Oleh Gandha Widyo Prabowo *
"Mati satu tumbuh seribu". Ibarat itulah yang bisa menggambarkan perkembangan situs-situs porno di internet. Setiap hari kemunculan situs porno baru kian merajalela. Konsumennya pun kini tak lagi didominasi orang dewasa, remaja hingga anak SD pun turut mengenal dan menikmatinya. Sungguh kondisi yang sangat mencengangkan.
Data Departemen Kominfo menyebutkan bahwa 90 persen anak-anak usia 8-16 tahun pernah melihat situs porno di internet. Atas dasar fakta inilah situs pornografi akan ditutup oleh pemerintah. Argumen yang dibangun adalah karena situs-situs porno dapat merusak moral generasi muda.
Tindakan pemerintah tersebut patut diapresiasi setinggi langit. Saya sendiri termasuk pendukung program pemerintah dalam penutupan situs-situs porno ini. Tetapi, ada beberapa hal yang masih mengganjal di benak pikiran saya tentang langkah penutupan situs porno.
Pertama, benarkah ada korelasi atau hubungan yang kuat antara menonton situs porno dengan bejatnya moral pada diri seseorang? Adakah penelitian ilmiah yang menyebutkan menonton situs porno dapat mengakibatkan tindak kejahatan seksual bertambah tinggi? Sebab, selama ini saya belum mengetahui sebab-akibat yang kuat di antara keduanya.
Kedua, jika argumen yang dibangun ialah untuk menyelamatkan moral generasi muda, mengapa tayangan TV yang menayangkan adegan kekerasan dan seksualitas tidak dipandang sama dengan keberadaan situs porno ini? Padahal, tayangan TV kita banyak sekali menampilkan adegan yang penuh kekerasan dan seksualitas. Bahkan, tayangan itu terus-menerus ditayangkan pada film ataupun sinetron yang ditonton berjuta-juta generasi muda.
Mengapa itu mendapat perlakuan yang berbeda? Mestinya, pemerintah melakukan langkah komprehensif dan dilakukan secara holistik jika mau menyelamatkan moral generasi muda. Tidak bisa hanya dilakukan parsial.
Pada awal 1970-an, Dr Tannis Macbeth Williams dan periset lain dari Universitas British Columbia membandingkan tingkat agresi pada anak-anak kelas satu dan dua SD dari dua kota di Kanada -yang satu mempunyai TV dan yang lain tidak bisa menerima siaran TV karena terhalang deretan pegunungan. Ketika kota pegunungan itu akhirnya bisa menerima televisi, tingkat pukul-memukul, gigit-menggigit, dan dorong-mendorong pada anak-anak itu meningkat 160 persen. (Sumber: Milton Chen PhD dalam buku terjemahan Mendampingi Anak Menonton Televisi, panduan bagi orang tua)
Penelitian tersebut membuktikan tingkat kekerasan yang disebabkan tayangan TV memiliki pengaruh signifikan bagi pemirsanya, terutama usia anak dan remaja. Meski demikian, banyak adegan di TV yang terus-menerus masih memproduksi tayangan yang menampilkan kekerasan. Mengapa tidak ditutup saja sekalian tayangan-tayangan TV yang berbau kekerasan dan seksualitas itu.
Kemudian, masih dalam pembahasan menyelamatkan moral bangsa, yang kontradiktif, menurut saya, mengapa keberadaan lokalisasi tetap dipertahankan? Padahal, itu adalah sesuatu hal yang dianggap merusak moral dan tepat di hadapan mata kita. Bahkan, keberadaannya akrab sekali di dalam kehidupan masyarakat kita.
Sekadar contoh, siapa tidak kenal Dolly? Tempat pelacuran termasyhur di Surabaya itu sering didatangi bukan hanya masyarakat sekitar Surabaya, tetapi juga dari luar kota, bahkan luar negeri sekalipun. Tetapi, bukti perusak moral yang nyata itu tetap terjaga eksistensinya.
Penutupan situs porno yang dilakukan pemerintah bukanlah sebuah panasea untuk menjaga kesucian moral bangsa kita. Oleh karena itu, tidak perlu mengharap berlebihan dan menganggap itu hanya menjadi urusan pemerintah semata. Sebab, urusan selangkangan memang tidak pernah ada matinya. Meski sudah diblokir, ada saja pemilik situs porno yang berhasil membobol dan menampilkan sesuatu hal porno di internet.
Memang, hal yang berbau seks dan kekerasan selalu menjadi komoditas yang laris di pasaran. Peneliti LIPI Romi Satria Wahono menjelaskan bahwa 80 persen bisnis internet didominasi bisnis situs porno. Tidak tanggung-tanggung, kontribusi situs porno tersebut mencapai 18 miliar dolar per tahun.
Sementara itu, jumlah halaman situs yang mengandung pornografi mencapai 1,3 miliar. Kemudian, di antara 1 miliar pengguna internet, 60% membuka situs porno saat terkoneksi internet (Banjarmasin Post 31/12/2007).
Incaran Teratas
Hasil penelitian itu menjadi bukti urusan selangkangan selalu menjadi incaran teratas. Meski banyak yang menentang dan menghujat situs porno, kenyataannya, keberadaannya sangat dicari-cari. Pasar untuk segmentasi pornografi di negeri ini pun jumlahnya masih sangat besar. Tinggal bagaimana kita berperang menghadapi pasar karena sesungguhnya kekuatan pasarlah yang menjadi musuh kita.
Efektivitas penutupan situs porno itu sedang ditunggu banyak pihak. Benarkah langkah tersebut bisa meredam peredaran tayangan porno yang sudah merajalela di negeri ini. Ataukah hanya menjadi gertak sambal dan omong kosong pemerintah saja. Sebab, meredam segala hal tentang porno, menurut saya, sangatlah sulit.
Karena itulah, sebenarnya diperlukan gerakan nyata dari berbagai pihak untuk melakukan media literacy (melek media). Memberikan pembelajaran dan penyadaran tentang segala hal yang berkaitan dengan informasi di media. Misalnya, memberikan pengetahuan bahwa situs-situs atau pun tayangan porno merupakan tayangan sampah yang tidak memberikan nilai tambah bagi kehidupan kita.
Selain itu, peran orang tua sangat diperlukan untuk memberikan pengawasan kepada anak. Memberikan pendampingan kepada anak tentang tayangan yang ditonton/dibaca di media dan juga memberikan porsi tontonan yang layak untuk dikonsumsi.
Meski penutupan situs porno itu merupakan langkah maju, percuma saja jika tidak didukung berbagai pihak terkait. Tentu saja, aturan-aturan yang mengatur tentang peredaran tayangan seksualitas dan kekerasan harus dipertegas.
*. Gandha Widyo Prabowo, mahasiswa FISIP Unair
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=334264
Tidak ada komentar:
Posting Komentar