04 April 2008

Industri Film Nasional Tetap Membutuhkan LSF

Permintaan Masyarakat Film Indonesia (MFI) mendesak pemerintah membubarkan lembaga perfilman, di antaranya Lembaga Sensor Film (LSF) dinilai tidak tepat. Industri perfilman Indonesia membutuhkan LSF sebagai badan kontrol peredaran dan perkembangan film. Dikhawatirkan, tanpa LSF film nasional yang beredar semakin vulgar.

Budayawan yang dijuluki Rendra menyatakan pendapat tersebut kepada SP, saat ditemui di Hotel Sultan, Jakarta, sesuai acara Diskusi Budaya, Kamis (3/4). Ia mengemukakan keberatan dengan keinginan sebagian teman-teman artis perfilman yang meminta LSF dibubarkan.

"LSF masih tetap diperlukan untuk industri perfilman nasional. Hanya saja aturannya diperlonggar sehingga pekerja seni bisa lebih mengekspresikan karyanya. Aturan dan sanksinya perlu dipertegas lagi," ujar Rendra.

Sebelumnya pada awal Januari 2008 lalu, MFI meminta pemerintah bubarkan LSF. MFI menilai kehadiran LSF tidak mencerminkan semangat pembaruan dan kurang berpihak pada kemajuan perfilman Indonesia. Oleh karena itu, MFI meminta LSF digantikan dengan Lembaga Klasifikasi Film.

Selama ini, menurut Rendra, LSF menjalankan fungsinya sesuai aturan. Pekerja seni, khususnya di industri layar lebar tidak lagi dibatasi dengan aturan yang ketat. Terbukti adegan ciuman di beberapa film nasional kerap lulus sensor. Jadi, LSF sudah bisa mengikuti perkembangan film nasional.

"Adegan ciuman itu sah-sah saja, asalkan ditampilkan dengan sopan jangan vulgar atau seronok. Bahkan anak-anak pun tidak salah menonton adegan ciuman, asalkan didampingi orangtuanya," kata Rendra.

Senada dengan Rendra, sutradara wanita sekaligus pemain film Lola Amaria menilai LSF tidak perlu dibubarkan atau diganti menjadi Lembaga Klasifikasi Film. Masalah utamanya bukan pada lembaga tetapi pada kesadaran masyarakat dan pemain di industri film dalam membuat karya bermutu untuk dikonsumsi publik.

Batasan Umur

Film-film yang beredar saat ini, menurut Lola tidak ada yang menyalahi aturan. Hanya saja perlu diterapkan batasan umur bagi siapa saja yang menonton film di bioskop. Sebagai contoh, film untuk kalangan dewasa tidak bisa ditonton oleh anak di bawah umur. Bahkan, kalau perlu sebelum membeli tiket penonton yang kelihatan masih dibawah umur wajib menunjukkan identitas diri.

"Petugas di bioskop dan penjual tiket harus jeli melihat penonton yang membeli tiket. Kalau ada anak-anak yang menonton film dewasa, karcisnya jangan diberikan. Cara itu lebih tepat ketimbang menutup LSF," kata Lola.

Adegan ciuman atau romantis menurut Lola tidak salah bila terdapat di film khusus untuk orang dewasa. Adegan itu sah-sah saja dan tidak menyalahi aturan. Tetapi bila adegan ciuman itu terdapat di film anak-anak, baru bisa dikatakan salah.

LSF sendiri terbentuk atas amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7/1994 Lembaga Sensor Film memiliki tiga tugas vital. Pertama, melakukan penyensoran terhadap film dan reklame yang diedarkan, diekspos, dan dipertunjukkan atau ditayangkan untuk umum. Kedua, LSF meneliti tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang diedarkan, diekspos, dan dipertunjukkan untuk umum. Ketiga, LSF menilai layak tidaknya suatu tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame yang diedarkan, diekspos, dipertunjukkan, dan ditayangkan untuk umum.

Sementara itu, pemain sinetron sekaligus penyanyi dangdut Denada Tambunan menilai keinginan membubarkan LSF belum jelas. Apabila LSF dibubarkan apakah ada jaminan industri perfilman akan semakin baik, atau justru semakin hancur karena tidak ada kontrol.

Kenyataannya, dengan keberadaan LSF saja banyak film layar lebar atau sinetron yang masih mempertontonkan kekerasan, penganiayaan, pelecehan seksual, dan adegan pornografi lainnya. Jadi, harus dipertimbangkan kembali apakah lembaganya atau orang-orang dalam LSF yang di- bubarkan.

"Harus jelas dulu siapa dan apa yang harus diubah, peraturannya, lembaganya, atau orang-orang yang ada dalam LSF," ujar Denada. [EAS/U-5]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/04/index.html

Tidak ada komentar: