18 April 2008

Dewan Pers Segera Susun Standar Hak Jawab

[JAKARTA] Berbagai reaksi negatif seringkali timbul setelah sebuah pemberitaan tersiar atau dimuat oleh media massa, baik cetak maupun elektronik. Salah satu contoh adalah, ketika suatu berita dimuat di media cetak dan ternyata bagi satu pihak, baik pembaca maupun orang yang bersangkutan dengan pemberitaan itu, menilai tidak sesuai dengan fakta.

Persoalannya, cara menyampaikan protes yang biasa dilakukan dengan mengajukan surat pembaca terkadang justru dibarengi dengan tindakan-tindakan anarki. Beberapa kejadian seperti itu telah terjadi di beberapa perusahaan media. Untuk itu, Dewan Pers segera menyusun standar hak jawab.

Persoalan itu mengemuka dalam suatu diskusi tentang pers di Jakarta, Kamis (17/4). Pembicara dalam diskusi itu adalah anggota Dewan Pers Wina Armada Sukardi dan Abdullah Mahudi, serta anggota DPR Bambang Sadono.

Sejauh ini, Dewan Pers telah menampung 47 usulan terkait mekanisme standar hak jawab. Mekanisme surat pembaca selama ini dinilai beberapa peserta diskusi masih belum efektif. Alasannya, surat yang berisi protes itu seringkali dimuat jauh setelah pemuatan berita yang terkait.

Menurut Mahudi, Dewan Pers sebagai mediasi antara masyarakat dan pers akan mencari cara mencapai win-win solution. Masyarakat dan pers memiliki hak yang seimbang dan proses pengajuan hak jawab kelak dapat dilakukan dengan standar etika dan prosedur yang telah tertulis dan ditetapkan.

Penyusunan standar hak jawab diperkirakan akan memakan waktu enam bulan sampai satu tahun. "Dewan pers juga telah membentuk tim untuk merancang standar hak jawab ini," ungkap Mahudi

Kasus "Tempo"

Sementara itu, Dewan Pers menjadi mediasi antara majalah Tempo dengan Asian Agri Group (AAG) yang bersengketa terkait berita dugaan penggelapan pajak yang dimuat majalah mingguan itu. Kedua pihak, Tempo dan AAG, sepakat untuk menyerahkan kepada Dewan Pers dalam menyusun rancangan hak jawab.

"Tentang bentuk hak jawabnya seperti apa, biar Dewan Pers yang merumuskannya dan rancangannya nanti akan disepakati bersama," kata Wina Armada. Menurut dia, rancangan hak jawab versi Dewan Pers tentu tidak bisa sekali jadi dan kedua belah pihak masih perlu memberikan koreksi.

Dikatakan pula, rancangan hak jawab tersebut nantinya tidak akan sesingkat yang dibuat dan pernah dimuat Tempo, tetapi juga tidak sepanjang yang diinginkan pihak AAG. Pihak AAG pernah menghendaki agar Tempo memuat kembali hak jawab yang mereka kirim secara utuh serta meminta maaf kepada publik atas pemberitaan majalah itu sejak Januari hingga Juli 2007. Pemberitaan itu dinilai sebagai bentuk pencemaran nama baik karena tanpa disertai bukti yang benar.

Karena hak jawab tersebut tidak ditanggapi, AAG kemudian menuntut Tempo ke pengadilan dengan tuntutan materil berupa ganti rugi sebesar Rp 500 juta serta imateril senilai Rp 5 miliar.

Pemimpin Redaksi Tempo Toriq Hadad mengatakan bahwa apa pun yang dijadikan solusi oleh Dewan Pers, pihaknya akan menerima. Sebab, Dewan Pers adalah lembaga yang berwenang menyelesaikan berbagai persoalan sengketa yang terkait dengan pers.

Toriq juga mengatakan bahwa Tempo siap melakukan wawancara ulang seperti yang diminta AAG, selain memuat hak jawab yang telah disepakati kedua pihak. "Kami bersedia melakukan wawancara ulang itu dengan pihak AAG. Bahkan, kami siap menyediakan ruang yang cukup jika memang tokoh kunci AAG, Sukanto Tanoto, bersedia diwawancarai," kata dia.

Kuasa hukum AAG, Hinca Panjaitan menyatakan akan melihat terlebih dahulu bagaimana bentuk rancangan hak jawab yang akan disusun Dewan Pers. Menurut dia, mediasi tersebut merupakan upaya perdamaian atas sengketa antara kliennya dengan Tempo yang telah diperintahkan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. [WWH/O-1]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/18/index.html

Tidak ada komentar: