22 Juni 2008

Pendidikan Animasi Terbentang Luas

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Siswa belajar animasi di Cybermedia College, Jakarta.
Susi Ivvaty

Bagaimana cara bisa menjadi animator andal? Apakah setelah bersekolah siswa lantas langsung siap menggauli industri animasi yang kompetitif ini? Sejumlah lembaga pendidikan dengan cerdas menangkap peluang, menawarkan berbagai kurikulum sesuai dengan kebutuhan industri.

Cybermedia College menjadi salah satu lembaga yang menjanjikan lulusan animator siap pakai, taruhlah bisa bekerja di perusahaan film atau periklanan. Lulusan tidak hanya piawai menggerakkan gambar, tetapi juga bisa bercerita. "Keberhasilan animasi itu tergantung dari ceritanya. Kalau enggak diberi knowledge, ya jadi kosong," kata Direktur Cybermedia College Suzanna V Mokalu.

Jadi, sekolah setingkat diploma tiga ini pun mengajarkan tujuh modul untuk empat jurusan yang dibuka, salah satunya jurusan animasi. Untuk modul pertama, misalnya, siswa harus mempelajari fundamental of art & design and color theory dan fotografi.

Cybermedia College yang didirikan pada tahun 2005 di Kelapa Gading ini mulanya akan disetarakan dengan diploma tiga sebanyak 110 sistem kredit semester (SKS). Namun, Departemen Pendidikan Nasional menolak dengan alasan harus ada mata kuliah dasar umum (MKDU) 16 SKS. "Wah, kami ini berpacu dengan industri, maunya lulusan bisa cepat dipakai," ujar Suzan.

Lembaga ini kemudian berafiliasi dengan universitas di luar negeri, yakni Lim Kok Wing, Malaysia, Raffles University Singapura, dan Billy Blue School of Graphic Arts Australia. Lulusan Cybermedia College dibekali sertifikat dan jika melanjutkan ke tiga universitas itu, SKS yang didapat langsung disetarakan.

Biaya pendidikan untuk dua tahun belajar di lembaga ini sekitar Rp 40 juta. "Enggak ada lulusan lembaga kami yang nganggur. Visi kami adalah a bridge to creative industry," tandas Suzan.

Lukman Harry (21), siswa Cybermedia College yang sedang mengerjakan tugas akhir, masuk lembaga ini lantaran murah dan memberikan kurikulum yang ia mau. "Saya pengin jadi sutradara film animasi yang terkenal di dunia," katanya. Ia pernah bekerja tiga bulan di Castle Production dan menggarap layout di Elex Media.

Sama seperti Cybermedia College, Digital Studio College yang dibuka pada tahun 2000 juga menawarkan program dua tahun. Yang ditampung bukan hanya lulusan SMA, melainkan juga pekerja dan mahasiswa. Untuk pekerja, waktu belajar bisa malam hari. "Ada yang kerja di asuransi, marketing, hingga pegawai negeri," kata Rini Suprapto, College Manager Digital Studio College.

Lembaga ini setiap tahun menerima 80 siswa untuk jurusan animasi dan desain grafis. Biaya untuk dua tahun perkuliahan adalah Rp 15 juta untuk biaya masuk dan Rp 750.000 per semester. Untuk program kursus para pekerja selama empat bulan, biayanya adalah Rp 5 juta-Rp 6 juta.

Satu lembaga yang cukup kondang, Hellomotion, bahkan sudah meluluskan 600 siswa. Lembaga ini membuka empat kelas, yakni animasi, motion graphic, digital movie, dan editing. Biaya setiap program dipatok Rp 3,8 juta, kecuali editing Rp 1,5 juta.

Siswa belajar empat kali sepekan dan setiap kelas cukup diisi 10 peserta. "Sekarang ada tiga kelas yang masuk daftar tunggu," kata pemilik Hellomotion Wahyu Aditya.

Prinsip-prinsip animasi

Sekolah animasi biasanya menerapkan 12 prinsip dasar animasi yang diakui dunia. Animage: Indonesia Animation College, sekolah animasi dua dimensi yang didirikan Kepala Humas Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (Ainaki) Leila Djawas dan akan dibuka Agustus 2008 ini, pun demikian. Prinsip animasi itu antara lain stretch and squash, anticipation, slow in slow out, timing, hingga solid drawing dan appeal.

Animator yang lulus sekolah ini akan mampu mewujudkan segala macam fantasi yang ada pada dirinya dalam bentuk nyata dan hidup. "Apa pun karakter yang Anda ciptakan dapat dibuat bergerak, berakting seolah-olah hidup sesuai dengan keinginan Anda," ujar Leila.

Di Cybermedia College, prinsip dasar juga diberikan. Siswa belajar pula soal storyboard, membangun cerita, membuat karakter, mematung, komposisi tiga dimensi, hingga analisis film. Untuk tugas akhir, siswa membuat film animasi pendek. "Pengetahuan soal kebudayaan dan pengetahuan umum juga kami berikan," ujar Suzan.

Sekolah menengah

Kurikulum untuk jurusan animasi di sekolah menengah kejuruan (SMK) pun mengadopsi 12 prinsip itu. Sekolah menengah? Ya, SMK jurusan animasi memang makin banyak didirikan, bersamaan dengan terbentuknya Ainaki yang diketuai Denny A Djoenaid pada tahun 2004.

Waktu itu Depdiknas dan Departemen Perindustrian belum ngeh dengan keberadaan potensi animasi di industri kreatif. Denny lantas bertemu dengan Direktur Pendidikan Menengah dan Kejuruan Gatot Hari Priowirjanto dan bersepakat mendirikan jurusan animasi di SMK. Jurusan animasi ini awalnya dibentuk di delapan SMK, di antaranya SMKN 5 Bali, SMKN 1 Malang, dan SMKN Yogyakarta.

Sebagai persiapan pembukaan jurusan ini, guru-guru dari sekolah tersebut ikut kuliah di program D-4 Animasi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Para animator profesional di Ainaki juga melatih para guru ini.

Sekarang makin banyak jurusan animasi di SMK. Kepala Jurusan Animasi SMKN 4 Malang, Jawa Timur, Kuncoro Aji, mengatakan, jurusan animasi di SMKN 4 baru setahun lalu dibentuk. Namun, sekolah ini justru dijadikan percontohan SMK se-Indonesia.

"Kami meng-update kurikulum, sesuai dengan kebutuhan industri," katanya. Pengetahuan dasar itu semisal menggambar orang dengan berbagai pose dengan komposisi pas.

Apakah para lulusan sekolah ini mampu menjawab tantangan di industri kreatif? Pengamat animasi Dwi Koen mengatakan belum tentu. "Kita masih belum merambah wilayah kreativitas, masih sebatas perajin. Itu karena sulit untuk bersatu. Industri di Indonesia tumbuh secara sporadis," katanya.

Dwi Koen mencontohkan perusahaan Amerika Serikat, Walt Disney dan Pixar, yang saat ini bisa bekerja sama. "Dulu tak terbayangkan. Disney banyak bikin 2D, Pixar 3D. Nyatanya mereka bisa bersatu dan membuat film bagus. Kita susah untuk bisa seperti itu," terangnya. (DHF/BSW/IND)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/22/00483751/pendidikan.animasi.terbentang.luas


Mengubah Tukang Menjadi Macan
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Aktivitas pembuatan klip video animasi di Digital Studio, Jakarta.

DAHONO FITRIANTO

Rumah berlantai dua itu terselip di tengah Gang Sukamakmur, sebuah gang sempit di kawasan Ciputat di selatan Jakarta. Tak ada reklame atau papan nama di depan rumah bercat putih yang mulai kusam itu. Namun, di tempat itulah sebuah industri yang disebut ekonomi kreatif dijalankan selama sembilan tahun terakhir.

Sejak 1999, Andi Rusmana (39) dan tiga temannya, Johnny Rinaldi (37), Adji Sunaryo (41), dan Sukaji (39), menjalankan Mrico Animation di rumah kontrakan itu. Mereka memproduksi film-film animasi yang dijual dalam bentuk VCD.

Salah satu produknya yang cukup berhasil di pasar adalah film pendidikan anak dengan tokoh utama karakter anak kecil bernama Mrico (bahasa Jawa dari merica). "Kami membuat film- film animasi sesuai pesanan produser di Mangga Dua. Setiap film dibeli putus seharga Rp 60 juta per episode," kata Andi, yang populer dengan sebutan Andi Mrico.

Dengan tim beranggotakan 15 orang, Mrico Animation setiap bulan rata-rata mampu membuat satu episode film animasi berdurasi 30 menit. Selain menggarap film, mereka juga menerima pesanan animasi untuk iklan. "Hampir semua kami kerjakan sendiri, mulai dari cerita, storyboard, gambar, sampai composing dan editing. Hanya pengisian suara dan pembuatan efek 3D (tiga dimensi) yang dikerjakan di studio lain," ungkap Andi.

Di salah satu kamar di rumah itu yang sempit dan tanpa pendingin ruangan, Andi, Johnny, dan Adji tiap hari menggambar sendiri tokoh animasi ciptaan mereka. Dengan meja lampu (light box) sederhana, satu demi satu detail gerakan satu tokoh mereka gambar. "Kami hanya membuat gambar-gambar kuncinya, sedangkan gambar in-between (rangkaian gambar di antara gambar kunci) dikerjakan teman- teman lain," ungkap Johnny.

Belum inti

Begitulah industri kreatif dunia animasi dikerjakan di Indonesia. Industri berpotensi pasar triliunan rupiah ini masih dikerjakan dalam skala industri rumahan, belum dipandang serius oleh para pemilik modal.

Sekretaris Umum Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (Ainaki) Kris H Sulisto menyebutkan, potensi pasar industri animasi di Asia saja mencapai 3 miliar dollar AS. Dari potensi pasar sebesar itu, yang dikerjakan di Indonesia selama ini baru bernilai sekitar 10 juta dollar AS, alias belum mencapai 1 persen.

Dan, yang disebut industri animasi di Indonesia itu pun belum benar-benar menyentuh inti industrinya, yakni produksi film animasi. Ketua Ainaki Denny Djoenaid mengatakan, suatu negara baru bisa disebut memiliki industri animasi jika sedikitnya ada satu serial film animasi buatan sendiri yang diputar di stasiun televisi nasional sebanyak satu episode setiap minggu selama satu tahun penuh. "Itu asumsi minimal untuk sebuah tokoh animasi bisa diterima pasar utamanya, yakni anak-anak," papar Denny.

Dari sekian banyak rumah produksi animasi yang ada di Indonesia, hanya segelintir yang benar-benar memproduksi film animasi utuh. "Sebagian besar bekerja untuk dunia periklanan dan desain arsitektur," papar Denny yang memiliki rumah produksi Denny Animation.

Sekadar "tukang"

Kalaupun ada perusahaan besar yang memproduksi film, itu pun tak lebih dari sekadar mengerjakan order dari perusahaan- perusahaan film di luar negeri, seperti Jepang atau Amerika. "Konsep film mulai dari cerita, storyboard, sampai karakter sudah dikirim dari negara asalnya. Kita tinggal membuat gambar- gambar in-between-nya. Makanya Indonesia hanya dikenal sebagai negara in-betweeners. Sekadar jadi pabrik atau tukang," kata Denny, yang menimba ilmu animasi sejak 1974.

"Pabrik-pabrik" animasi pesanan luar negeri ini memang sudah sejak lama ada di Indonesia. Pada periode 1980 hingga 1990-an ada beberapa perusahaan besar, seperti Asiana Wang Animation di Cikarang, Evergreen di Surabaya, dan Marsa Juwita Indah di Bali. Menurut Gotot Prakosa, Ketua Asosiasi Animasi Indonesia (ANIMA), mengatakan, film-film kartun populer dari Jepang, seperti Doraemon, Crayon Sinchan, Saint Seiya, dan Sailor Moon, sebagian dikerjakan oleh pabrik-pabrik itu.

Pabrik-pabrik animasi itu juga yang turut menelurkan para animator Indonesia, yang kemudian membuat rumah produksi sendiri.

"Dulu kami sering mendapat order film-film kartun Jepang, seperti Doraemon dan Pokemon," kenang Andi Mrico, yang bersama Johnny, Adji, dan Sukaji adalah "alumni" Marsa Juwita.

Kemampuan para animator Indonesia kini sudah tak kalah dengan animator dari luar negeri. Andi, misalnya, mengaku bisa membuat film animasi setara serial Avatar: The Last Airbender (film animasi berkualitas 25 gambar per detik) seandainya mendapat modal cukup. Bahkan, para animator tersebut sudah mampu membuat film-film animasi 3D.

Untuk kualitas standar animasi yang setara dengan film-film semacam Doraemon atau Crayon Sinchan, beberapa rumah produksi bahkan sudah mampu membuat dalam skala industri. PT Rumah Animasi Indonesia (RAIS Pictures) di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, misalnya, sejak 2003 rutin memproduksi 3-4 episode film animasi berdurasi 24 menit setiap bulan. "Film-film itu dipasarkan dalam bentuk VCD/DVD dan sejauh ini masih diserap pasar. Bahkan film produksi pertama pun sampai sekarang masih dicetak ulang," ungkap Setiyo Budi Leksono, Direktur RAIS Pictures.

Sulit modal

Lalu, mengapa animasi belum jadi industri seperti yang diharapkan Denny? Salah satu faktor utama adalah ketidakseimbangan antara biaya produksi dan daya beli stasiun TV di Indonesia. "Untuk membuat satu episode film berdurasi 24-30 menit, rata-rata dibutuhkan biaya Rp 60 juta-Rp 100 juta. Sementara stasiun TV hanya mau membeli film animasi lokal dengan harga di bawah Rp 10 juta per episode. Mereka lebih memilih membeli film animasi dari luar yang harganya hanya 500-2.000 dollar AS per episode," papar Denny.

Hambatan kedua adalah faktor permodalan. Menurut Denny, sebenarnya distributor film-film animasi, seperti Nickelodeon dan Disney, menerima film animasi dari mana pun. Akan tetapi, mereka menuntut kapasitas produksi yang tinggi sebagai syarat. "Mereka menuntut harus ada jaminan kita mampu membuat minimal 52 episode film yang sesuai dengan standar mereka. Nah, modal untuk membuat 52 episode itulah yang tidak ada," tuturnya.

Denny mengibaratkan, industri animasi Indonesia adalah macan tidur. Potensi yang besar, tetapi belum digarap optimal. Pertanyaannya adalah bagaimana mengubah kultur tukang menjadi kultur macan? (BSW/IVV/IND)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/22/00481335/mengubah.tukang.menjadi.macan

Hellomotion, Bersandar pada Komunitas

KOMPAS/DAHONO FITRIANTO / Kompas Images
Sebagian koleksi film animasi produksi Rumah Animasi Indonesia sejak tahun 2003 yang telah dipasarkan.

Seperti para musisi indie, animator memanfaatkan benar yang namanya komunitas. Dengan komunitas, mereka menciptakan peluang ekonomi sendiri sekaligus bersama-sama menyampaikan aspirasi politik.

Salah seorang animator yang gigih membentuk komunitas adalah Wahyu Aditya (28), pemilik tempat kursus animasi Hellomotion di kawasan Tebet, Jakarta. Sejak empat tahun lalu, dia mencoba menghimpun komunitas animasi melalui festival film pendek dan situs internet.

Festival film itu bertajuk Hellofest yang digelar setiap tahun sejak 2004. Menurut Wahyu, setiap tahun, film yang ikut serta dalam Hellofest sekitar 150 buah, 80 persennya adalah film animasi. Festival yang berlangsung semalam ini biasanya dihadiri sekitar 3.000 orang. Mereka terdiri dari pelajar, mahasiswa, praktisi animasi, dan kurator film animasi.

Melalui festival ini, lanjut Wahyu, animator yang banyak tersebar di Indonesia bisa saling berinteraksi. Dari sini muncul animator-animator potensial.

"Beberapa di antara mereka kami ajak untuk berkolaborasi dalam proyek-proyek yang bersifat komersial," ujar Wahyu.

Wahyu juga mencoba menghimpun komunitas melalui situs internet bernama Kementerian Design Republik Indonesia dengan alamat kdri.web.id. Situs ini semacam kementerian virtual lengkap dengan kebijakan-kebijakannya. Setiap orang boleh mengirim karya desain grafis, animasi, atau ide liar yang berkaitan dengan kehidupan bangsa Indonesia. Pokoknya, situs ini bisa menampung ide-ide liar dan kritis.

Di situs itu ada sebuah film pendek bertajuk Najis Award. Film itu berupa gabungan karakter animasi dan potongan adegan sinetron. Di bagian akhir, film itu menobatkan sinetron yang mengumbar adegan tampar-menampar sebagai sinetron ternajis karena dianggap paling berhasil melecehkan logika.

Mereka juga mengkritik desain logo-logo yang dianggap kaku milik instansi pemerintah maupun swasta. Mereka menawarkan desain baru yang mereka anggap lebih oke, keren, dan funky. Situs itu, katanya, dikunjungi 800- 1.000 orang dari seluruh dunia setiap hari.

"Melalui situs itu kami memang ingin mengubah Indonesia dengan kekuatan alternatif, yakni kekuatan animasi. Sekalian, kami bisa menghimpun komunitas," ujar Wahyu yang dipilih British Council sebagai International Young Screen Entrepreneur of The Year pada tahun 2007 karena sepak terjangnya dianggap berpengaruh kepada orang banyak.

Bagi Wahyu, komunitas sangat penting bagi orang-orang yang bergerak di dunia animasi. Mengapa? Karena hampir semua industri animasi dijalankan dengan sistem outsourcing. Sebuah film animasi bisa dikerjakan beramai-ramai oleh animator dari berbagai negara.

Wahyu kini sedang menyiapkan sebuah film animasi dengan sistem crowdsourcing. Maksudnya, sistem yang sumber daya dan dananya berbasis pada komunitas yang disebut Wahyu sebagai crowd.

"Saya membuat ceritanya dan di-publish di internet. Crowd bisa mengomentari cerita itu atau memberi dana. Nanti saya akan mencantumkan nama pemberi dana pada film itu," papar Wahyu.

Setelah film jadi, film itu akan ditonton dan didistribusikan oleh komunitas. Menurut Wahyu, sistem ini sudah digunakan sejumlah animator independen di seluruh dunia untuk mengurangi ketergantungan pada pemilik modal.

Kalau sistem itu berjalan, komunitas animasi mungkin bisa menggoyang hegemoni pemodal besar yang bermain di bisnis ini. (Budi Suwarna)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/22/00474740/hellomotion.bersandar.pada.komunitas

Tidak ada komentar: