Jumat, 14 Maret 2008 | 00:50 WIB
Jakarta, Kompas - Berbagai tayangan dalam media film dan sinetron di Tanah Air kian didominasi adegan kekerasan terhadap perempuan. Situasi ini dikhawatirkan semakin menyuburkan perilaku kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga.
”Sekarang tayangan kekerasan kian marak di media elektronik,” kata Asisten Deputi Urusan Kekerasan terhadap Perempuan Heru P Kasidi dalam diskusi yang diprakarsai Kalyanamitra, pusat komunikasi dan informasi perempuan, Kamis (13/3) di Jakarta. Acara itu juga diisi dengan pemutaran film Perempuan Punya Cerita.
Menurut hasil survei ekonomi sosial tahun 2006, prevalensi kekerasan terhadap perempuan adalah 3,1 persen atau empat hingga enam juta jiwa dan mayoritas adalah istri pelaku. Lokasi kekerasan 70 persen berada di rumah. Pencetus tindak kekerasan itu adalah kondisi ekonomi dan perilaku pelaku.
Di tengah kuatnya sistem kapitalisme industri perfilman dan sinetron, kini terjadi kompetisi antara pendidikan antikekerasan dan pendidikan kekerasan, terutama lewat media elektronik. Bentuk kekerasannya kian beragam, baik kekerasan psikis, fisik, maupun seksual. ”Padahal, media massa berpengaruh besar dalam mengubah perilaku masyarakat,” ujar Heru.
Isu sosial
Sineas Nia Dinata menyatakan, film sangat berpotensi mengangkat isu-isu sosial yang dialami suatu negara di mana penonton bisa berasosiasi dengan karakter dalam film. Sinema bisa menjadi alat efektif karena sifatnya populis, penonton tidak merasa digurui. Namun, di Indonesia, mayoritas tema film berkisar kisah percintaan, kehidupan konsumtif, dan kekerasan.
Sejauh ini pemerintah dinilai belum menjalankan fungsinya dengan memberikan kebijakan yang mendukung perkembangan film Indonesia, dari segi pendidikan teknis sinematografi film dan pentingnya pendidikan jender dalam film, ekonomi dan industri perfilman. Pemerintah juga belum menyadari pentingnya politik kebudayaan untuk melindungi film nasional.
Untuk meningkatkan mutu film yang diproduksi di Indonesia, sangat diperlukan sekolah-sekolah film yang bermutu. Padahal, sejauh ini Indonesia hanya memiliki satu sekolah film.
”Studi jender juga sangat diperlukan bagi mahasiswa film sehingga para sineas Indonesia dapat menjadi agen perubahan bagi kesetaraan jender dengan menghasilkan film-film yang lebih sensitif jender,” ujarnya. (EVY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar