidak bisa dipilih secara acak dari para kalangan masyarakat umum. Riset ini tidak berpretensi menggambarkan penilaian seluruh penonton televisi," papar Agus.

Untuk mencari responden yang sesuai dengan kriteria itu, mereka bekerja sama dengan lembaga independen pemerhati televisi di setiap kota, yakni Yayasan Kippas (Medan), LKi&KP (Batam), LPS-AIR (Pontianak), LKM (Surabaya), Silabika dan Pustaka Melayu (Palembang), YPMA KIDIA (Jakarta), LeSPI (Semarang), Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad (Bandung), Pusat Studi Audience Program Studi Ilmu Komunikasi STPMD "APMD" (Yogyakarta), Elsim (Makassar), dan IJTI Provinsi Bali (Denpasar).

Selain harus menjawab kuesioner, setiap responden juga harus menonton rekaman 15 acara TV, masing-masing lima acara untuk tiga kategori utama acara TV, yakni hiburan, bincang-bincang (talkshow), dan berita reguler. "Kami kirimi setiap responden rekaman itu agar mereka bisa benar-benar menelaah isinya. Lima acara yang dipilih adalah acara yang memiliki rating tertinggi berdasar riset AGB Nielsen," kata Agus.

Setelah mengolah data dari 191 responden yang mengembalikan kuesioner, terlihat bahwa mayoritas responden (41,9 persen) menilai program televisi di Indonesia secara umum masuk dalam kategori biasa-biasa saja. Hanya 27,2 persen yang berpendapat acara TV sudah baik, sementara 24,6 persen malah memandang isi TV kita masuk dalam kategori buruk.

Riset ini menerapkan enam kriteria penilaian kualitatif sebuah acara TV bisa dikatakan bermutu tinggi, yakni bisa menambah pengetahuan, bersifat pengawasan atau memberi peringatan, membangkitkan empati sosial, meningkatkan daya kritis, memberi model perilaku yang baik, dan menghibur.

"Kick Andy" terbaik

Berdasarkan jawaban dari responden, program Kick Andy yang dipandu host Andy Noya dinilai sebagai program terbaik dari semua program yang ada di televisi. Sebanyak 47,1 persen responden memilih program tersebut. Bandingkan dengan program ber-rating tertinggi versi AGB Nielsen, yakni sinetron Azizah.

Kick Andy juga dinilai sebagai program talkshow terbaik versi riset ini, sedangkan menurut AGB Nielsen, program Empat Mata adalah yang ber-rating tinggi. Namun, bukan berarti Empat Mata juga tidak disukai. Sebab, riset ini menunjukkan bahwa Empat Mata menempati urutan kelima setelah Kick Andy, Today's Dialogue, Oprah Winfrey, dan Dorce Show.

Andy Noya mendukung riset mengenai rating publik ini karena memberi alternatif lain soal rating. Selama ini, AGB Nielsen menjadi semacam "Tuhan"-nya untuk televisi dan periklanan sehingga seolah-olah menjadi satu-satunya kebenaran.

Kekuatan Kick Andy, menurut Andy, adalah pada tema dan content atau isi. Presenter hanyalah unsur kecil yang justru menjadi kelemahan. Itu karena Andy merasa tidak menarik di depan kamera, tidak ganteng, bergaya kaku, dan berambut kribo pula. "Jadi saya tertolong oleh tim yang solid. Kick Andy ini kental dengan unsur jurnalisme. Kami mengandalkan jaringan yang dimiliki Metro TV, yakni reporter yang tersebar di banyak daerah. Merekalah yang banyak memberi informasi," paparnya.

Kekuatan lain Kick Andy adalah, program ini mengasah kepekaan sosial dan selalu menyampaikan pesan moral. Misalnya soal tema kelamin ganda, kaki palsu, atau guruku pemulung. Topik yang diangkat berimbas sangat luas. Soal kaki palsu, misalnya, ternyata banyak sekali orang yang membutuhkan. Karena itu, muncullah gagasan untuk membuat kegiatan "1.000 Kaki Gratis Kick Andy" dan sudah terkumpul dana Rp 1 miliar dari sponsor.

"Kelemahan Kick Andy selain pada host-nya juga unsur hiburannya. Kick Andy juga tidak interaktif, tidak bisa berdialog dengan penonton di rumah karena direkam," terang Andy.

Ada beberapa program yang dinilai bagus oleh responden survei ini, dan juga di rating tinggi oleh AGB Nielsen. Namun, ada pula yang sangat jauh panggang dari api. Bagaimanapun, patokan ini patut menjadi alternatif.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/08/00462811/saatnya.menilai.televisi.dengan.

Tidak ada komentar: