22 Maret 2008

Konsentrasi Pemilikan dan Dampak Televisi

KELUH-kesah atas dampak siaran televisi, terutama menu sinetron dan infotainment, sudah menjadi bahan obrolan harian para orangtua. Saat menggunjingkan kegiatan atau kebiasaan anak, para orang tua pasti mengungkap kecemasan mereka atas "kecanduan" anak menonton sinetron atau menyimak informasi tentang kawin cerai para selebriti. Di era pasar bebas sekarang, televisi memang tidak bisa dipersalahkan. Mereka hanya menjual cerita dan informasi kawin cerai yang diharapkan bisa menghibur dan memenuhi rasa ingin tahu masyarakat tentang sosok yang dikagumi. Kalau para orangtua khawatir sinetron dan infotainment, kewajiban mereka untuk menjelaskan kepada anak-anak. Karena itu, orangtua disarankan untuk selalu mendampingi anak-anak saat mereka menonton televisi.

Sekadar menunjuk bukti tentang keluh-kesah itu, kita kutip pernyataan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pengawasan Isi Siaran KPI mencatat, selama tahun 2007, diterima 1.478 keluhan dari masyarakat tentang tayangan televisi yang dinilai tidak layak tonton. Sedangkan untuk tahun 2008 sudah masuk 270 aduan. Para praktisi industri televisi pasti tidak senang dengan aduan ini. Sangat mudah bagi mereka untuk merespons aduan seperti itu. Kalau tidak layak tonton, ya jangan ditonton. Kurang lebih begitulah respons yang akan diterima oleh mereka yang keberatan. Jawaban seperti itu memang benar dan masuk akal. Tetapi jangan lupa bahwa apa pun acara televisi, dia sangat mudah masuk dan mengintervensi setiap kamar di rumah, termasuk kamar anak-anak.

Itu sebabnya, para pemilik televisi di mana pun selalu digugah untuk menunjukkan tanggung jawab sosial mereka. Dalam konteks itu, industri televisi diimbau menjadi bagian dari perkembangan masyarakat sebagai audiensnya. Ketika masyarakat berupaya merespons sebuah kemajuan, televisi diharapkan bisa mengedukasi mereka. Silakan berdagang dengan menyajikan cerita dan informasi tentang para selebriti, karena masyarakat pada dasarnya butuh hal-hal seperti itu sebagai selingan yang menghibur. Namun, volume dan pilihan temanya jangan sampai kebablasan. Bukankah segala sesuatunya akan menjadi tidak baik jika dibuat berlebihan? Karena itu, keluhan atau aduan masyarakat yang masuk ke KPI harus dimaknai sebagai adanya potensi masalah di kalangan pemirsa. Kalau ada potensi masalah, televisi ideal harus merasa terpanggil untuk bersama-sama menghilangkan potensi masalah itu. Di situlah tanggung jawab sosial yang kita maksudkan.

Kita menangkap kesan bahwa industri televisi kita kurang peduli dengan keluh kesah pemirsanya. Tentu kecenderungan itu tak bisa dibiarkan sebelum muncul masalah yang lebih serius. Bagaimana pun kepentingan masyarakat dan negara harus ditempatkan di urutan teratas. Itulah yang mendorong DPR dan pemerintah, Senin (17/3) kemarin, menyoroti perkembangan televisi di Tanah Air.

Dalam pertemuannya dengan KPI, Wakil Presiden HM Jusuf Kalla minta KPI menertibkan kepemilikan media televisi karena diduga terjadi praktik monopoli. KPI sendiri berencana membuat aturan tentang kepemilikan media televisi yang segera keluar dalam waktu dua sampai tiga bulan mendatang. Sementara Komisi I DPR pun minta Pemerintah dan KPI mengatur dan meneliti kembali masalah kepemilikan saham silang pada perusahaan penyiaran karena terindikasi digunakan hanya untuk mementingkan kelompok tertentu. "Kami minta Depkominfo dan KPI menelusuri kembali masalah pemilikan saham dan perizinannya," kata anggota Komisi I DPR Djoko Susilo, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Depkominfo.

Sudah muncul kecurigaan kalau para pemilik televisi menggunakan asetnya untuk kepentingan tertentu. Sama artinya dengan mencurigai pemilik televisi tidak menunjukkan tanggung jawab sosialnya. Sepantasnya pemerintah dan DPR segera mengambil sikap, sebelum televisi lokal dengan sinetronnya mendidik anak-anak Indonesia menjadi generasi pemimpi, malas, dan konsumtif.***

disalin dari Tajuk Rencana Suara Karya, Selasa, 18 Maret 2008

Tidak ada komentar: