01 Maret 2008

Jurnal Sadis di Ruang Keluarga

Oleh Manaf Maulana
Setiap kali terjadi tragedi kemanusiaan, seperti bencana alam, ledakan bom, kecelakaan transportasi (pesawat, mobil, kereta dan kapal) yang merenggut korban jiwa, kengerian dan duka cita yang timbul pasti akan segera ditayangkan di layar televisi secara berulang-ulang, seolah-olah bertujuan untuk memuaskan publik pemirsanya. Dalam hal ini, makin mengerikan dan memilukan suatu tayangan rekaman tragedi seakan semakin memuaskan pemirsanya. Oleh karena itu, peringatan yang berbunyi "Awas Sadisme" sudah seharusnya ditempelkan di layar televisi.
Kesan "sadisme" memang sulit ditepis untuk gaya pemberitaan yang cenderung mengutamakan hiperbolisme kengerian-kengerian dari setiap peristiwa tragis. Misalnya tayangan close-up mengenai kondisi korban tragedi terbakarnya pesawat atau ledakan bom yang sangat mengenaskan, seperti jenazah yang gosong, bersimbah darah dan tak utuh lagi. Seolah- olah tayangan tersebut sengaja dibuat untuk dua tujuan. Pertama, untuk menakut-nakuti pemirsa agar mengalami histeria massal dan menderita trauma psikologis yang kronis. Kedua, untuk memuaskan pemirsa yang mengidap benih-benih sadistis.
Kita tentu masih ingat tayangan close-up kondisi jenazah yang gosong dan tak utuh lagi para korban jatuhnya pesawat Mandala Airlines di Medan atau korban bom di Bali beberapa tahun lalu. Betapa amat sangat mengerikan. Dan bagi anak-anak, tayangan tersebut bisa sangat menakutkan dan menimbulkan trauma psikologis kronis sehingga seumur hidupnya tidak berani menumpang pesawat.
Bagi kalangan pemuja kebebasan menyampaikan informasi sesuai dengan semangat demokratisasi, "jurnal-jurnal sadis" tersebut tentu dianggap sebagai hal yang wajar-wajar saja. Dalih mereka bisa sangat barbar, tapi dianggap benar.
Misalnya, jika peristiwa yang bernilai berita memang sangat mengerikan, kenapa harus ada upaya menyembunyikan kengerian? Bukankah publik berhak untuk mengetahui peristiwa dengan sedetail-detailnya? Dan bukankah memang sudah menjadi tugas jurnalis untuk memberitakan suatu peristiwa dengan akurat? Tentu termasuk keadaan korban yang sangat mengerikan tersebut.
Dan mungkin karena memiliki dalih seperti tersebut di atas, layar kaca kita setiap hari selalu diwarnai tayangan-tayangan mengerikan. Jika tidak ada tragedi kemanusiaan maka sinetron-sinetron bersimbah darah atau yang berkisah tentang hantu-hantu yang ditayangkan di layar televisi. Dan jika ada kasus pembunuhan sadis, maka adegan rekontruksi yang diperankan seorang model akan ditayangkan, seolah-olah tujuannya untuk para mendidik pemirsa untuk memahami cara membunuh yang sangat keji.
Sama dengan koran kuning yang diproduksi semangat "sadisme", layar kaca kita setiap hari selalu dipenuhi berita dan cerita yang amat sangat mengerikan. Tidak peduli di mata publik sangat murahan. Tidak peduli mendapat stigma sebagai media massa yang brengsek dan sontoloyo. Sebab, konon pihak pengelola televisi terlanjur berkeyakinan bahwa publik sangat gemar menyaksikan tayangan-tayangan sadis tersebut.
Bahkan konon juga pengelola televisi percaya bahwa tayangan mengerikan dan duka cita atas terjadinya tragedi kemanusiaan bisa memperkuat kesetiakawanan sosial dan ikatan kemanusiaan bangsa kita. Keyakinan atau kepercayaan tersebut, tentu saja perlu didiskusikan dan dikonfirmasi melalui angket atau penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, di banyak negara maju, "jurnal-jurnal sadis", telah lama ditinggalkan.
Dalam hal ini, masyarakat dan insan pers di negara-negara maju sudah mengerti betapa "jurnal-jurnal sadis" sangat tidak mendidik, bahkan hanya menimbulkan dampak negatif bagi pembangunan karakter bangsa. Dan jika masih ada "jurnal-jurnal sadis" di negara-negara maju pasti akan dicap sebagai produk barbarian yang tidak layak disajikan kepada publik yang beradab.

Konteks Indonesia
Jika "jurnal-jurnal sadis" dalam televisi ternyata berkembang pesat di Indonesia, tentu layak disayangkan, karena bangsa kita sedang mengalami berbagai krisis yang layak dibantu untuk segera bangkit agar menjadi bangsa yang bermartabat dan terhormat di mata bangsa-bangsa lain. Kesannya menjadi sangat sembrono, jika pihak pengelola televisi justru berlomba-lomba mengajak masyarakat untuk larut dalam kengerian dan duka cita atas setiap tragedi kemanusiaan yang terjadi di negeri ini.
Masih banyak urusan lain yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius. Rasanya tidak ada gunanya jika masyarakat yang sudah sengsara diajak untuk terus-menerus larut dalam kengerian dan duka cita yang menghabiskan energi. Memang benar, masyarakat perlu ikut berbela sungkawa atas musibah yang menimpa sesama anak bangsa atau sesama manusia. Tapi belasungkawa tidak harus diekspresikan dengan ikut larut dalam duka cita yang berkepanjangan. Dalam hal ini, kecengengan tidak perlu dimassalkan dan juga tidak perlu dijadikan citra bangsa kita.
Kita layak khawatir, jika perlombaan menyebar teror melalui layar kaca semakin mengerikan, dan ternyata efeknya membuat masyarakat semakin sadistis (ketagihan untuk terus-menerus menikmatinya). Atau sebaliknya justru membuat masyarakat menjadi semakin kebal (antipati atau apatis terhadap tragedi kemanusiaan di sekitarnya). Misalnya, jika terjadi kecelakaan lalulintas, ledakan bom atau bencana alam, masyarakat tidak mau tahu dan tidak bersedia memberikan pertolongan pada saat itu juga, karena pada saat yang lain mereka bisa melihatnya dengan sejelas-jelasnya di layar kaca dalam bentuk jurnal.

Tayangan Mengerikan
Dan yang lebih layak dikhawatirkan, jika "jurnal-jurnal sadis" menimbulkan efek negatif bagi generasi berikutnya. Misalnya, anak-anak kita yang terbiasa menyaksikan tayangan-tayangan mengerikan bisa terlatih untuk memandang berbagai tragedi kemanusiaan sebagai hal yang biasa-biasa saja sehingga mengalami distorsi kemanusiaan.
Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut tentu tidak berlebihan, jika kenyataannya semakin banyak kasus kekerasan terjadi di negeri ini yang seringkali menelan korban jiwa dan menimbulkan kengerian-kengerian.
Kini, semakin banyak urusan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara damai tapi kemudian berkembang menjadi tragedi kemanusiaan. Seperti sering munculnya aksi kekerasan berkaitan dengan penggusuran pedagang kaki lima, kemelut pilkada, penggusuran tanah, dan sebagainya. Bahkan, kerusuhan di kampus-kampus dan stadion berkaitan dengan pertandingan sepakbola dan pentas musik juga sering berlangsung tragis dan menelan banyak korban.
Entah kengerian apa lagi yang akan muncul di dalam kehidupan bangsa kita, jika "jurnal-jurnal sadis" dibiarkan terus berkembang di negeri ini dan menjadi tontonan rutin di ruang keluarga kita. // Penulis adalah Direktur Global Data Reform

disalin dari suara pembaruan, 01/3/2008

Tidak ada komentar: