
Garin Nugroho
"Lihat sepuluh besar American Idol, David, Carly, hingga Syesha. Baju dan tampilannya bersahaja, bahkan pembawa acaranya tidak seronok dan mewah, namun kualitas profesionalnya luar biasa. Mereka paham, siapa yang bintang, siapa pemandu, dan bagaimana menjuri secara efektif serta berkarakter." Demikian komentar seorang guru dalam sebuah diskusi tentang televisi.
Lalu dengar yang ini, ujar seorang produser televisi: "Rating ditanggapi secara instan, melahirkan kompetisi bisnis tidak sehat, memaksa pekerja televisi bekerja lebih banyak, lebih cepat, namun merendahkan profesionalisme. Program televisi tergelincir berlomba menarik perhatian tiap detik tanpa memerhatikan kode etik. Saya menyuruh anak saya untuk tidak menonton televisi."
Komentar-komentar di atas hanyalah beberapa komentar dari deretan gugatan kepada televisi, khususnya berkait dengan keluarga. Jajak pendapat Kompas awal tahun 2008 menunjukkan, menonton televisi adalah kegiatan yang lebih bersifat kekeluargaan daripada individual. Tercatat hanya 4,9 persen responden yang menonton televisi tidak dengan anggota keluarga. Artinya, menonton televisi adalah sebuah perilaku komunal, di mana 47,1 persen tercatat, penguasa remote control adalah sang anak.
Di Eropa-Amerika, semua siaran televisi terencana dan terprogram, hingga mampu memilah waktu bagi anak-anak dan dewasa. Oleh karena itu, sangatlah perlu memberi catatan khusus terhadap televisi dalam perspektif ruang keluarga. Bagaimana sebagai sebuah medium, televisi dapat berperan juga meneguhkan nilai dasar untuk sebuah bangsa dalam bertindak, berpikir, mengadopsi, atau bereaksi terhadap berbagai hal di sekitarnya.
Sejarah ruang keluarga
Sejarah televisi diyakini sebagai penemuan teknologi yang mampu mengumpulkan anggota keluarga di ruang keluarga. Haruslah dicatat, industri televisi bertumbuh pasca-Perang Dunia II, ketika orang-orang tua di Amerika dan Eropa lewat televisi melihat wajah perang dunia dan menunggu anak mereka pulang dari perang.
Oleh karena itu, sejak awalnya televisi lalu menjadi mimbar dunia yang dikonsumsi oleh keluarga. Persaingan Obama dan Hillary Clinton juga memanfaatkan media televisi. Demikian juga, presiden-presiden Indonesia dikenal lewat televisi dan bukan lewat buku-buku. Juga lihat, munculnya "kiai televisi", yakni para pemimpin agama yang terkenal lewat televisi, bukan lewat pelayanan umat secara langsung.
Televisi menjadi buku bergambar dan bersuara terpopuler, refleksi orientasi budaya lisan, ketika budaya baca belum begitu berakar kuat.
Televisi juga menjadi bagian dari sejarah barang-barang konsumsi yang masuk ke ruang keluarga.
Catatan di atas menyimpulkan, abad ini adalah abad generasi televisi. Ketika televisi menjadi mimbar terbesar urbanisasi nilai-nilai. Sebuah kebudayaan massa yang digerakkan dengan kultur teknokapitalis, yang tiap detik programnya dibiayai untuk mendapatkan pameran perhatian dari anggota-anggota keluarga di depan televisi. Televisi sesungguhnya mimbar pameran perhatian terbesar abad ini.
Genius vs etika
Sejak kelahirannya, televisi dipenuhi sebutan yang berbeda. Sebutlah, jendela dunia, tabung kekerasan, padang pasir kebodohan, hingga sahabat keluarga. Hal terakhir membuat televisi tidak bisa dilepaskan dari etika komunikasi, juga etika jurnalistik, etika perlindungan anak, etika perlindungan konsumen, etika periklanan, etika bercerita, hingga etika bincang-bincang.
Tetapi, tuntutan-tuntutan itu senantiasa dihadapkan dengan pertanyaan umum dalam berbagai diskusi televisi: "Bagaimana bisa menjadi industri kreatif yang menguntungkan kalau sedikit-sedikit bicara etika?" Di sementara lain, sejarah memperlihatkan bagaimana program televisi mampu tumbuh menjadi bisnis dunia, justru karena gabungan kegeniusan industri kreatif dengan etika komunikasi. Dengan modal tersebut, program televisi pun menjadi mimbar yang dibutuhkan seluruh keluarga. Bukan sebaliknya: digelisahkan dan dihujat keluarga.
Yang harus dicatat, beberapa program popular cenderung semakin vulgar dan seronok alias kecerdasan kreatifnya menipis. Lihat, misalnya, program penuh olok-olok dengan laki-laki berpakaian wanita yang seronok.
Simak berbagai berita penuh kekerasan. Banyak yang ditampilkan jauh dari nilai jurnalisme damai, bahkan tak peduli dampaknya pada anak-anak.
Wajah paradoks
Industri kreatif televisi kini telanjur berada dalam kompetisi yang tidak sehat. Pertama, karena industri yang tumbuh karbitan dengan nilai investasi yang besar—setahun saja sebuah stasiun mengeluarkan dua-tiga ratus miliar untuk belanja program—melahirkan etos kerja "modal cepat balik".
Kedua, jumlah stasiun televisi berskala nasional yang belasan jumlahnya, melebihi kebutuhan masyarakat. Ketiga, jumlah sumber daya yang terampil sangatlah sedikit.
Keempat, tekanan rating ditanggapi dengan jalan pintas, yakni menjual kemasan bersifat fisik, vulgar, dangkal, kekerasan, dan materialistik. Akibatnya, kesuksesan industri televisi bukan lagi berdasar penghormatan pada profesionalisme.
Akibat lebih jauh, kemewahan televisi berbanding terbalik dengan realitas masyarakatnya.
Pada galibnya, televisi sesungguhnya menjadi cermin bagi bangsa dan wajah keluarga yang ada di dalamnya. Namun, yang ada kini adalah wajah yang paradoks. Di satu sisi ia penuh simbol religius, di sisi lain ia mewah, vulgar, materialistik, dan penuh kekerasan. Di satu sisi terbuka dan demokratis, namun di sisi lain kehilangan etika bahkan esensi demokrasi itu sendiri. Di satu sisi memiliki lompatan kemajuan yang cerdas, tetapi isinya banyak yang dangkal.
Bila paradoks dan kompetisi tidak sehat di atas terus berlanjut, televisi tampaknya akan kehilangan peran terbesarnya sebagai mimbar keluarga. Pada akhirnya, televisi pun kehilangan perannya sebagai agen pembentukan karakter bangsa, yang antara lain kosmopolit sebagaimana karakter wahana itu sendiri. Tentu hal ini tidak kita inginkan.
Garin Nugroho Direktur Yayasan Sains Estetika Teknologi; Sutradara; dan Pengamat Komunikasi Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar