17 April 2008

Program TV di Indonesia Masih Perlu Dibenahi

Saatnya Melakukan Outokritik




Program televisi harus mempertimbangkan unsur edukasi bagi anak-anak dan remaja.



Pengelola televisi (TV) berkontribusi memberi informasi yang baik dan yang benar kepada pemirsa lewat program-programnya. Oleh karena kebanyakan program TV tidak mendidik, menurut Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Tjut Rifameutia, TV merupakan sumber belajar yang salah.

Menurut Rifameutia yang juga psikolog pendidikan ini, program TV di Indonesia masih perlu dibenahi. Para pembuat program seringkali lebih memprioritaskan nilai bisnis. Sayangnya pula, ujarnya, pengelola TV sering mengatakan bahwa tanggung jawab orangtualah untuk "menjaga" program yang ditonton anak.

"Tanggung jawab sosial ini yang saya rasakan masih perlu diperbaiki, terutama di kalangan dunia pertelevisian. Mereka tidak terlalu peduli untuk memikirkan dampak dari program yang mereka susun. Mereka tidak menyadari bahwa tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat Indonesia belum siap untuk ini. Masyarakat kita cenderung menonton televisi dan mempercayai apa yang ditampilkan di TV," katanya.

Masyarakat cenderung meniru perilaku kalangan terkenal dalam hal yang tidak sepatutnya ditiru, umpamanya dalam berbahasa Indonesia yang ternyata menyimpang dari kaidah bahasa yang baik dan benar. Program anak di TV memang sedikit. Contohnya, sekitar 30 persen dari seluruh acara TPI bertema anak dan remaja. Dari persentase itu, kata Kepala Divisi Program TPI Sri Budi Santoso, yang terbesar adalah drama seri anak misalnya Ronaldowati dan Si Entong 46 persen, disusul FTV anak 22,7 persen, kartun 18,8 persen, sisanya berupa games, dan komedi. Selain kartun yang merupakan produk impor, sebagian besar program anak TPI adalah program lokal.

Menurutnya, unsur moral/nilai panutan menjadi perhatian, meskipun demikian tetap bernilai hiburan. Sebagai contoh, ujarnya, Ronaldowati secara hiburan mengisahkan petualangan beberapa anak yang memiliki keahlian khusus dalam kehidupan sehari-hari lewat adegan yang lucu. Sementara, Si Entong mengajarkan kejujuran, ajaran keagamaan melalui tokoh ustad, jangan berbuat jail/nakal seperti tokoh Memet, membantu dan bakti kepada orangtua, akur dan sayang kepada adik-adiknya.

"Sangat jarang suatu tayangan sinetron secara khusus untuk anak. Biasanya lebih bersifat tontonan keluarga. Pada sinetron keluarga terdapat kombinasi antara peran dewasa dan anak, yang masing-masing peran mempunyai bagian yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga tercipta cerita yang menarik dan harmonis. Untuk menyikapi cerita yang kurang sesuai dengan kebutuhan anak-anak, parental guidance sangat diperlukan," kata Budi.

Dalam memproduksi program, menurut Budi, unsur komersial menjadi pertimbangan. Tetapi bukan unsur satu-satunya. Dalam penayangan acara, juga mempertimbangkan isi agar tidak bertentangan dengan perundang-undangan. Selain unsur komersial, hal lain yang menjadi pertimbangan adalah kebutuhan dan positioning stasiun TV. Misalnya target pemirsa TPI adalah seluruh anggota keluarga. Pertimbangan lain adalah tren/selera masyarakat, dan kompetisi.




Kombinasi antara peran dewasa dan anak seringkali tidak seimbang



Unsur Komersial

Sementara itu, Kepala Departemen Marketing Public Relations Trans TV Hadiansyah Lubis menuturkan, sekitar 14,47 % dari program yang ditayangkan stasiun TV itu bertema anak dan remaja. Misalnya, Surat Sahabat, Cerita Anak, Main Yuk, Happy Family. Surat Sahabat tayang Senin-Jumat pukul 14.30-15.00 WIB. Hingga saat ini acara ini sudah 350 episode. Cerita Anak diputar setiap Minggu pukul 7.30 - 8.00 WIB, Main Yuk setiap Minggu, 08.00 - 8.30 WIB. Happy Family ditayangkan pada Minggu pukul 9.30 - 10.30 WIB.

Dari berbagai program itu, Surat Sahabat merupakan edutainment, Cerita Anak dikemas sebagai hard news, dan Happy Family merupakan reality show. Program-program itu diproduksi sendiri oleh tim produksi dan berita Trans TV. Menurut Hadiansyah, setiap program yang ditayangkan Trans TV selalu mempertimbangkan unsur edukasi bagi anak-anak dan remaja meskipun tetap mempertahankan unsur hiburan. Untuk porsi sinetron, katanya, Trans TV sangat kecil. Dia menambahkan, dalam memproduksi suatu program, yang menjadi pertimbangan adalah aspek kedekatan dengan penonton. Aspek ini yang membuat suatu program membumi, sekaligus bernilai edukatif.

Program TV yang ditayangkan stasiun televisi tidak terlepas dari produk rumah produksi yang memproduksi sinetron maupun film. Presiden Direktur MD Entertainment Manoj Punjabi menuturkan, sejauh ini pihaknya baru sebatas mengagendakan memproduksi sinetron maupun film anak. Rencananya, ada dua judul sinetron dan satu judul film. Tahun-tahun sebelumnya, katanya, ada sinetron Jangan Menangis Adinda, Dongeng, Hantu Cilik, Puteri Cantik, Dan, Si Yoyok, Ratapan Anak Tiri, dan Legenda.

Menurut Manoj, pertimbangan memproduksi sinetron/film anak adalah cerita harus kuat, memiliki pesan moral/kehidupan, mampu menciptakan tren baru (trendy). Tak kalah penting, tegasnya, memiliki nilai jual.

"Komersial dan edukasi sama-sama penting. Bila tidak mengandung unsur edukasi, setidaknya bernilai moral atau memiliki pesan positif bagi kehidupan. Sementara untuk memancing orang menonton program edukasi harus bersifat komersial agar lebih menarik perhatian. Jadi jelas kedua hal ini saling terkait," ujar Manoj.

Manoj juga mengatakan, produk MD Entertainment / MD Pictures sangat variatif. Ada untuk anak, remaja, dewasa bahkan orangtua, karena MD tidak pernah mengkhususkan produknya dalam jenis atau genre tertentu. Lebih banyak variasi, akan lebih berwarna, dan lebih banyak pilihan bagi masyarakat. Pada akhirnya nanti seleksi alam yang akan berlaku. Yang tidak bermutu atau tidak sesuai selera pasar yang akan gugur.

Meski demikian, menurut pengamatan psikolog pendidikan Meutia, program televisi dapat mengintervensi dalam proses pendewasaan seseorang. Hal yang tidak diharapkan sering muncul karena ekspos program. Sering seseorang menjadi konsumtif karena melihat model-model di TV.

"Perilaku agresif dan tayangan yang memperlihatkan situasi dan kondisi yang tidak sesuai seringkali sumbernya dari TV. Padahal, program tersebut yang membuatnya manusia juga," katanya.

Contohnya, di TV tokoh anak sekolah remaja di sekolah mengenakan seragam yang tidak sesuai. Karena pemain remaja tersebut sedang "naik daun", maka remaja lain pun mencoba bergaya yang sama ketika ke sekolah. Anak "mengambil" apa yang ditontonnya sebagai nilai-nilai yang benar, yang kemudian hari menjadi nilai hidupnya.

Semestinya, menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, tayangan TV diatur oleh pemerintah melalui sektor terkait, seperti Depkominfo, Lembaga Sensor Film (LSF), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), juga peran Undang-undang tentang Penyiaran. " Kami sudah pernah mengundang sejumlah pengelola stasiun TV ke DPR untuk membicarakan hal ini, tetapi pihak TV mengatakan hidup TV dari sponsor. Perlu ada komitmen bersama," ujar Seto.

Sejauh ini, menurut Seto, undang-undang yang ada belum mampu mengendalikan kualitas acara TV. Oleh karena itu, tidak cukup pemberian saran pada pengelola TV. Bila undang-undang belum cukup, maka masyarakat yang harus berani berteriak agar anak-anak dilindungi. Sudah saatnya pengelola TV melakukan outokritik! [RRS/N-4]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/17/index.html

Tidak ada komentar: